Halaman

Senin, 10 Juni 2013

Pengaruh Rasionalitas terhadap Gerakan Protes Buruh Menuntut Kesejahteraan di Negara Demokrasi: Penetapan UMP Jakarta 2013




Latar Belakang
Para pekerja, terutama golongan buruh, seringkali terlihat melakukan protes di jalan-jalan, di depan pabrik maupun berkeliling dengan sepeda motor. Aksi parah buruh pun seringkali di pandang negatif oleh masyarakat dengan alasan menggangu kenyamanan dan ketertiban umum. Dibalik semua itu, alasan para buruh sebenarnya hanya untuk menarik simpati masyarakat, pemerintah dan para pemimpin perusahaannya. Sebab, meskipun para buruh di Jakarta ini memiliki massa banyak, yakni 4,27 juta jiwa (data pada pertengahan triwulan pertama tahun 2012) dari total buruh se-Indonesia yang lebih dari 37 juta jiwa (data pada tahun 2011) dan terus meningkat; mereka tidak mempunyai modal yang cukup sebagai daya tawar-menawar atas aspirasi dan kepentingannya.[i] Mereka tidak mempunyai modal untuk menawar pemerintah untuk menaikkan standar gajinya. Mereka juga tidak mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat untuk memaksa pemilik perusahaannya mengabulkan tuntutan gaji mereka. Untuk bermediasi pun mereka tidak mempunyai wadah yang satu dalam menampung aspirasi mereka, seringkali koordinasi antara serikat-serikat buruh yang terpecah justru mempersulit proses perundingan baik dengan pemerintah maupun perusahaan. Sebelum menjelaskan lebih jauh perlu didefinisikan dulu apa itu definisi buruh yang dimaksud dalam kajian ini. Buruh adalah semua pekerja yang terlibat di dalam proses produksi baik secara langsung maupun tidak langsung dan mendapatkan upah. Tetapi di dalam kasus ini, Buruh dalam artian sempit adalah pekerja-pekerja pabrik dari sektor usaha formal maupun informal. [ii]

Salah satu hal yang menjadi alasan tuntutan buruh di dalam penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta adalah dengan menimbang Standar KHL atau Standar Kebutuhan Hidup Layak. Untuk diketahui, penetapan KHL oleh Pemerintah Provinsi DKI mengacu pada Permenakertrans No.13 Tahun 2012 dengan 60 komponen KHL. Sementara, tuntutan para buruh mengenai KHL adalah terpenuhinya 122 komponen.[iii] Oleh karena itu, buruh bergerak untuk menuntut kenaikan UMP 2012 ini agar setiap komponen hidup yang mereka butuhkan tertutupi oleh gaji bulanan yang diterimanya nanti.

Ketiadaan jaminan sosial yang pasti akibat kurang optimalnya peran PT. Jamsostek, terutama untuk buruh-buruh swasta; dan belum terintegrasinya semua lembaga-lembaga jaminan sosial demi optimalnya jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Padahal melihat GNP Indonesia, menurut laporan IMF dan WB  3.544 dollar di 2010. ADB berani menargetkan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia mencapai 6,4 % di tahun 2012; sementara BI menargetkan 6,3 %.[iv] Seharusnya kesejahteraan di Indonesia bisa dirasakan oleh semua pihak dengan dipayungi Sistem Jaminan Sosial Nasional yang terpadu. Terlebih lagi, tuntutan kenaikan UMP, terutama di dalam kasus ini di Jakarta, yang memberatkan pengusaha, terutama perusahaan-perusahaan padatkarya, seharusnya dapat ditekan dengan Sistem Jaminan Sosial ini yang sudah menyediakan Jaminan Kesehatan.

Permasalahan Protes Buruh dalam masalah kenaikan Upah Minimum Regional tahun 2013 di beberapa daerah, termasuk Provinsi Jakarta adalah pilihan rasional dari masing-masing entitas buruh, juga pengaruh ideologi sosialis yang menuntut kesejahteraan bersama dan iklim demokrasi yang memperbolehkan tiap-tiap warga di Indonesia berkumpul, berpendadapat, termasuk dalam hal ini berdemo. Bagaimana rasionalitas buruh di Jakarta, tuntutan idealis dan fasilitas iklim demokrasi menjadi motif atas protes buruh menuntut kenaikan UMP 2013.

Tuntutan-tuntutan tersebut tidak semata propaganda ideologi ataupun karena kebebasan di iklim demokrasi, tetapi juga dipengaruhi oleh variabel rational choiceMenurut Adam Smith rasional adalah, “hasrat untuk kondisi yang lebih baik, suatu hasrat yang ada dalam diri kita semenjak masih di rahim dan tidak akan pernah meninggalkan kita hingga ajal menjemput”[v] Menurut Elster (1986): “The essence of rational choice explanation embodies a conception of how preferences, beliefs, resources, and actions stand in relation to one another.[vi] Juga menurut Hugh Ward, “The mainstream variant of rational choice assumes that individuals all have the rational capacity, time and emotional detachment necessary to choose a best course of action, no matter how complex the choice.[vii] Variabel-variabel rational choice ini semua berdasarkan lebih kepada pendekatan model ekonomi.

Pendekatan ideologis juga masih merupakan pendekatan yang paling kuat untuk menjadi variabel, terutama dalam melihat pergerakan buruh di seluruh dunia. Menurut Rokeach, terdapat 4 ideologi utama di abad 20, yaitu Sosialisme, Komunisme, Fasisme dan Kapitalisme, yang dapat dimengerti ke-empatnya melalui 2 perspektif, yaitu Kebebasan dan Kesetaraan. Berdasarkan argument Rokeach pula, distribusi kekuasaan yang tidak merata di tiap-tiap masyarakat akan memunculkan usulan-usulan berkompetisi untuk berurusan dengan masalah sosial dan ekonomi.[viii]

Iklim demokrasi yang memberikan hak-hak kebebasan kepada tiap-tiap warganya. Iklim demokrasi merupakan termasuk variabel menentukan akses untuk variabel selanjutnya, gerakan protes. Pendekatan institusionalisme membuat pernyataan tentang sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari institusi-institusi politik dan hubungannya dengan nilai-nilai politik, terutama nilai-nilai politik dari liberal demokrasi.[ix] Sementara pada pendekatan institusionalisme yang baru, semua hal tersebut dielaborasikan dengan rational choice, yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Motif-motif di ataslah yang menjadi salah satu penentu gerakan-gerakan protes, yang juga merupakan bagian dari gerakan sosial. “Social movement politics is fundamentally a struggle about the composition of the field of actors within a conflict, with movement activists and their opponents actively working to construct the contest and its combatants in their favor.”[x] Lipsky (1968,1970) berpendapat bahwa jarang terjadi hubungan secara langsung antara orang miskin dengan penangung-jawab kebijakan, orang miskin perlu memobilisasi massa, itulah yang akan membuat simpati yang aktif terhadap publik yang melihat. Publik yang melihat inilah yang selanjutnya akan menjadi kelompok penekan kebijakan pemerintah.[xi] Political opportunity theory argues that the actions of the activists are dependent on the existence - or lack of - of a specific political opportunity.[xii] Atau juga, Political opportunity structure dapat dikatakan sebagai sebuah konfigurasi antara sumber daya-sumber daya, lembaga-lembaga pengaturan, pembelajaran-pembelajaran masa lalu tentang gerakan sosial, yang dalam perbedaan-perbedaan strukturnya dapat, baik memfasilitasi perubahan maupun menghambat gerakan-gerakan protes tersebut.[xiii]

Penelitian ini menggunakan studi literatur dan penekanan metode kualitatif sebagai metode utama dari berbagai sumber, termasuk Buku, Jurnal, e-Jurnal, dan berita digital/internet. Sementara survey, grafik, adalah data pendukung dalam penelitian ini yang berasal dari data sekunder.

Hal yang menjadi alasan buruh untuk melakukan gerakan protes adalah para buruh butuh untuk mencukupi kebutuhan hidupnya; juga buruh butuh massa yang besar untuk menyukseskan tujuannya, yakni kenaikan upah; arak-arakan massa, konvoi di jalanan, demonstrasi juga merupakan hal yang diperbolehkan di dalam negara ini. Kendalanya adalah mereka terpecah-belah dalam memperjuangkan nasibnya berdasarkan tingkat kepentingan dan ke-moderat-annya dalam dialog. Permasalahan penetapan upah ini melibatkan pemerintah, pengusaha dan juga buruh. Semuanya itu adalah pengaruh rasionalitas, idealis dan iklim demokrasi.

Protes Penetapan UMP Jakarta 2013
Pada tanggal 24 Oktober, Buruh memprotes secara perdana di masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta yang baru, Joko Widodo. Tuntutan buruh kali ini adalah kenaikan Upah Minimium Provinsi DKI Jakarta, yang sebelumnya UMP DKI Jakarta tahun 2012 adalah Rp 1.579.000, menjadi Rp 2.799.000, papar dan tuntut buruh di dalam pertemuan dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki T. Purnama dan Disnakertrans.[xiv] Protes buruh tersebut mengepung balai Kota Jakarta dan memang sudah direncanakan sejak saat 3 Oktober 2012 saat aksi mogok Nasional.[xv]

Kemudian hasil dalam rapat pertemuan antara perwakilan buruh dan Disnakertrans DKI Jakarta itu diputuskan 13 hal penting, yang akan dikaji lebih dalam oleh Kadisnakertrans DKI, Dedet Sukandar. Sejumlah poin itu sebagai berikut:
1. Kebutuhan hidup layak (KHL) tidak boleh ditetapkan berdasarkan rata-rata hasil survei di tahun 2012, akan tetapi ditetapkan berdasarkan hasil survei di bulan Oktober 2012 dan ditambah dengan proyeksi bulan November dan Desember 2012.
2. Tidak ada putusan KHL pada hari ini (24 Oktober 2012).
3. Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI tahun 2013 mempertimbangkan besaran inflasi di tahun berikutnya dan penetapan upah minumum di sejumlah wilayah penyangga Jakarta.
4. Pemerintah akan mengusut dugaan adanya mafia politik upah murah.
5. Pemerintah DKI akan mengkaji komponen KHL yang  jumlahnya 100 item, untuk pekerja lajang dan 122 item untuk pekerja yang berkeluarga.
6. Penetapan UMP dan UMSP ditetapkan dalam satu paket ketetapan dan dalam waktu yang bersamaan.
7. Penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) sektor ritel, perkayuan dan printing serta delapan perusahaan di sektor logam, elektronik dan mesin dimasukkan dalam tambahan sektor unggulan.
8. Pada 2 November 2012 akan diadakan pertemuan pada pukul 08.00 untuk penetapan KHL 2013 dengan mengundang unsur pengusaha dan perwakilan serikat pekerja yang hadir pada hari ini.
9. Pemerintah akan turun ke lapangan untuk memeriksa pelanggaran praktek outsourching dan mencabut izin perusahaan outsourching yang melanggar.
10. Semua proses interview karyawan di perusahaan (terutama di ruang tertutup) wajib menggunakan CCTV.
11. Pengawasan ketenagakerjaan harus aktif turun ke lapangan, dan ketika turun ke lapangan harus menemui dan mendapatkan tanda tangan dan dokumentasi dari serikat pekerja.
12. Pemerintah meminta buruh untuk membantu memberantas pungli terhadap penguasa di DKI.
13. Keterwakilan unsur pekerja di dewan pengupahan merujuk pada Kepmen 201 yang ditebitkan tahun 2001.[xvi]

Kemudian pada 2 November 2012, Buruh melanjutkan aksinya kembali di Jakarta menuntut janji dari Wakil Gubernur Ahok pada pertemuan sebelumnya. Pada saat yang sama, terdapat pertemuan yang sebelumnya sudah dijadwalkan Pemerintah untuk menentukan besaran KHL dengan mengundang unsur pengusaha dan serikat buruh.

Barulah pada tanggal 12-14 November 2012, Rapat Dewan pengupahan menghasil penetapan kenaikan UMP dengan keterangan sebagai berikut:

Rapat Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta 2012
Unsur Perwakilan
Besaran UMP 2013
% KHL
%UMP 2012
Lain-lain
Pemerintah
2.176.667
110%
42,34%
Pertumbuhan Ekonomi 6,8% dan kisaran tingkat inflasi 4% untuk tahun 2013
Pengusaha
1.978.789
100%
29,40%

Buruh
2.799.067
141,45%

100 komponen KHL untuk Lajang dan 122 komponen KHL untuk status berkeluarga
2.1 Figure: Tabel mekanisme rapat dewan pengupahan

Hasil dari rapat Dewan Pengupahan DKI Jakarta 2012 menetapkan angka Rp 2.216.243. Hasil angka tersebut disetujui oleh Pimpinan Rapat dan didapat dari usulan unsur buruh yang menurunkan tuntutannya pada angka tersebut yang juga merupakana 112% dari angka KHL yang ditetapkan Disnakertrans Provinsi DKI Jakarta.[xvii]

Pada tahapan ini, tuntutan buruh untuk menaikkan UMP 2013 berhasil. Protes, dialog dan aksi turun ke jalan buruh berhasil mempengaruhi pemerintah daerah, terutama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang baru. Terlepas dari ketidak-setujuan pihak Pengusaha dalam keputusan ini, tuntutan buruh terpenuhi meskipun tidak sesuai dengan tuntutan awal buruh dengan pengesahan dari pejabat Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Joko Widodo pada 20 November 2012.

Kronologi diatas cukup jelas memparkan bagaimana aksi-aksi buruh dalam menuntut kenaikan upah. Seringkali ketidak-satuan suara buruh dalam memperjuangkan hak-haknya menjadi kendala sendiri bagi buruh. Terdapat banyak sekali organisasi-organisai atau serikat-serikat yang menyatukan unsur buruh. Di dalam kasus UMP kota Jakarta sendiri, terdapat nama-nama serikat: Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI), Gerakan Serikat Pekerja Metal Indonesia (Gespermindo), Perkumpulan Pekerja Muslim Indonesia 1998 (PPMI 98), Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), Komite Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Komite Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). Dari sekian banyak serikat-serikat buruh tersebut akan sulit ditemukan kesepakatan antar buruh itu sendiri dengan melihat adanya serikat-serikat yang bersifat radikal walaupun ada juga serikat-serikat yang bersifat moderat.

Isu lain yang terdapat di dalam aksi protes buruh adalah ketegangan antara buruh dan warga sekitar. Bagi warga, aksi-aksi protes para buruh di jalan adalah menggangu kenyamanan dan ketertiban terutama jika terjadi kemacetan. Walaupun demikian, itulah esensi dari aksi-aksi buruh, yaitu mencari simpati massa yang lebih besar karena buruh tidak dapat secara langsung memaksa perusahaan untuk menuruti tuntutannya ataupun memaksa negara untuk membuat peraturan menanggapi peraturannya. Beralih dari apa yang sebenarnya esensi dari aksi-aksi protes ataupun sudut pandang gerakan sosial tujukan, untuk mendapatkan dukungan pihak ketiga yang berkuasa, aksi-aksi protes justru menimbulkan kerawanan sosial yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah. Dari sisi ekonomi juga, aksi-aksi protes buruh juga dapat dikalkulasikan sebagai kerugian bagi pengusaha terkait, dimana si pekerja diupah.

Motif Rasionalitas dalam Aksi Protes Buruh
Rasionalitas terlihat di dalam aksi protes, terutama di dalam kasus ini. Terlepas dari masalah ideologi yang banyak dianut oleh para buruh, sisi rasional sebagai pribadi manusia juga hadir sebagai motif di dalam aksi-aksi protes buruh. Salah satunya adalah standar komponen hidup layak (KHL), hal tersebut adalah hal yang diperjuangkan dan menjadi alasan buruh untuk meminta kenaikan upah. Sebab, kelayakan hidup mereka di tengah-tengah kehidupan nyata mereka sehari-hari adalah bergantung terhadap upah mereka yang diterima tiap bulannya. Oleh karena itu, urusan kehidupan masih dirasakan juga urusan masing-masing mereka.

Rasionalitas juga dapat dilihat dari mayoritas yang beraksi demo adalah buruh dengan pendapatan rendah atau di atas mendekati, melihat juga dikotonomi atau pembagian istilah antara buruh dengan pegawai swasta. Buruh dipandang sebagai pekerja kasar, sementara pegawai-pegawai swasta dengan gaji cukup tinggi tidak akan kita lihat di dalam aksi-aksi demo menuntut kenaikan UMP. Oleh karena itu, peran rasionalitas mendorong terhadap buruh-buruh yang melakukan aksi. Rasionalitas juga yang mendorong para pegawai-pegawai atau para pekerja dengan upah yang lebih tinggi untuk tidak ikut dalam aksi-aksi tersebut.

Secara umum, kita pahami para pekerja yang sudah mampu mencukupi kebutuhan dasar hidupnya dapat kita kategorikan kelas menengah. Max Weber, mengkategorikan kelas menengah sebagai kelas yang merupakan perpaduan antara kelas pedagang atau pekerja dengan kelas pemilikan yang berarti kelas yang bekerja akan tetapi mampu mempunyai kepemilikan-kepemikan lainnya selain kebutuhan hidup, atau dapat menabungkan sebagian penghasilannya.[xviii] Para pekerja seperti inilah, yang tergolong sebagai kelas menengah, yang seharusnya menjadi pihak ketiga, simpatisan ataupun orang-orang terpengaruh oleh gerakan-gerakan protes buruh untuk menjadi kelompok penekan pemerintah; yang dibahas di dalam teori resource mobilization sebagai bystander.[xix] Atau juga, para pekerja tersebut berperan sebagai agen pembawa modernisasi dan demokratisasi.[xx] Akan tetapi, peran pembawa perubahan, simpatisan ataupun bystander tidak dapat dipenuhi oleh kelas menengah yang ada di Indonesia, yang menurut Marzuki Darusman adalah Kelas menengah yang tak sadar dan tanpa disiplin, atau juga yang menurut Ninuk Mardiana Pambudy adalah kelas yang konsumtif dan peniru. [xxi]
Motif rasional pulalah yang menyatukan, serikat-serikat buruh yang ada pada hari-hari protes hingga distujuinya kenaikan UMP Jakarta pada tanggal 14 November 2012. Sebab, faksi-faksi yang ada di dalam serikat-serikat buruh yang ada di Jakarta harus bersatu, memobilisasi masanya yang sekian banyak untuk berdemo menuntut kenaikan upah karena mereka sendirilah sudah cukup untuk menjadi kelompok penekan terhadap pemerintah. Berikut dijelaskan mengapa serikat-serikat buruh perlu bersatu, dengan teknik game theory, teknik yang memetakan aktor-aktor dan kemungkinan pilihan/model-model strategi interaksi antara serikat-serikat buruh tersebut serta dampaknya;[xxii]


Faksi Buruh B
Faksi Buruh A

Diam
Protes
Diam
A & B: Tidak ada perubahan, kenaikan UMP tidak signifikan
A: Tidak ada Perubahan
B: Terancam di PHK atau diberi sanksi oleh pengusaha
Protes
A: Terancam di PHK atau diberi sanksi
B: Tidak ada Perubahan
A & B: Berhasil menekan pemerintah, UMP naik seusai tuntutan atau minimal meningkat secara signifikan
2.2 Figure: Game theory dan pilihan rasional buruh untuk bersatu

Sehingga, tujuan dari gerakan-gerakan protes buruh untuk dapat menarik perhatian seperti yang dijelaskan teori resource mobilization tidak dapat tercapai. Justru, masa buruh atau pekerja dengan gaji rendah itu yang besar dan mobilisasi masa buruh untuk membentuk gerakan protes dapat menjadi kelompok penekan tersendiri terhadap kebijakan pemerintah karena dorongan kepentingan-kepentingan rasional dari sekian banyak buruh yang mengikuti aksi-aksi protes tersebut.


Motif Ideologis dalam Aksi Protes Buruh
Motif Ideologis ada dan dapat diketahui dari aksi-aksi protes buruh dengan melihat fakta-fakta sejarah kaum buruh ke belakang, khususnya ideologi Sosialis. Sosialisme adalah paham yang berkeyakinan bahwa kemajuan manusia dan keadilan terhalang oleh lembaga hak milik yang intinya kepemilikan atas suatu barang terutama modal ataupun moda produksi dapat menjadi sumber eksploitasi manusia dan sumber ketidak-adilan.[xxiii] Ideologi inilah yang paling populer di kalangan buruh hingga saat ini, juga termasuk buruh-buruh di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari cara-cara buruh dalam memperjuangkan kepentingannya dan kepentingan-kepentingan apa saja yang diperjuangkan. Sejak era, Industrialisasi dan terbentuknya kelas buruh/proletar dan borjuis; cara-cara yang dilakukan oleh kelas buruh selalu dengan diwarnai cara protes, pemogokan kerja dsb. hingga saat ini. Juga, kepentingan dari buruh kurang lebih selalu sama, berkisar pada kesejahteraan umum, keadilan sosial, upah yang layak, jaminan kesehatan dsb. Seperti terungkap di dalam pernyataan salah seorang aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Konferensi, “Transition Towards Democracy in Indonesia” di Hotel Santika Jakarta pada 18 Oktober 2012:

“Demokrasi adalah proyek dari kapitalisme untuk mengamankan kompetisi pasar bebas. Demokrasi tidak menyelesaikan masalah mengapa terjadi eksploitasi ekonomi oleh orang-orang yang kaya terhadap orang-orang miskin. Kami tidak membutuhkan demokrasi, kami membutuhkan sosialisme. Secara esensi, demokrasi hanya dibutuhkan oleh sebagian kecil elit-elit dan ilmuwan politik di Jakarta, bukan dibutuhkan oleh mayoritas dari rakyat miskin.”[xxiv]

Tidak seperti sosialis-marxis/komunisme, yang mengisyaratkan perlu adanya revolusi untuk merebut atau mengubah sistem dari kapitalisme menuju ke sosialisme dengan cara revolusi. Buruh-buruh di Indonesia, saat ini, berpaham sosialisme-demokrat atau sosialisme yang lebih moderat yang percaya bahwa tuntutan-tuntutan mereka akan kesejahteraan dan keadilan masih dapat diakomodir oleh sistem demokrasi.[xxv] Secara fundamental, motif ideologislah yang selalu mewarnai setiap aksi selain daripada rasionalitas mereka yang menuntut kesejahteraan masing-masing secara individual.

Ke-moderat-an buruh-buruh yang ada di Indonesia dapat dilihat dari kasus ini, sekalipun mereka melakukan aksi-aksi protes, mereka masih mau duduk bersama pemerintah, bernegosiasi. Pada tanggal 24 Oktober 2012, buruh mau mendiskusikan masalah tuntutan kenaikan upah bersama Wakil Gubernur, Basuki Tjahaya Purnama dan juga jajaran Disnakertrans DKI Jakarta. Selanjutnya pada tanggal 2 November 2012, para buruh yang tergabung dalam banyak serikat buruh masih mau mengutus perwakilan untuk berdiskusi dengan pemerintah dan pengusaha membahas besaran KHL untuk regional Jakarta sendiri. Kemudian pada, tanggal 14 November 2012, para buruh kembali mengirimkan perwakilannya dalam rapat bersama Dewan Pengupahan yang terdiri dari perwakilan asosiasi pengusaha juga. Meskipun sempat terjadi ketegangan antar serikat-serikat buruh yang berdemo terhadap keputusan mengirimkan perwakilan di dalam rapat tersebut atau tidak mengikuti rapat dengan mematok UMP menurut keputusan buruh sepihak, para buruh tetap mengirimkan perwakilannya dan mau menurunkan besaran UMP tuntutannya.  Ketegangan tersebut tergambar di dalam satu pernyataan dari faksi buruh, Ketua Federasi Serikat Buruh Indonesia, Bayu Muniarto, “Mereka yang ikut rapat itu seperti pengkhianat. Padahal sudah ada putusan kalau semuanya enggak hadir dalam rapat itu. Harusnya ada informasi sebelumnya supaya kami tidak menduga-duga. Ini kan tidak, tiba-tiba mereka rapat. Padahal kita sepakat untuk boikot.”[xxvi]

Fasilitasi Iklim Demokrasi dalam Gerakan Protes
Ketidak-satuan gerakan-gerakan buruh dalam melakukan protes dapat dimaklumi dengan mengetahui tidak adanya satu wadah yang menanungi buruh dan tempat yang menampung aspirasi-aspirasi para buruh, secara khusus dan jelas. Tidak adanya Partai Buruh menunjukan; pertama, ketidak-solidan dari buruh itu sendiri dalam memperjuangkan aspirasinya; kedua, ketidak-mungkinan atau ketidak-cocokan baik input di dalam struktur politik di Indonesia maupun outputnya.

Pertama, jelas dari ketidak-solidan buruh mempengaruhi terpecahnya suara da aspirasi para buruh ini. Ketidak-sepakatan para buruh untuk menciptakan partainya sendiri mengakibatkan terpecahnya kantong-kantong suara yang dimilki oleh buruh ke dalam beberapa partai pada saat pemilu. Padahal dengan banyaknya jumlah masa buruh yang ada di Indonesia dan iklim demokrasi yang ada, Potensi Buruh untuk masuk ke dalam parlemen ataupun pemerintahan dan memperjuangkan hak-hak dan ide-idenya secara langsung adalah bukan hal yang mustahil. Sudah banyak negara-negara yang memiliki Partai Buruh tersendiri, ataupun yang berafiliasi buruh secara langsung dan tergabung dalam organisasi Sosialis Internasional; termasuk Partai-partai Buruh di United Kingdom, Amerika Serikat, Perancis, Jepang, Itali dsb.[xxvii] Ada beberapa asumsi yang menyebabkan tidak bersatunya partai buruh di Indonesia. Salah satunya adalah pengkotak-kotakan istilah buruh dan pegawai oleh Pemerintahan Orde Baru dan juga penyusupan-penyusupan agen pemerintah ke dalam oraganisasi-organisasi serikat agar semuanya tidak bersatu; sehingga tidak adanya perlawanan yang berarti, terutama daerisektor pekerja terhadap Pemerintahan Orde Baru.[xxviii]

Kedua, dengan melihat input struktur politik di Indonesia yang terbuka seharusnya buruh dengan masanya yang banyak dapat terlibat langsung di dalam proses pembuatan kebijakan dan menyampaikan aspirasi-aspirasi. Input struktrur yang terbuka artinya keterbukaan dan keresponsifan lembaga-lembaga negara terhadap kelompok-kelompok yang mengajukan tuntutan.[xxix] Akan tetapi buruh sendiri tidak mempunyai partai politik sendiri dan terpecah ke dalam beberapa partai-partai politik di Indonesia sehingga keresponsifan lembaga-lembaga pemerintah dalam menerima aspirasi dari buruh akan berkurang. Juga, dengan melihat output yang sedikit lemah wajar saja jika cara-cara buruh dalam menyampaikan aspirasi dengan jalan-jalan protes, pawai kendaraan, mogok kerja dsb. Lemahnya output struktur politik di Indonesia berarti lemahnya kapasitas negara dalam memenuhi tuntutan-tuntutan rakyatnya melalui respon kebijakan yang tepat.[xxx] Sehingga, walaupun sudah berada di dalam era yang demokratis, kelompok-kelompok kepentingan yang ada, terutama buruh tetap harus melakukan protes-protes turun ke jalan untuk menenkan pemerintah yang tidak responsif ini. Seperti halnya kelompok-kelompok kepentingan di Negara Jerman dan Perancis yang harus melakukan startegi konfrontasional dengan pemerintahnya dengan cara demonstrasi di tempat umum dan menunjukan ketidak-patuhannya terhadap pemerintah.[xxxi] Keuntungan dari Iklim demokrasi sendiri, bagi para buruh di Indonesia, hanya sebatas kebebasan berekspresi, berpendapat, berkumpul, berorganisasi walaupun tidak dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah secara langsung. Berbeda dengan negara-negara yang keterbukaan dan respon-respon pemerintah terbilang baik dan memiliki Partai Buruh, seperti di Amerika Serikat dan Swedia. Pergerakan buruh dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan pemerintah dapat lebih mudah dengan cara melobi, memberi petisi, dan aktifitas-aktifitas kepartaian lainnya.[xxxii]

Kesimpulan
Sudah sangat jelas sekali pengaruh dari pemikiran rasionalitas, ideologis dan juga iklim demokrasi di Indonesia mempengaruhi gerakan-gerakan protes, terutama untuk kasus tuntutan kenaikan UMP Jakarta 2013. Pengaruh ketiganya cukup jelas terpapar di dalam analisa paper di atas. Ketiga variabel tersebut menjelaskan dan memberikan argumen yang jelas atas motif buruh untuk melakuka gerakan-gerakan sosial.

Pemikiran rasionalitas memberikan pengaruh buruh untuk bergerak, memprotes besaran KHL yang terlampau minim sehingga kemudia dikaji ulang oleh pemrintah daerah provinsi Jakarta. Rasionalitas pula yang mendorong, banyak faksi di dalam serikat-serikat buruh ini untuk bersatu dalam aksi gerakan protes di Jakarta dan mengawal rapat Dewan Pengupahan DKI Jakarta hingga akhir keputusan. Dari sisi ideologis pun tidak dapat dilepaskan pergerakan buruh ini. Buruh dan ideologi Sosialis tidak dapat dipisahkan secara sejarah dan pemikiran dan gerakan-gerakan buruh kali ini selain menuntut rasionalitas masing-masing buruh, juga menuntut kesejahteraan secara umum seperti yang juga tertera di dalam ide-ide Sosialis. Cara para buruh pun tetap sama dan identik dengan protes, ketidak-patuhan, demosntrasi dan aksi mogok. Dari sisi iklim demokrasi sendiri, hal ini memberikan dukungan terhadap buruh untuk menyuarakan aspirasi-aspirasinya dengan kebebasan berpikir, berpendapat, berkumpul dan juga berorganisasi yang sudah dijamin di dalam konstitusi.

Namun terdapat dua perbedaan yang dialami oleh buruh dalam kasus aksi protes kali ini dan atau mungkin kasus-kasus yang sebelumnya terjadi. Dalam teori resource mobilization, mungkin dalam contoh di Amerika Serikat, gerakan-gerakan sosial bertujuan untuk menarik simpati pihak ketiga yang mempunyai kekuatan lebih untuk menekan pemerintah, dalam hal ini masyarakat sipil.[xxxiii] Akan tetapi, dalam kasus ini, buruh sudah memiliki masa yang cukup banyak sendiri untuk menekan pemnerintah dalam proses pembuatan kebijakan. Justru aksi-aksi protes buruh ini yang kerapkali mendapatkan antipati dari masyarakat sipil karena menggangu kenyamanan dan ketertiban umum; dan bahkan berpotensi konflik horinzontal antara buruh dan warga.

Perbedaan yang selanjutnya terdapat pada teori political structure, yang menjelaskan seharusnya dengan keterbukaan pemerintah dapat menciptakan kemudahan terutama untuk buruh dalam kasus ini, untuk menyatakan aspirasi-aspirasi dan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik. Akan tetapi, dengan mengetahui fakta bahwa tidak adanya partai buruh di Indonesia yang eksis di dalam pemerintahan, keterbukaan dalam strukktur politik itu menjadi tertutup sehingga buruh harus melakukan model-model strategi yang lebih konfronsional terhadap pemerintah.

Tujuan dari para buruh melakukan aksi-aksi gerakan protes seperti ini yang juga memerlukan masa yang banyak dan dengan alasan pemenuhan kebutuhan hidup yang layak adalah kenaikan UMP Jakarta. Tujuan tersebut pun akhirnya tercapai dalam pelibatan-pelibatan aksi-aksi buruh dan mediasinya dengan pemerintah dan pengusaha-pengusaha di Jakarta. Ketiadaan jaminan sosial juga merupakan penyebab ketidak-pastian yang harus dihadapi oleh buruh, ketika mereka sakit, kecelakaan, pensiun ataupun meninggal sehingga mereka membutuhkan upah yang lebih tinggi untuk menghadapi hal itu semua. Penerapan jaminan sosial adalah solusi alternatif, dan memang sudah seharusnya ada selain daripada penaikan upah minimum diatas angka kebutuhan hidup layak.



[i] Badan Pusat Statistik, “Penduduk 15 Tahun Menurut Status Pekerjaan Utama, 2004-2011”, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06&notab=3  akses pada 30 Januari 2013 dan InfoJKT, “Jumlah Pekerja di Jakarta Tahun 2012 mencapai 4,72 Juta Jiwa”, http://infojkt.com/jumlah-pekerja-di-jakarta-tahun-2012-mencapai-472-juta-jiwa/ akses pada 30 Januari 2013
[ii]Grendi Hendrastomo, Menakar Kesejahteraan Buruh: Memperjuangkan Kesejahteraan Buruh diantara Kepentingan Negara dan Korporasi, Jurnal Informasi, Volume 16 Nomor 2, (2010), hal. 4
[iii] Inggrid Dwi Wedhaswary, “Basuki Ingkar Janji Buruh Goyang Jakarta Ancam ”, http://megapolitan.kompas.com/read/2012/11/02/12281490/Basuki.Ingkar.Janji.Buruh.Ancam.Goyang.Jakarta akses pada 27 Januari 2012
[iv] Dinna Wisnu, Politik Sistem Jaminan Sosial: Menciptakan Rasa Aman dalam Ekonomi Pasar, (Jakarta: PT. Gramedia, 2012) hal. 1-3
[v] Todd G. Buchholz, New Ideas From Died Economis dalam Deliarnov, Ekonomi Politik, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 26
[vi] Jon Elster, Rational Choice dalam Deliarnov, Ekonomi Politik, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 135
[vii] Hugh Ward, Rational Choice Theory dalam David Marsh dan Gerry Stoker (eds), Theory and Methods in Political Science, (London: MacMillan Press, 1995), hal. 79
[viii] Milton Rokeach, The Nature of Human Values dalam David O. Sears, et.al (eds), The Oxford Handbook of Political Psychology, (New York: Oxford University Pres, 2003) hal. 492
[ix] R.A.W. Rhodes, The Institusional Approach dalam David Marsh dan Gerry Stoker (eds), Theory and Methods in Political Science, (London: MacMillan Press, 1995), hal. 46
[x] David S. Meyer dan Lindsey Lupo, Assesing the Politics of Protest: Political Science and the Study of Social Movement, dalam Bert Klandermans dan Conny Roggeband eds., Handbook of Social Movements across
Disciplines, (New York: Springer, 2007) hal. 114
[xi] ibid., hal. 115
[xii] Ibid., hal. 125-145
[xiii] Herbert P. Kitschelt, Political Opportunity Structures and Political Protest: Anti Nuclear Movement in Four Democracies dalam Todd Landman, Issues and Methods in Comparative Politics: An Introduction, Third Edition, (New York: Rouledge, 2008), hal. 169
[xiv]Berita Satu, “Dorong UMP Buruh Naik, Ahok Ancam Pecat kadisnakertrans”,  http://www.beritasatu.com/mobile/bisnis/79387-dorong-ump-buruh-naik-ahok-ancam-pecat-kadisnakertrans-dki.html akses pada 27 Januari 2012 dan Harian terbit, “9 Hari Bertugas, Ribuan Buruh Sudah Kepung Kantor Jokowi”, http://www.harianterbit.com/2012/10/24/9-hari-bertugas-ribuan-buruh-sudah-kepung-kantor-jokowi/ akses pada 27 Januari 2012
[xvi] Viva News, “Ini 13 kesepakatan Ahok dengan Buruh terkait Upah”, http://m.news.viva.co.id/news/read/362040-ini-13-kesepakatan-ahok-dengan-buruh-terkait-upah akses pada 27 Januari 2012
[xvii] TVone News, “UMP DKI 2013 bakal naik Jadi RP 2,2 Juta”, http://jabodetabek.tvonenews.tv/berita/view/64304/2012/11/15/ump_dki_2013_bakal_naik_jadi_rp22_juta.tvOne akses pada 27 Januari 2012 dan Kantor Berita Antara, “Pengusaha Tolak Hasil Penetapan UMP”,  www.antaranews.com/berita/343735/pengusaha-tolak-hasil-penetapan-ump-2013 akses pada 27 Januari 2012
[xviii] Max Weber, Essays in Sociology dalam Francisia SSE Seda. Kelas Menengah Indonesia: Gambaran Umum Konseptual, Prisma Volume 31, LP3S, (2012), hal. 4
[xix] Op. Cit., David S. Meyer dan Lindsey Lupo, hal. 115
[xx] Francisia SSE Seda, Kelas Menengah Indonesia: Gambaran Umum Konseptual, Prisma Volume 31, LP3S, (2012), hal. 3
[xxi] Marzuki Darusman, Kelas Menengah yang Tak Sadar, dan Tanpa Disiplin, Prisma Volume 31, LP3S, (2012), hal. 66 dan Ninuk Mardiani Pambudy, Gaya Hidup Suka Mengkonsumsi dan Meniru: Beranikah Berinovasi?, Volume 31, LP3S, (2012), hal. 14
[xxii] Todd Landman, Issues and Methods in Comparative Politics: An Introduction, Third Edition, (New York: Rouledge, 2008), hal. 208
[xxiii] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010) hal. 48
[xxiv] Ikrar Nusa Bhakti, The Transistion to Democracyin indonesia: Some Outstanding Problems, Asia-Pacific Studies for Security Studies: Region in Transition, (2004), hal. 196
[xxv] Michael G. Roskin, Political Science: An Introduction, (New York: pearson, 2010) hal. 45-47
[xxvii] Socialist International, “Member  Parties of Socialist International”, http://www.socialistinternational.org/viewArticle.cfm?ArticlePageID=931 akses pada 27 Januari 2012
[xxviii] Loc. Cit., Grendi Hendrastomo
[xxix] Op. Cit., Todd landman, hal. 169
[xxx] Ibid.
[xxxi] Ibid.
[xxxii] Ibid.
[xxxiii] Op. Cit., David S. Meyer dan Lindsey Lupo,

Oleh: Angga Ramdhana Apriliana, Mahasiswa Ilmu Politik Univ. Bakrie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar