Latar Belakang
Para
pekerja, terutama golongan buruh, seringkali terlihat melakukan protes di
jalan-jalan, di depan pabrik maupun berkeliling dengan sepeda motor. Aksi parah
buruh pun seringkali di pandang negatif oleh masyarakat dengan alasan menggangu
kenyamanan dan ketertiban umum. Dibalik semua itu,
alasan para buruh sebenarnya hanya untuk menarik simpati masyarakat, pemerintah
dan para pemimpin perusahaannya. Sebab, meskipun para buruh di Jakarta ini
memiliki massa banyak, yakni 4,27 juta jiwa (data pada pertengahan triwulan
pertama tahun 2012) dari total buruh se-Indonesia yang lebih dari 37 juta jiwa (data
pada tahun 2011) dan terus meningkat; mereka tidak mempunyai modal yang cukup
sebagai daya tawar-menawar atas aspirasi dan kepentingannya.[i] Mereka
tidak mempunyai modal untuk menawar pemerintah untuk menaikkan standar gajinya.
Mereka juga tidak mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat untuk memaksa pemilik
perusahaannya mengabulkan tuntutan gaji mereka. Untuk bermediasi pun mereka
tidak mempunyai wadah yang satu dalam menampung aspirasi mereka, seringkali
koordinasi antara serikat-serikat buruh yang terpecah justru mempersulit proses
perundingan baik dengan pemerintah maupun perusahaan. Sebelum menjelaskan lebih
jauh perlu didefinisikan dulu apa itu definisi buruh yang dimaksud dalam kajian
ini. Buruh adalah semua pekerja yang terlibat di dalam proses produksi baik
secara langsung maupun tidak langsung dan mendapatkan upah. Tetapi di dalam
kasus ini, Buruh dalam artian sempit adalah pekerja-pekerja pabrik dari sektor
usaha formal maupun informal. [ii]
Salah
satu hal yang menjadi alasan tuntutan buruh di dalam penetapan Upah Minimum
Provinsi (UMP) Jakarta adalah dengan menimbang Standar KHL atau Standar Kebutuhan Hidup Layak.
Untuk diketahui, penetapan KHL oleh Pemerintah Provinsi DKI mengacu pada Permenakertrans
No.13 Tahun 2012 dengan 60 komponen KHL. Sementara, tuntutan para buruh
mengenai KHL adalah terpenuhinya 122 komponen.[iii]
Oleh karena itu, buruh bergerak untuk menuntut kenaikan UMP 2012 ini agar setiap
komponen hidup yang mereka butuhkan tertutupi oleh gaji bulanan yang
diterimanya nanti.
Ketiadaan jaminan
sosial yang
pasti akibat kurang optimalnya peran PT. Jamsostek,
terutama untuk buruh-buruh swasta; dan belum terintegrasinya semua
lembaga-lembaga jaminan sosial demi optimalnya jaminan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Padahal melihat GNP
Indonesia, menurut laporan IMF dan WB
3.544 dollar di 2010. ADB berani menargetkan Pertumbuhan Ekonomi di
Indonesia mencapai 6,4 % di tahun 2012; sementara BI menargetkan 6,3 %.[iv]
Seharusnya kesejahteraan di Indonesia bisa dirasakan oleh semua pihak dengan
dipayungi Sistem Jaminan Sosial Nasional yang terpadu. Terlebih lagi, tuntutan
kenaikan UMP, terutama di dalam kasus ini di Jakarta, yang memberatkan pengusaha,
terutama perusahaan-perusahaan padatkarya, seharusnya dapat ditekan dengan Sistem
Jaminan Sosial ini yang sudah menyediakan Jaminan Kesehatan.
Permasalahan Protes Buruh dalam masalah kenaikan Upah Minimum Regional
tahun 2013 di beberapa daerah, termasuk Provinsi Jakarta adalah pilihan rasional dari masing-masing entitas buruh,
juga pengaruh ideologi sosialis yang menuntut kesejahteraan bersama dan iklim
demokrasi yang memperbolehkan tiap-tiap warga di Indonesia berkumpul,
berpendadapat, termasuk dalam hal ini berdemo. Bagaimana rasionalitas buruh di Jakarta,
tuntutan idealis dan fasilitas iklim demokrasi menjadi motif atas protes buruh menuntut kenaikan UMP 2013.
Tuntutan-tuntutan
tersebut tidak semata propaganda ideologi ataupun karena kebebasan di iklim
demokrasi, tetapi juga dipengaruhi oleh variabel rational choice. Menurut Adam Smith rasional adalah, “hasrat untuk kondisi
yang lebih baik, suatu
hasrat yang ada dalam diri kita semenjak masih di rahim dan tidak akan pernah
meninggalkan kita hingga ajal menjemput”[v]
Menurut Elster (1986): “The essence of rational choice
explanation embodies a conception of how preferences, beliefs, resources, and
actions stand in relation to one another”.[vi]
Juga menurut Hugh Ward, “The mainstream variant of rational choice assumes that individuals all have
the rational capacity, time and emotional detachment necessary to choose a best
course of action, no matter how complex the choice.”[vii] Variabel-variabel
rational choice ini semua berdasarkan
lebih kepada pendekatan model ekonomi.
Pendekatan
ideologis juga masih merupakan pendekatan yang paling kuat untuk menjadi
variabel, terutama dalam melihat pergerakan buruh di seluruh dunia. Menurut
Rokeach, terdapat 4 ideologi utama di abad 20, yaitu Sosialisme, Komunisme,
Fasisme dan Kapitalisme, yang dapat dimengerti ke-empatnya melalui 2
perspektif, yaitu Kebebasan dan Kesetaraan. Berdasarkan argument Rokeach pula, distribusi
kekuasaan yang tidak merata di tiap-tiap masyarakat akan memunculkan
usulan-usulan berkompetisi untuk berurusan dengan masalah sosial dan ekonomi.[viii]
Iklim
demokrasi yang memberikan hak-hak kebebasan kepada tiap-tiap warganya. Iklim
demokrasi merupakan termasuk variabel menentukan akses untuk variabel
selanjutnya, gerakan protes. Pendekatan institusionalisme membuat pernyataan
tentang sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari institusi-institusi
politik dan hubungannya dengan nilai-nilai politik, terutama nilai-nilai
politik dari liberal demokrasi.[ix]
Sementara pada pendekatan institusionalisme yang baru, semua hal tersebut
dielaborasikan dengan rational choice,
yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Motif-motif
di ataslah yang menjadi salah satu penentu gerakan-gerakan protes, yang juga
merupakan bagian dari gerakan sosial. “Social movement politics is
fundamentally a struggle about the composition of the field of actors within a
conflict, with movement activists and their opponents actively working to
construct the contest and its combatants in their favor.”[x] Lipsky
(1968,1970) berpendapat bahwa jarang terjadi hubungan secara langsung antara
orang miskin dengan penangung-jawab kebijakan, orang miskin perlu memobilisasi
massa, itulah yang akan membuat simpati yang aktif terhadap
publik yang melihat. Publik yang melihat inilah yang selanjutnya akan menjadi
kelompok penekan kebijakan pemerintah.[xi]
Political opportunity
theory argues that the actions of the activists are
dependent on the existence - or lack of - of a specific political opportunity.[xii]
Atau juga, Political opportunity structure
dapat dikatakan sebagai sebuah konfigurasi antara sumber daya-sumber daya, lembaga-lembaga
pengaturan, pembelajaran-pembelajaran masa lalu tentang gerakan sosial, yang
dalam perbedaan-perbedaan strukturnya dapat, baik memfasilitasi perubahan
maupun menghambat gerakan-gerakan protes tersebut.[xiii]
Penelitian ini menggunakan studi literatur dan
penekanan metode kualitatif sebagai metode
utama dari berbagai sumber, termasuk Buku, Jurnal, e-Jurnal, dan berita
digital/internet. Sementara survey, grafik, adalah data pendukung dalam
penelitian ini yang berasal dari data sekunder.
Hal
yang menjadi alasan buruh untuk
melakukan gerakan protes adalah para buruh butuh
untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya; juga buruh butuh massa yang besar untuk menyukseskan tujuannya,
yakni kenaikan upah; arak-arakan massa, konvoi di jalanan, demonstrasi juga
merupakan hal yang diperbolehkan di dalam negara ini. Kendalanya adalah mereka terpecah-belah dalam memperjuangkan nasibnya berdasarkan
tingkat kepentingan dan ke-moderat-annya dalam
dialog. Permasalahan penetapan upah ini melibatkan pemerintah, pengusaha
dan juga buruh. Semuanya itu adalah pengaruh
rasionalitas, idealis dan iklim demokrasi.
Protes Penetapan UMP Jakarta 2013
Pada
tanggal 24 Oktober, Buruh memprotes secara perdana di masa kepemimpinan
Gubernur DKI Jakarta yang baru, Joko Widodo. Tuntutan buruh kali ini adalah
kenaikan Upah Minimium Provinsi DKI Jakarta, yang sebelumnya UMP DKI Jakarta
tahun 2012 adalah Rp 1.579.000, menjadi Rp 2.799.000, papar dan tuntut buruh di
dalam pertemuan dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki T. Purnama dan
Disnakertrans.[xiv]
Protes buruh tersebut mengepung balai Kota Jakarta dan memang sudah
direncanakan sejak saat 3 Oktober 2012 saat aksi mogok Nasional.[xv]
Kemudian
hasil dalam rapat pertemuan antara perwakilan buruh dan Disnakertrans DKI
Jakarta itu diputuskan 13 hal penting, yang akan dikaji lebih dalam oleh Kadisnakertrans
DKI, Dedet Sukandar. Sejumlah poin itu sebagai berikut:
1.
Kebutuhan hidup layak (KHL) tidak boleh ditetapkan berdasarkan rata-rata hasil
survei di tahun 2012, akan tetapi ditetapkan berdasarkan hasil survei di bulan
Oktober 2012 dan ditambah dengan proyeksi bulan November dan Desember 2012.
2.
Tidak ada putusan KHL pada hari ini (24 Oktober 2012).
3.
Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI tahun 2013 mempertimbangkan besaran
inflasi di tahun berikutnya dan penetapan upah minumum di sejumlah wilayah
penyangga Jakarta.
4.
Pemerintah akan mengusut dugaan adanya mafia politik upah murah.
5.
Pemerintah DKI akan mengkaji komponen KHL yang jumlahnya 100 item, untuk
pekerja lajang dan 122 item untuk pekerja yang berkeluarga.
6.
Penetapan UMP dan UMSP ditetapkan dalam satu paket ketetapan dan dalam waktu
yang bersamaan.
7.
Penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) sektor ritel, perkayuan dan
printing serta delapan perusahaan di sektor logam, elektronik dan mesin
dimasukkan dalam tambahan sektor unggulan.
8.
Pada 2 November 2012 akan diadakan pertemuan pada pukul 08.00 untuk penetapan
KHL 2013 dengan mengundang unsur pengusaha dan perwakilan serikat pekerja yang
hadir pada hari ini.
9.
Pemerintah akan turun ke lapangan untuk memeriksa pelanggaran praktek outsourching
dan mencabut izin perusahaan outsourching yang melanggar.
10.
Semua proses interview karyawan di perusahaan (terutama di ruang tertutup)
wajib menggunakan CCTV.
11.
Pengawasan ketenagakerjaan harus aktif turun ke lapangan, dan ketika turun ke
lapangan harus menemui dan mendapatkan tanda tangan dan dokumentasi dari
serikat pekerja.
12.
Pemerintah meminta buruh untuk membantu memberantas pungli terhadap penguasa di
DKI.
13.
Keterwakilan unsur pekerja di dewan pengupahan merujuk pada Kepmen 201 yang
ditebitkan tahun 2001.[xvi]
Kemudian
pada 2 November 2012, Buruh melanjutkan aksinya kembali di Jakarta menuntut
janji dari Wakil Gubernur Ahok pada pertemuan sebelumnya. Pada saat yang sama,
terdapat pertemuan yang sebelumnya sudah dijadwalkan Pemerintah untuk
menentukan besaran KHL dengan mengundang unsur pengusaha dan serikat buruh.
Barulah
pada tanggal 12-14 November 2012, Rapat Dewan pengupahan menghasil penetapan
kenaikan UMP dengan keterangan sebagai berikut:
Rapat
Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta 2012
|
||||
Unsur
Perwakilan
|
Besaran
UMP 2013
|
%
KHL
|
%UMP
2012
|
Lain-lain
|
Pemerintah
|
2.176.667
|
110%
|
42,34%
|
Pertumbuhan
Ekonomi 6,8% dan kisaran tingkat inflasi 4% untuk tahun 2013
|
Pengusaha
|
1.978.789
|
100%
|
29,40%
|
|
Buruh
|
2.799.067
|
141,45%
|
|
100
komponen KHL untuk Lajang dan 122 komponen KHL untuk status berkeluarga
|
2.1 Figure:
Tabel mekanisme rapat dewan pengupahan
Hasil
dari rapat Dewan Pengupahan DKI Jakarta 2012 menetapkan angka Rp 2.216.243.
Hasil angka tersebut disetujui oleh Pimpinan Rapat dan didapat dari usulan
unsur buruh yang menurunkan tuntutannya pada angka tersebut yang juga
merupakana 112% dari angka KHL yang ditetapkan Disnakertrans Provinsi DKI
Jakarta.[xvii]
Pada
tahapan ini, tuntutan buruh untuk menaikkan UMP 2013 berhasil. Protes, dialog
dan aksi turun ke jalan buruh berhasil mempengaruhi pemerintah daerah, terutama
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang baru. Terlepas dari ketidak-setujuan pihak
Pengusaha dalam keputusan ini, tuntutan buruh terpenuhi meskipun tidak sesuai
dengan tuntutan awal buruh dengan pengesahan dari pejabat Gubernur Provinsi DKI
Jakarta, Joko Widodo pada 20 November 2012.
Kronologi
diatas cukup jelas memparkan bagaimana aksi-aksi buruh dalam menuntut kenaikan
upah. Seringkali ketidak-satuan suara buruh dalam memperjuangkan hak-haknya
menjadi kendala sendiri bagi buruh. Terdapat banyak sekali organisasi-organisai
atau serikat-serikat yang menyatukan unsur buruh. Di dalam kasus UMP kota
Jakarta sendiri, terdapat nama-nama serikat: Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
(SPSI), Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI), Gerakan Serikat Pekerja Metal Indonesia
(Gespermindo), Perkumpulan Pekerja Muslim Indonesia 1998 (PPMI 98), Federasi
Serikat Buruh Indonesia (FSBI), Komite Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Komite
Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Federasi Serikat Pekerja Metal
Indonesia (FSPMI). Dari sekian banyak serikat-serikat buruh tersebut akan sulit
ditemukan kesepakatan antar buruh itu sendiri dengan melihat adanya
serikat-serikat yang bersifat radikal walaupun ada juga serikat-serikat yang
bersifat moderat.
Isu
lain yang terdapat di dalam aksi protes buruh adalah ketegangan antara buruh
dan warga sekitar. Bagi warga, aksi-aksi protes para buruh di jalan adalah
menggangu kenyamanan dan ketertiban terutama jika terjadi kemacetan. Walaupun
demikian, itulah esensi dari aksi-aksi buruh, yaitu mencari simpati massa yang
lebih besar karena buruh tidak dapat secara langsung memaksa perusahaan untuk
menuruti tuntutannya ataupun memaksa negara untuk membuat peraturan menanggapi
peraturannya. Beralih dari apa yang sebenarnya esensi dari aksi-aksi protes
ataupun sudut pandang gerakan sosial tujukan, untuk mendapatkan dukungan pihak
ketiga yang berkuasa, aksi-aksi protes justru menimbulkan kerawanan sosial yang
harus segera diselesaikan oleh Pemerintah. Dari sisi ekonomi juga, aksi-aksi
protes buruh juga dapat dikalkulasikan sebagai kerugian bagi pengusaha terkait,
dimana si pekerja diupah.
Motif Rasionalitas dalam Aksi Protes Buruh
Rasionalitas
terlihat di dalam aksi protes, terutama di dalam kasus ini. Terlepas dari
masalah ideologi yang banyak dianut oleh para buruh, sisi rasional sebagai
pribadi manusia juga hadir sebagai motif di dalam aksi-aksi protes buruh. Salah
satunya adalah standar komponen hidup layak (KHL), hal tersebut adalah hal yang
diperjuangkan dan menjadi alasan buruh untuk meminta kenaikan upah. Sebab,
kelayakan hidup mereka di tengah-tengah kehidupan nyata mereka sehari-hari
adalah bergantung terhadap upah mereka yang diterima tiap bulannya. Oleh karena
itu, urusan kehidupan masih dirasakan juga urusan masing-masing mereka.
Rasionalitas
juga dapat dilihat dari mayoritas yang beraksi demo adalah buruh dengan
pendapatan rendah atau di atas mendekati, melihat juga dikotonomi atau
pembagian istilah antara buruh dengan pegawai swasta. Buruh dipandang sebagai
pekerja kasar, sementara pegawai-pegawai swasta dengan gaji cukup tinggi tidak
akan kita lihat di dalam aksi-aksi demo menuntut kenaikan UMP. Oleh karena itu,
peran rasionalitas mendorong terhadap buruh-buruh yang melakukan aksi.
Rasionalitas juga yang mendorong para pegawai-pegawai atau para pekerja dengan
upah yang lebih tinggi untuk tidak ikut dalam aksi-aksi tersebut.
Secara
umum, kita pahami para pekerja yang sudah mampu mencukupi kebutuhan dasar
hidupnya dapat kita kategorikan kelas menengah. Max Weber, mengkategorikan kelas
menengah sebagai kelas yang merupakan perpaduan antara kelas pedagang atau
pekerja dengan kelas pemilikan yang berarti kelas yang bekerja akan tetapi
mampu mempunyai kepemilikan-kepemikan lainnya selain kebutuhan hidup, atau
dapat menabungkan sebagian penghasilannya.[xviii]
Para pekerja seperti inilah, yang tergolong sebagai kelas menengah, yang
seharusnya menjadi pihak ketiga, simpatisan ataupun orang-orang terpengaruh
oleh gerakan-gerakan protes buruh untuk menjadi kelompok penekan pemerintah;
yang dibahas di dalam teori resource
mobilization sebagai bystander.[xix]
Atau juga, para pekerja tersebut berperan sebagai agen pembawa modernisasi dan
demokratisasi.[xx]
Akan tetapi, peran pembawa perubahan, simpatisan ataupun bystander tidak dapat dipenuhi oleh kelas menengah yang ada di
Indonesia, yang menurut Marzuki Darusman adalah Kelas menengah yang tak sadar
dan tanpa disiplin, atau juga yang menurut Ninuk Mardiana Pambudy adalah kelas
yang konsumtif dan peniru. [xxi]
Motif
rasional pulalah yang menyatukan, serikat-serikat buruh yang ada pada hari-hari
protes hingga distujuinya kenaikan UMP Jakarta pada tanggal 14 November 2012.
Sebab, faksi-faksi yang ada di dalam serikat-serikat buruh yang ada di Jakarta
harus bersatu, memobilisasi masanya yang sekian banyak untuk berdemo menuntut
kenaikan upah karena mereka sendirilah sudah cukup untuk menjadi kelompok
penekan terhadap pemerintah. Berikut dijelaskan mengapa serikat-serikat buruh
perlu bersatu, dengan teknik game theory,
teknik yang memetakan aktor-aktor dan kemungkinan pilihan/model-model
strategi interaksi antara serikat-serikat buruh tersebut serta dampaknya;[xxii]
|
Faksi Buruh B
|
||
Faksi Buruh A
|
|
Diam
|
Protes
|
Diam
|
A
& B: Tidak ada perubahan, kenaikan UMP tidak signifikan
|
A:
Tidak ada Perubahan
B:
Terancam di PHK atau diberi sanksi oleh pengusaha
|
|
Protes
|
A:
Terancam di PHK atau diberi sanksi
B:
Tidak ada Perubahan
|
A
& B: Berhasil menekan pemerintah, UMP naik seusai tuntutan atau minimal
meningkat secara signifikan
|
2.2 Figure: Game theory dan
pilihan rasional buruh untuk bersatu
Sehingga,
tujuan dari gerakan-gerakan protes buruh untuk dapat menarik perhatian seperti
yang dijelaskan teori resource
mobilization tidak dapat tercapai. Justru, masa buruh atau pekerja dengan
gaji rendah itu yang besar dan mobilisasi masa buruh untuk membentuk gerakan
protes dapat menjadi kelompok penekan tersendiri terhadap kebijakan pemerintah
karena dorongan kepentingan-kepentingan rasional dari sekian banyak buruh yang
mengikuti aksi-aksi protes tersebut.
Motif Ideologis dalam Aksi Protes Buruh
Motif
Ideologis ada dan dapat diketahui dari aksi-aksi protes buruh dengan melihat
fakta-fakta sejarah kaum buruh ke belakang, khususnya ideologi Sosialis.
Sosialisme adalah paham yang berkeyakinan bahwa kemajuan manusia dan keadilan
terhalang oleh lembaga hak milik yang intinya kepemilikan atas suatu barang
terutama modal ataupun moda produksi dapat menjadi sumber eksploitasi manusia
dan sumber ketidak-adilan.[xxiii]
Ideologi inilah yang paling populer di kalangan buruh hingga saat ini, juga
termasuk buruh-buruh di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari cara-cara buruh
dalam memperjuangkan kepentingannya dan kepentingan-kepentingan apa saja yang
diperjuangkan. Sejak era, Industrialisasi dan terbentuknya kelas buruh/proletar
dan borjuis; cara-cara yang dilakukan oleh kelas buruh selalu dengan diwarnai cara
protes, pemogokan kerja dsb. hingga saat ini. Juga, kepentingan dari buruh
kurang lebih selalu sama, berkisar pada kesejahteraan umum, keadilan sosial,
upah yang layak, jaminan kesehatan dsb. Seperti terungkap di dalam pernyataan salah
seorang aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Konferensi, “Transition
Towards Democracy in Indonesia” di Hotel Santika Jakarta pada 18 Oktober 2012:
“Demokrasi
adalah proyek dari kapitalisme untuk mengamankan kompetisi pasar bebas.
Demokrasi tidak menyelesaikan masalah mengapa terjadi eksploitasi ekonomi oleh
orang-orang yang kaya terhadap orang-orang miskin. Kami tidak membutuhkan
demokrasi, kami membutuhkan sosialisme. Secara esensi, demokrasi hanya
dibutuhkan oleh sebagian kecil elit-elit dan ilmuwan politik di Jakarta, bukan
dibutuhkan oleh mayoritas dari rakyat miskin.”[xxiv]
Tidak
seperti sosialis-marxis/komunisme, yang mengisyaratkan perlu adanya revolusi
untuk merebut atau mengubah sistem dari kapitalisme menuju ke sosialisme dengan
cara revolusi. Buruh-buruh di Indonesia, saat ini, berpaham sosialisme-demokrat
atau sosialisme yang lebih moderat yang percaya bahwa tuntutan-tuntutan mereka
akan kesejahteraan dan keadilan masih dapat diakomodir oleh sistem demokrasi.[xxv]
Secara fundamental, motif ideologislah yang selalu mewarnai setiap aksi selain
daripada rasionalitas mereka yang menuntut kesejahteraan masing-masing secara
individual.
Ke-moderat-an
buruh-buruh yang ada di Indonesia dapat dilihat dari kasus ini, sekalipun
mereka melakukan aksi-aksi protes, mereka masih mau duduk bersama pemerintah,
bernegosiasi. Pada tanggal 24 Oktober 2012, buruh mau mendiskusikan masalah
tuntutan kenaikan upah bersama Wakil Gubernur, Basuki Tjahaya Purnama dan juga
jajaran Disnakertrans DKI Jakarta. Selanjutnya pada tanggal 2 November 2012,
para buruh yang tergabung dalam banyak serikat buruh masih mau mengutus
perwakilan untuk berdiskusi dengan pemerintah dan pengusaha membahas besaran
KHL untuk regional Jakarta sendiri. Kemudian pada, tanggal 14 November 2012,
para buruh kembali mengirimkan perwakilannya dalam rapat bersama Dewan
Pengupahan yang terdiri dari perwakilan asosiasi pengusaha juga. Meskipun
sempat terjadi ketegangan antar serikat-serikat buruh yang berdemo terhadap
keputusan mengirimkan perwakilan di dalam rapat tersebut atau tidak mengikuti
rapat dengan mematok UMP menurut keputusan buruh sepihak, para buruh tetap
mengirimkan perwakilannya dan mau menurunkan besaran UMP tuntutannya. Ketegangan tersebut tergambar di dalam satu
pernyataan dari faksi buruh, Ketua Federasi Serikat Buruh Indonesia, Bayu
Muniarto, “Mereka yang ikut rapat itu seperti pengkhianat. Padahal sudah ada
putusan kalau semuanya enggak hadir dalam rapat itu. Harusnya ada informasi
sebelumnya supaya kami tidak menduga-duga. Ini kan tidak, tiba-tiba mereka
rapat. Padahal kita sepakat untuk boikot.”[xxvi]
Fasilitasi Iklim Demokrasi dalam Gerakan Protes
Ketidak-satuan
gerakan-gerakan buruh dalam melakukan protes dapat dimaklumi dengan mengetahui
tidak adanya satu wadah yang menanungi buruh dan tempat yang menampung
aspirasi-aspirasi para buruh, secara khusus dan jelas. Tidak adanya Partai
Buruh menunjukan; pertama, ketidak-solidan dari buruh itu sendiri dalam
memperjuangkan aspirasinya; kedua, ketidak-mungkinan atau ketidak-cocokan baik
input di dalam struktur politik di Indonesia maupun outputnya.
Pertama,
jelas dari ketidak-solidan buruh mempengaruhi terpecahnya suara da aspirasi
para buruh ini. Ketidak-sepakatan para buruh untuk menciptakan partainya
sendiri mengakibatkan terpecahnya kantong-kantong suara yang dimilki oleh buruh
ke dalam beberapa partai pada saat pemilu. Padahal dengan banyaknya jumlah masa
buruh yang ada di Indonesia dan iklim demokrasi yang ada, Potensi Buruh untuk
masuk ke dalam parlemen ataupun pemerintahan dan memperjuangkan hak-hak dan
ide-idenya secara langsung adalah bukan hal yang mustahil. Sudah banyak
negara-negara yang memiliki Partai Buruh tersendiri, ataupun yang berafiliasi
buruh secara langsung dan tergabung dalam organisasi Sosialis Internasional;
termasuk Partai-partai Buruh di United Kingdom, Amerika Serikat, Perancis,
Jepang, Itali dsb.[xxvii]
Ada beberapa asumsi yang menyebabkan tidak bersatunya partai buruh di
Indonesia. Salah satunya adalah pengkotak-kotakan istilah buruh dan pegawai
oleh Pemerintahan Orde Baru dan juga penyusupan-penyusupan agen pemerintah ke
dalam oraganisasi-organisasi serikat agar semuanya tidak bersatu; sehingga
tidak adanya perlawanan yang berarti, terutama daerisektor pekerja terhadap
Pemerintahan Orde Baru.[xxviii]
Kedua,
dengan melihat input struktur politik di Indonesia yang terbuka seharusnya
buruh dengan masanya yang banyak dapat terlibat langsung di dalam proses
pembuatan kebijakan dan menyampaikan aspirasi-aspirasi. Input struktrur yang
terbuka artinya keterbukaan dan keresponsifan lembaga-lembaga negara terhadap
kelompok-kelompok yang mengajukan tuntutan.[xxix]
Akan tetapi buruh sendiri tidak mempunyai partai politik sendiri dan terpecah
ke dalam beberapa partai-partai politik di Indonesia sehingga keresponsifan
lembaga-lembaga pemerintah dalam menerima aspirasi dari buruh akan berkurang.
Juga, dengan melihat output yang sedikit lemah wajar saja jika cara-cara buruh
dalam menyampaikan aspirasi dengan jalan-jalan protes, pawai kendaraan, mogok
kerja dsb. Lemahnya output struktur politik di Indonesia berarti lemahnya
kapasitas negara dalam memenuhi tuntutan-tuntutan rakyatnya melalui respon
kebijakan yang tepat.[xxx]
Sehingga, walaupun sudah berada di dalam era yang demokratis, kelompok-kelompok
kepentingan yang ada, terutama buruh tetap harus melakukan protes-protes turun
ke jalan untuk menenkan pemerintah yang tidak responsif ini. Seperti halnya
kelompok-kelompok kepentingan di Negara Jerman dan Perancis yang harus
melakukan startegi konfrontasional dengan pemerintahnya dengan cara demonstrasi
di tempat umum dan menunjukan ketidak-patuhannya terhadap pemerintah.[xxxi]
Keuntungan dari Iklim demokrasi sendiri, bagi para buruh di Indonesia, hanya
sebatas kebebasan berekspresi, berpendapat, berkumpul, berorganisasi walaupun
tidak dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah secara langsung. Berbeda dengan
negara-negara yang keterbukaan dan respon-respon pemerintah terbilang baik dan
memiliki Partai Buruh, seperti di Amerika Serikat dan Swedia. Pergerakan buruh
dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan pemerintah dapat lebih mudah
dengan cara melobi, memberi petisi, dan aktifitas-aktifitas kepartaian lainnya.[xxxii]
Kesimpulan
Sudah
sangat jelas sekali pengaruh dari pemikiran rasionalitas, ideologis dan juga
iklim demokrasi di Indonesia mempengaruhi gerakan-gerakan protes, terutama
untuk kasus tuntutan kenaikan UMP Jakarta 2013. Pengaruh ketiganya cukup jelas
terpapar di dalam analisa paper di atas. Ketiga variabel tersebut menjelaskan
dan memberikan argumen yang jelas atas motif buruh untuk melakuka
gerakan-gerakan sosial.
Pemikiran
rasionalitas memberikan pengaruh buruh untuk bergerak, memprotes besaran KHL
yang terlampau minim sehingga kemudia dikaji ulang oleh pemrintah daerah
provinsi Jakarta. Rasionalitas pula yang mendorong, banyak faksi di dalam
serikat-serikat buruh ini untuk bersatu dalam aksi gerakan protes di Jakarta
dan mengawal rapat Dewan Pengupahan DKI Jakarta hingga akhir keputusan. Dari
sisi ideologis pun tidak dapat dilepaskan pergerakan buruh ini. Buruh dan
ideologi Sosialis tidak dapat dipisahkan secara sejarah dan pemikiran dan
gerakan-gerakan buruh kali ini selain menuntut rasionalitas masing-masing
buruh, juga menuntut kesejahteraan secara umum seperti yang juga tertera di
dalam ide-ide Sosialis. Cara para buruh pun tetap sama dan identik dengan
protes, ketidak-patuhan, demosntrasi dan aksi mogok. Dari sisi iklim demokrasi
sendiri, hal ini memberikan dukungan terhadap buruh untuk menyuarakan
aspirasi-aspirasinya dengan kebebasan berpikir, berpendapat, berkumpul dan juga
berorganisasi yang sudah dijamin di dalam konstitusi.
Namun
terdapat dua perbedaan yang dialami oleh buruh dalam kasus aksi protes kali ini
dan atau mungkin kasus-kasus yang sebelumnya terjadi. Dalam teori resource mobilization, mungkin dalam
contoh di Amerika Serikat, gerakan-gerakan sosial bertujuan untuk menarik
simpati pihak ketiga yang mempunyai kekuatan lebih untuk menekan pemerintah,
dalam hal ini masyarakat sipil.[xxxiii]
Akan tetapi, dalam kasus ini, buruh sudah memiliki masa yang cukup banyak
sendiri untuk menekan pemnerintah dalam proses pembuatan kebijakan. Justru
aksi-aksi protes buruh ini yang kerapkali mendapatkan antipati dari masyarakat
sipil karena menggangu kenyamanan dan ketertiban umum; dan bahkan berpotensi
konflik horinzontal antara buruh dan warga.
Perbedaan
yang selanjutnya terdapat pada teori political
structure, yang menjelaskan seharusnya dengan keterbukaan pemerintah dapat
menciptakan kemudahan terutama untuk buruh dalam kasus ini, untuk menyatakan
aspirasi-aspirasi dan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik. Akan
tetapi, dengan mengetahui fakta bahwa tidak adanya partai buruh di Indonesia
yang eksis di dalam pemerintahan, keterbukaan dalam strukktur politik itu
menjadi tertutup sehingga buruh harus melakukan model-model strategi yang lebih
konfronsional terhadap pemerintah.
Tujuan
dari para buruh melakukan aksi-aksi gerakan protes seperti ini yang juga
memerlukan masa yang banyak dan dengan alasan pemenuhan kebutuhan hidup yang
layak adalah kenaikan UMP Jakarta. Tujuan tersebut pun akhirnya tercapai dalam
pelibatan-pelibatan aksi-aksi buruh dan mediasinya dengan pemerintah dan
pengusaha-pengusaha di Jakarta. Ketiadaan jaminan sosial juga merupakan
penyebab ketidak-pastian yang harus dihadapi oleh buruh, ketika mereka sakit,
kecelakaan, pensiun ataupun meninggal sehingga mereka membutuhkan upah yang
lebih tinggi untuk menghadapi hal itu semua. Penerapan jaminan sosial adalah
solusi alternatif, dan memang sudah seharusnya ada selain daripada penaikan
upah minimum diatas angka kebutuhan hidup layak.
[i] Badan Pusat Statistik, “Penduduk 15 Tahun Menurut Status Pekerjaan
Utama, 2004-2011”, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=3 akses pada 30 Januari 2013 dan InfoJKT,
“Jumlah Pekerja di Jakarta Tahun 2012 mencapai 4,72 Juta Jiwa”, http://infojkt.com/jumlah-pekerja-di-jakarta-tahun-2012-mencapai-472-juta-jiwa/
akses pada 30 Januari 2013
[ii]Grendi Hendrastomo, Menakar Kesejahteraan
Buruh: Memperjuangkan Kesejahteraan Buruh diantara Kepentingan Negara dan
Korporasi, Jurnal Informasi, Volume 16 Nomor 2, (2010), hal. 4
[iii]
Inggrid Dwi Wedhaswary, “Basuki
Ingkar Janji Buruh Goyang Jakarta Ancam ”, http://megapolitan.kompas.com/read/2012/11/02/12281490/Basuki.Ingkar.Janji.Buruh.Ancam.Goyang.Jakarta akses pada 27 Januari 2012
[iv]
Dinna Wisnu, Politik Sistem Jaminan Sosial: Menciptakan
Rasa Aman dalam Ekonomi Pasar, (Jakarta: PT. Gramedia, 2012) hal. 1-3
[v]
Todd G. Buchholz, New Ideas From Died
Economis dalam Deliarnov,
Ekonomi Politik, (Jakarta:
Erlangga, 2005), hal. 26
[vi]
Jon Elster, Rational Choice dalam Deliarnov, Ekonomi Politik, (Jakarta:
Erlangga, 2005), hal. 135
[vii]
Hugh Ward, Rational Choice Theory dalam
David Marsh dan Gerry Stoker (eds), Theory and Methods in Political Science, (London:
MacMillan Press, 1995), hal. 79
[viii]
Milton Rokeach, The Nature of Human
Values dalam David O. Sears, et.al (eds), The Oxford Handbook of Political
Psychology, (New York: Oxford University Pres, 2003) hal. 492
[ix]
R.A.W. Rhodes, The Institusional Approach
dalam David Marsh dan Gerry Stoker
(eds), Theory and Methods in Political
Science, (London: MacMillan Press, 1995), hal. 46
[x]
David S. Meyer dan Lindsey Lupo, Assesing the Politics of Protest: Political Science and the Study of
Social Movement, dalam Bert
Klandermans dan Conny Roggeband eds., Handbook of Social Movements across
Disciplines,
(New York: Springer, 2007) hal. 114
[xii] Ibid., hal. 125-145
[xiii] Herbert P. Kitschelt, Political
Opportunity Structures and Political Protest: Anti Nuclear Movement in Four
Democracies dalam Todd Landman, Issues
and Methods in Comparative Politics: An Introduction, Third Edition, (New
York: Rouledge, 2008), hal. 169
[xiv]Berita
Satu, “Dorong UMP Buruh Naik, Ahok Ancam Pecat kadisnakertrans”, http://www.beritasatu.com/mobile/bisnis/79387-dorong-ump-buruh-naik-ahok-ancam-pecat-kadisnakertrans-dki.html
akses pada 27 Januari 2012 dan Harian terbit, “9 Hari Bertugas, Ribuan Buruh Sudah Kepung
Kantor Jokowi”, http://www.harianterbit.com/2012/10/24/9-hari-bertugas-ribuan-buruh-sudah-kepung-kantor-jokowi/
akses pada 27 Januari 2012
[xvi]
Viva News, “Ini 13 kesepakatan Ahok dengan Buruh terkait Upah”, http://m.news.viva.co.id/news/read/362040-ini-13-kesepakatan-ahok-dengan-buruh-terkait-upah
akses pada 27 Januari 2012
[xvii] TVone News, “UMP DKI 2013 bakal naik Jadi RP 2,2 Juta”, http://jabodetabek.tvonenews.tv/berita/view/64304/2012/11/15/ump_dki_2013_bakal_naik_jadi_rp22_juta.tvOne
akses pada 27 Januari 2012 dan Kantor Berita Antara, “Pengusaha Tolak Hasil Penetapan
UMP”, www.antaranews.com/berita/343735/pengusaha-tolak-hasil-penetapan-ump-2013
akses pada 27 Januari 2012
[xviii] Max Weber, Essays in
Sociology dalam Francisia SSE Seda. Kelas Menengah Indonesia: Gambaran Umum
Konseptual, Prisma Volume 31, LP3S, (2012), hal. 4
[xix] Op. Cit., David S. Meyer dan Lindsey Lupo, hal. 115
[xx] Francisia SSE Seda, Kelas Menengah Indonesia: Gambaran Umum
Konseptual, Prisma Volume 31, LP3S, (2012), hal. 3
[xxi] Marzuki Darusman, Kelas Menengah yang Tak Sadar, dan Tanpa
Disiplin, Prisma Volume 31, LP3S, (2012), hal. 66 dan Ninuk Mardiani Pambudy,
Gaya Hidup Suka Mengkonsumsi dan Meniru: Beranikah Berinovasi?, Volume 31,
LP3S, (2012), hal. 14
[xxii] Todd Landman, Issues and
Methods in Comparative Politics: An Introduction, Third Edition, (New York:
Rouledge, 2008), hal. 208
[xxiii] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010)
hal. 48
[xxiv] Ikrar Nusa Bhakti, The
Transistion to Democracyin indonesia: Some Outstanding Problems, Asia-Pacific
Studies for Security Studies: Region in Transition, (2004), hal. 196
[xxv] Michael G. Roskin, Political
Science: An Introduction, (New York: pearson, 2010) hal. 45-47
[xxvi] Kompas, “Buruh yang Ikut Rapat UMP Disebut Pengkhianat”, http://megapolitan.kompas.com/read/2012/11/13/16025735/Buruh.yang.Ikut.Rapat.UMP.Disebut.Pengkhianat
[xxvii] Socialist International, “Member
Parties of Socialist International”, http://www.socialistinternational.org/viewArticle.cfm?ArticlePageID=931
akses pada 27 Januari 2012
[xxix] Op. Cit., Todd landman, hal. 169
[xxx] Ibid.
[xxxi] Ibid.
[xxxii] Ibid.
[xxxiii] Op. Cit., David S.
Meyer dan Lindsey Lupo,
Oleh: Angga Ramdhana Apriliana, Mahasiswa Ilmu Politik Univ. Bakrie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar