Halaman

Minggu, 04 Agustus 2013

Analisa Embargo Minyak dari Iran oleh Uni Eropa Tahun 2012

Oleh: Rafi Eranda Jahja


1.     Pendahuluan
1.1  Latar Belakang
          Iran adalah salah satu penghasil minyak bumi terbesar di dunia. Iran sendiri adalah penghasil minyak bumi nomer lima di dunia setelah mengalahkan Uni Emirat Arab, negara sesamanya di Timur Tengah. Lalu di atasnya ada China, Rusia, Amerika Serikat, dan negara sesamanya di Timur Tengah, yaitu Arab Saudi. Produksi minyak buminya per hari yaitu sejumlah  4,13 juta barel per hari. Lalu, Iran juga berkontribusi sebesar 4,6% untuk dunia. Lalu, Iran mempunyai cadangan minyak buminya di dalam negerinya yaitu sebesar  137 miliar barel.[1] Namun, negara yang juga menghasilkan nuklir tersebut ternyata mempunyai masalah dengan Eropa terkait dengan produksi minyak buminya akibat dari gagalnya suatu perundingan.
          Pada Juni 2012 lalu, Uni Eropa (UE) secara resmi mengembargo impor minyak  bumi dari Iran yang terhitung secara efektif dimulai tanggal 1 Juli 2012. Kebijakan ini sudah disepakati oleh negara-negara Eropa pada pertemuannya di Luxemburg.[2] Dari kebijakan Uni Eropa tersebut, maka negara-negara Eropa tidak akan mengimpor segala minyak bumi ataupun mentah dari Iran. Walau ada satu negara yang menentang kebijakan ini, yaitu Yunani dikarenakan negara tersebut sedang mengalami krisis dan ketergantungan dengan impor minyak dari Iran, kebijakan Uni Eropa tersebut tetap akan diimplementasikan. Kebijakan ini juga didukung oleh Amerika Serikat (AS) berupa paket sanksi financial yang telah dikeluarkan oleh Amerika Serikat lebih dahulu yang walau dikarenakan gagalnya perundingan tentang nuklir dengan Iran di Moskow.
          Kebijakan embargo yang dilakukan oleh UE ini adalah merupakan langkah atas gagalnya perundingan mengenai pengembangan proyek nuklir yang dilakukan oleh Iran. Iran yang tidak mau menutup proyek pengembangan nuklirnya, membuat kesal negara-negara Eropa sehingga Uni Eropa pun mengambil langkah tersebut sebagai sanksi terhadap Iran. Ditutupnya pengembangan minyak Iran oleh Uni Eropa dan AS menimbulkan dampak besar bagi negara-negara pengimpor dan juga dari segi negara pengembangnya. Banyak pula negara-negara yang menjadi partner UE dan AS yang ikut menghentikan impor minyak dari Iran.  Negara seperti Yunani yang sedang mengalami krisis, cenderung bergantung pada Iran dari segi impor minyaknya. Sehingga, ketika UE mengembargo, maka Yunani akan mengalami kekurangan pasokan minyak bumi.


1.2  Perumusan Masalah
          Dari kasus embargo minyak yang dilakukan Uni Eropa terhadap Iran, penulis mempunyai beberapa pertanyaan yang merupakan perumusan masalah dari kasus tersebut.
1.      Bagaimana langkah Iran dalam menghadapi sanksi embargo minyak yang telah dilakukan oleh Uni Eropa?
2.      Bagaimana langkah Uni Eropa dalam upaya penekanan terhadap Iran dari segi pengembangan?


1.3  Kerangka Teori dan Relevansi
          Penulis akan menggunakan beberapa pendekatan atau teori dalam menganalisa kasus embargo minyak dari Iran oleh Uni Eropa ini. Pertama, penulis mengambil teori neo-merkantilism. Neo-merkantilism menekankan pada perlindungan pada masyarakatnya yang dimana negara menggunakan alat atau instrumen yang lebih variatif dalam melindungi dan beranggapan bahwa dunia lebih kompleks dan ditandai adanya ketergantungan antara satu negara dengan negara yang lainnya lalu juga ditandai dengan adanya globalisasi. Kaitannya dengan kasus adalah penulis akan menganalisa bagaimana Iran melindungi produksi dalam negerinya dan menggunakan beberapa cara dengan cara menutup salah satu jalur perdagangan agar dapat melawan kebijakan embargo yang dikeluarkan oleh Uni Eropa. Teori ini dipaparkan oleh Balaam dan Dilman.
          Kedua, penulis menggunakan pendekatan realism. Pendekatan realism mengajarkan bahwa di mana kekuasaan dipandang sebagai hal yang nyata dan menggunakan berbagai alat atau instrumen, seperti militer ataupun ekonomi dalam melindungi negaranya. Kaitannya dengan kasus yaitu penulis akan menganalisa bagaimana Uni Eropa maupun Iran saling melindungi dengan menggunakan instrumen ekonomi di dalamnya. Uni Eropa yang di dalamnya negara-negara Eropa menggunakan kebijakan embargo dalam melindungi negara-negara di dalamnya, sedangkan Iran menggunakan beberapa strategi dalam melindungi negaranya.
          Ketiga, penulis menggunakan teori New-Medievalism atau teori Abad Pertengahan yang baru. New-Medievalism ini berpandangan bahwa negara itu tidak ada dan diganti oleh sub sub atau bagian bagian governance kecil di dalam negara dan juga organisasi dari dunia internasional pun ikut andil. Dengan kata lain, New-Medievalism ini percaya bahwa konsep negara-bangsa itu jatuh dan negara itu terpecah akibat dari konflik etnis dan regional dan di waktu yang sama, terdapat-terdapat aktor-aktor yang ‘non-state’ dan juga yang ‘superstate’ yang ikut campur dalam menyelesaikan permasalahan suatu negara. Aktor-aktor tersebut berupa perusahaan multinational, organisasi internasional, dan yang utama organisasi non-negara atau kata lainnya Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM. Kaitannya dengan kasus ialah penulis akan menganalisa bagaimana peran Uni Eropa sebagai ‘superstate’ yang berusaha mengontrol pengembangan nuklir Iran sebagai ‘state’ (negara) sehingga bisa mengembargo  impor minyak dari Iran. Dari teori tersebut dapat dipandang bagaimana peran negara yaitu Iran dapat jatuh karena ada campur tangan aktor di luar negara yang ikut mengambil andil dalam kebijakan yang dibuat oleh Iran. Teori ini dipaparkan oleh Gilpin.
          Keempat, teori menggunakan teori  Globalisasi. Globalisasi diartikan sebagai penghapusan sekat-sekat untuk memperlancar arus-arus masuknya barang, uang dan juga Sumber Daya Manusia (SDM). Selain itu juga diartikan sebagai pengintegrasian internasional (negara-negara) dalam jaringan-jaringan informasi serta institusi ekonomi, sosial, dan juga politik yang belum pernah terjadi sebelumnya pada sejarah dunia. Ada tiga sudut pandang dalam globalisasi yaitu skeptic, ‘hyperglobalist’, dan  transformatif. Penulis dalam makalah ini mengambil pandangan transformatif, yang akan dijelaskan pada analisa studi kasus. Kaitannya dengan kasus ialah penulis akan menganalisakan bagaimana Iran dipaksakan masuk ke dalam arus globalisasi yang dimana Iran tidak mau begitu saja masuk ke dalam arus tersebut dikarenakan proyek nuklirnya. Akibatnya, ketika Iran tidak mau begitu saja masuk ke dalam arus globalisasi tersebut, maka Uni Eropa pun turun tangan. Teori ini dipaparkan oleh Deliarnov.
          Kelima, penulis ambil teori National Autonomy. Di dalam studi politik internasional, pasti terdapat adanya pertentangan antara kenaikan ketergantungan negara-negara terhadap ekonomi internasional atau ekonomi dunia dan juga terdapat adanya keinginan individu (negara) untuk dapat menjaga indenpendensi perekonomian mereka dan otonomi politiknya. Di waktu yang sama mereka juga menginginkan adanya keuntungan dari perdagangan bebas. Kaitannya dengan kasus ialah bagaimana Iran mencoba independen dari gangguan negara-negara lain terutama Uni Eropa agar mereka dapat menjaga SDA yang mereka kelola. Tapi di samping itu, Iran juga ingin masuk ke perdagangan dunia dan bisa mengambil keuntungan.


2.     Analisa Studi Kasus
2.1  Langkah Iran dalam Menghadapi Embargo Uni Eropa
           Sebelumnya, penulis ingin membahas beberapa teori yang berkaitan. Pertama, teori neo-merkantilism. Neo-merkantilism lebih mengarahkan pada perlindungan pada masyarakat pada suatu negara yang dimana negara menggunakan alat atau instrumen yang lebih variatif dalam memproteksi dan neo-merkantilisme beranggapan bahwa dunia lebih rumit dan itu ditandai adanya ketergantungan secara ekonomi antara satu negara dengan negara yang lainnya lalu juga itu ditandai dengan adanya globalisasi.[3] Menurut perspektif penulis, negara pada zaman sekarang lebih menggunakan instrument ekonomi dibanding militer, sama seperti zaman dahulu. Negara lebih memajukan industri dalam hal memajukan negara lalu mengekspansifkannya ke negara-negara lain. Lalu, realism adalah suatu pandangan di mana menekankan usaha dari negara dalam mencapai keamanan dan biasanya instrumen yang digunakan adalah militer.[4] Dalam hal ini, penulis lebih mengaitkannya dengan ekonomi. Negara lebih menggunakan instrumen yang berupa ekonomi dalam mencapai keamanan nasional. Keamanan nasional ini menurut pandangan penulis lebih ditekankan pada kesejahteraan ekonomi masyarakat pada suatu negara. Di sini, alat atau instrumen yang lainnya yaitu militer diminimalisirkan perannya karena lebih banyak instrumen ekonomi yang bermain.
           Lalu teori National Autonomy dalam studi hubungan international selalu bertentangan. National Autonomy ialah otonomi yang ada pada negara dimana negara ada keinginan untuk bermandiri atau independen untuk dapat menjaga perekonomian mereka dan otonomi politiknya. Dalam studi hubungan internasional, ini bertentangan dengan konsep ketergantungan antara satu negara dengan negara lainnya dalam perekonomian internasional. Di samping itu, negara juga ingin dapat masuk ke dalam arus perdagangan internasional dengan memajukan industri mereka dan memaksimalkan keuntungan dari persaingan dalam perdagangan internasional tersebut.[5] Dalam hal ini, menurut perspektif penulis, setiap negara berhak adanya otonomi dalam menjaga stabilitas negaranya, namun mereka juga berhak untuk masuk ke perdagangan internasional. Seperti yang telah disebutkan bahwa dalam hubungan internasional, negara memang tergantung dengan negara lainnya dalam konteks perekonomian internasional. Ini memang diperlukan mengingat adanya satu acuan atau patokan dalam perdagangan internasional. Seperti contoh, patokan seperti harga minyak dunia, pertukaran uang, penggunaan satu mata uang dalam  perdagangan internasional. Hal-hal yang seperti inilah yang menjadi bukti bahwa perlunya masuk ke dalam perekonomian internasional. Namun di samping itu, otonomi suatu negara juga diperlukan demi menjaga stabilitas negara tersebut dan juga bisa berpengaruh dalam perekonomian internasional.
          Apa yang telah diimplementasikan oleh Uni Eropa mengenai embargo minyak dari Iran, ternyata tidak menyurutkan niat Iran untuk terus berproduksi dan tetap mencari jalan lain dalam persaingan ekonomi. Sesuai dengan teori di atas, bahwa proteksi dilakukan apa saja oleh negara. Ini dapat dilihat dari tindakan Iran melalui Parlemen Iran untuk Komisi Kebijakan Luar Negeri dan Badan Keamanan Nasional Iran berusaha membuat Undang Undang mengenai penutupan salah satu selat yaitu selat Hormus.[6] Selat Hormus adalah salah satu jalur perdagangan minyak mentah yang banyak dilewati oleh kapal-kapal yang berasal dari negara-negara yang khususnya bergabung untuk mengembargo minyak mentah dari Iran. Pemblokiran ini bertujuan untuk membalas kebijakan embargo yang dilancarkan oleh Uni Eropa. Pemblokiran ini hanya ditujukan bagi negara Eropa yang mendukung embargo minyak mentah bagi Iran.[7]
          Pemblokiran selat Hormuz ini akan menyebabkan lumpuhnya pengiriman minyak mentah dari negara-negara Eropa atau negara-negara yang mendukung kebijakan pengembargoan minyak bumi yang biasanya mereka selalu melakukan perjalanan melalui jalur tersebut yaitu melewati selat Hormus. Bagi pandangan realist, tentunya akan kelihatan bagaimana Iran mencoba untuk terus mengembangkan industri minyak mereka dan membalas kebijakan atau seruan embargo minyak dari Iran. Di sini terlihat juga adanya Iran sebagai negara mempunyai kuasa atas selat Hormuz. Dengan membuat Undang-Undang mengenai selat Hormuz dan memasukannya dalam sidang parlemen lalu disahkannya UU tersebut, maka resmilah sudah pemblokan jalur perdagangan yang biasa dilalui oleh negara-negara Eropa tersebut, terutama kapal-kapal Tanker yang menuju ke Uni Eropa. Pandangan realist juga melihat bahwa adanya persaingan mengenai antar negara dengan ‘superstate’. Iran di sini dipandang berani karena mempunyai ‘power’ lebih atas industri yang sudah mereka kembangkan. Instrumen yang dipakai oleh Iran di sini adalah instrumen ekonomi. Karena, dalam hal ini, Iran menutup jalur perdagangan yang biasa digunakan oleh kapal-kapal dari Eropa dan negara lainnya, sehingga ketika jalur perdagangan tersebut ditutup, maka yang terjadi adalah terhambatnya proses distribusi yang dilakukan kapal-kapal tanker yang digunakan oleh negara-negara pengimpor.
          Hal ini sesuai dengan teori ‘national autonomy’ yang dimiliki oleh negara yang telah disebutkan di atas. Disebutkan bahwa negara mempunyai otoritas independen dalam menjaga atau mempertahankan stabilitas negaranya, mau itu dari segi politik maupun dari segi ekonomi. Iran di sini menggunakan ‘national autonomy’-nya dalam upaya membalas kebijakan embargo yang dilakukan oleh Uni Eropa. ‘National autonomy’ yang dilakukan oleh Iran ialah menggunakan wilayah kekuasaannya atau territorial negaranya untuk dijadikan sebagai senjata dalam membendung jalur perekonomian yang biasa dilewati negara-negara Eropa. Wilayah kekuasaannya tersebut adalah selat Hormus yang telah disebutkan di atas. Selat Hormus dari segi ekonomi, adalah jalur perdagangan dunia yang biasa dilewati kapal-kapal negara lain yang mengimpor minyak dari Iran. Namun, ketika kebijakan embargo yang telah ditetapkan oleh Eropa keluar, maka ada penutupan salah satu jalur sehingga memperhambat distribusi. Dalam konteks perekonomian internasional, Iran cukup berkontribusi dengan membiarkan teritorialnya, yaitu selat Hormus, sebagai jalur perdagangan dunia. Namun, ketika Uni Eropa berkata lain, yakni menyerukan embargo dari Iran, maka Iran di sini menggunakan otoritas ekonominya dan politiknya untuk menggunakan wilayahnya dan menjadikannya senjata untuk membalikan seruan Uni Eropa tersebut. Akibatnya, distribusi minyak ke Eropa pun terhambat dan harga-harga minyak bumi akan melonjak. Ini membuktikan bahwa negara pun berhak menggunakan otoritas wilayahnya dan tidak tinggal diam dalam menghadapi kebijakan dari ‘superstate’. Walaupun secara perekonomian terhambat, tetapi Iran mempunyai cara lain dalam menghadapi kebijakan lawannya sebagai negara yang mandiri. Walau tetap sanksi sudah diarahkan terhadap negara Timur Tengah tersebut, namun itu tidak berpengaruh terhadap industri minyak mentah dan bumi dalam negerinya sebagai negara yang independen.


2.2  Langkah Uni Eropa dalam Penekanan terhadap Iran
          Sebelum masuk ke permasalahan, penulis akan membahas teori yang berkaitan. Kalo dulu ada zaman Medievalism, alias zaman di mana tidak ada negara tetapi aktor-aktor non-negara dan individu-individu bergerak sendiri di dalam suatu wilayah, sekarang zaman Medievalisme itu seperti muncul lagi dengan adanya New-Medievalism. Secara paham, New-Medievalism berpandangan bahwa negara itu tidak ada, jatuh, hancur dan pecah karena beberapa konflik yang didalamnya yang disebabkan oleh etnis dan permasalahan regional. Namun, di waktu yang sama, terdapat juga aktor-aktor yang non-negara dan aktor-aktor ‘superstate’ yang ikut masuk atau ikut campur dalam menyelesaikan permasalahan yang ada pada negara tersebut. Aktor-aktor di luar negara tersebut bisa berupa perusahaan multinasional (Multinational Corporation atau MNC), organisasi internasional yang tergabung dari negara-negara, ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM (Non Governmental Organization atau NGO).[8] Menurut pandangan penulis, negara tidak bisa banyak berperan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di dalam masyarakatnya. Selalu ada peran dari NGO dalam menyelesaikan permasalahannya. Seperti permasalahan HAM, banyak LSM yang berazaskan menjunjung tinggi HAM. Ketika pemerintah tidak lagi bisa menangani permasalahan HAM tersebut, maka masyarakat mendatangi LSM yang berazaskan menjunjung tinggi HAM tersebut lalu mengadukannya kepada LSM tersebut, lalu dimasukkan aduan tersebut sebagai kasus dan memperjuangkan masyarakat itu. Seperti masalah lingkungan, pemerintah suatu negara sekarang ini tidak dapat berbuat banyak mengenai masalah lingkungan yang dikarenakan adanya investasi di dalamnya atau diperlukan untuk keperluan negara. Di sini ada banyak LSM yang berlatar belakang peduli lingkungan yang bertindak dan mendatangi pemerintah untuk mendapat penyelesaian atau jalan keluar dari permasalahan lingkungan tersebut. LSM ini tidak hanya berasal dari dalam negeri, namun juga LSM ini juga banyak yang dari luar negeri.
          Globalisasi adalah hal yang sedang terjadi di era modern ini. Globalisasi diartikan sebagai penghilangan sekat-sekat untuk memperlancar arus-arus masuknya barang, uang dan juga Sumber Daya Manusia (SDM), dll. Selain itu juga diartikan sebagai pengintegrasian atau penyatuan internasional individu-individu atau yang dimaksudkan adalah negara-negara dalam jaringan-jaringan informasi serta institusi ekonomi, sosial, dan juga politik yang belum pernah terjadi sebelumnya pada sejarah dunia. Sebagai contoh konkrit dari globalisasi adalah teknologi (High Technology) di mana semua jaringan dari berbagai negara dapat terintegrasi dan dapat tersatukan. Ada tiga sudut pandang dalam globalisasi yaitu pertama skeptic, kedua ‘hyperglobalist’, dan ketiga transformatif. Pertama, pandangan skeptic berpandangan bahwa globalisasi bukanlah ide baru melainkan sudah ada dari zaman dahulu atau zaman kuno. Yang dimaksud oleh pandangan skeptic ini adalah “Jalan Sutera”. Jalan Sutera diyakini oleh pandangan skeptic sebagai jalur di mana Roma dan China sudah saling berhubungan dari abad ke-14. Bagi kelompok ‘hyperglobalist’ globalisasi adalah ide yang baru sama sekali. Globalisasi menurut kelompok ‘hyperglobalist’ baru terjadi sejak abad ke-20 sampai sekarang. Globalisasi ini diyakini telah mengubah dunia secara signifikan dan radikal dan juga telah menghancurkan kebudayaan-kebudayaan lokal dari negara-negara.[9] Lalu bagi pandangan transformatif, yang berpandangan tengah-tengah, berpandangan bahwa globalisasi itu memang terjadi di masa lalu, namun apa yang terjadi pada zaman sekarang memang berbeda dari masa-masa sebelumnya. Perdagangan bebas yang terjadi masa lalu dan masa kini, perbedaannya adalah terletak pada kecepatan (velocity), intensitas (intensity) dan ekstensitasnya (extensity).[10] Menurut pandangan penulis, arus globalisasi ini memaksa berbagai negara yang mempunyai kedaulatan, kemandirian dan berdikari untuk mengikuti arusnya. Seperti mirip dengan konsep neoliberalisme, bahwa globalisasi meminimalisir peran negara dan membiarkan perdagangan bebas lepas dari kontrol negara. Peran negara lebih kecil dan memaksa negara- negara tersebut ikut di dalamnya. Arus globalisasi ditandai dengan masuknya MNC atau ’multinational corporation’ ke negara. Ini menandakan bahwa negara harus membuka dan menghilangkan batas-batas negara agar yang dari luar bisa masuk ke dalam. Seperti contoh, perusahaan seperti Exxon Mobile, Chevron, dll memaksa Indonesia membuka lahan minyaknya agar mereka dapat mengeksploitasi minyak di Indonesia dan dapat melakukan aktivitas ekonomi di dalamnya. Selain itu contoh lain seperti masuknya produk makanan dari luar seperti McDonald’s, KFC, Burger King dll-nya merupakan juga tanda bahwa globalisasi masuk dan tidak bisa ditolak oleh setiap individu di dalamnya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa globalisasi telah memaksa setiap individu untuk masuk ke dalam arusnya. Seperti layaknya ombak, bahwa negara dipaksa untuk bermain dengan ombak tersebut, bukan untuk melawannya.
          Uni Eropa sebagai ‘superstate’ berusaha mengontrol beberapa aktivitas pengembangan industri Iran. Industri yang dimaksud di sini adalah industri pengembangan proyek nuklir. Iran selain salah satu negara penghasil minyak terbesar di dunia, juga merupakan penghasil dan pengembang nuklir terbesar di dunia dan ditakuti oleh barat, khususnya. Uni Eropa dengan didukung oleh Amerika Serikat, menolak pengembangan proyek nuklir yang dilakukan oleh Iran. Proyek pengembangan nuklir oleh Iran dikhawatirkan akan menimbulkan perang nuklir yang terjadi antara negara dengan negara. Hal ini telah disebutkan pada berita di atas tentang alasan Uni Eropa dan Amerika Serikat melakukan embargo minyak dari Iran.[11] Hal ini mengakibatkan terganggunya Iran dalam mengekspor minyak ke berbagai negara karena diganggu oleh pihak Uni Eropa. Hal ini telah dilakukan demi menekan Iran dalam pengembangan proyek nuklirnya untuk ditutup.[12] Hal ini membuktikan bahwa Uni Eropa adalah ‘superstate’ yang dari luar negara yang dapat mengganggu aktivitas independen suatu negara. Iran di sini adalah negara yang diganggu aktivitas mandiri negaranya. Embargo yang dilakukan oleh Uni Eropa merupakan langkah ‘superstate’ atau aktor di luar negara yang dapat ikut campur dalam masalah yang dihadapi oleh suatu negara. Iran yang menjadi negara mandiri pun terikut campur masalahnya oleh aktor non-negara yang dimana tidak mempunyai urusan atau kepentingan di dalamnya. Uni Eropa di sini juga mempunyai dasar yang baik dalam ikut campur tersebut. Uni Eropa lebih mementingkan keamanan dan kedamaian dunia karena nuklir Iran dikhawatirkan akan menimbulkan perang yang lebih bahaya dari perang-perang sebelumnya. Iran di sini merasa terganggu akibat aktivitas aktor di luar negara yang bisa mengganggu kedaulatan suatu negara. Di sinilah penulis mengaitkan bahwa New-Medievalism masuk ke dalam permasalahan embargo minyak dari Iran yang dilakukan oleh Uni Eropa.
          Globalisasi juga tidak dapat dipungkiri. Munculnya arus globalisasi memungkinkan suatu negara untuk masuk ke dalam arus tersebut. Uni Eropa sebagai ‘superstate’ juga memaksa Iran untuk memasuki arus mereka sebagai arus globalisasi. Nuklir Iran dipaksa untuk ‘dibagi-bagi’ kepada negara barat agar mereka juga ikut mendapatkan bagian nya. Barat yang posisinya lebih kuat dari Iran sebagai negara sendiri dan mandiri, berusaha memaksa Iran untuk masuk ke dalam arus globalisasi agar Iran bisa lebih terbuka dan dapat membiarkan negara-negara barat lainnya bisa memakai teknologi proyek nuklir tersebut. Selama ini juga, Iran tetap pada berpendirian kalau Iran tetap ingin mengembangkan protek nuklirnya untuk keperluan negaranya. Keperluan ini seperti kebutuhan listrik negara, dll. Hal ini ditentang karena Iran terkesan tertutup dalam penggunaan nuklirnya tersebut dan menimbulkan polemic antara Uni Eropa sebagai ‘superstate’ dengan Iran.
          Dengan pendekatan transformatif, Iran memang telah mengembangkan proyek nuklirnya dari zaman dahulu, namun sekarang sepertinya proyek yang dikembangkan oleh Iran sepertinya menghadapi tantangan serius. Masuknya Uni Eropa dalam permasalahan proyek nuklir Iran, membuat Iran harus ‘aware’ dalam pemanfaatnnya. Selain itu, Iran juga dipaksa menjual nuklirnya kepada dunia agar dunia pun ikut memakainya. Namun Iran yang memiliki ideologi nasionalis, menggunakan nuklir itu sebagai kebutuhan nasionalnya seperti kebutuhan pembangkit listrik, pembangkit tenaga, dll-nya. Uni Eropa sebagai barat pun menganggap bahwa Iran tidak ada keterbukaannya dalam proyek pengembangan nuklir tersebut. Uni Eropa menggunakan alasan ketidak-transparanan Iran untuk dapat menyeret Iran untuk masuk ke dalam arus globalisasi atau arus perdagangan dunia. Sehingga, berbagai cara pun dilakukan oleh barat khususnya untuk menyeret Iran untuk memasukkan nuklir sebagai barang dagang di perdagangan internasional. Embargo yang dilakukan oleh Uni Eropa, itu adalah salah satu contohnya. Dengan penekanan angka ekspor minyak yang dilakukan oleh Iran, secara teori, seharusnya dapat membuat loyo produksi minyak dan Iran pun mengibarkan bendera putih sebagai tanda nyerah terhadap Uni Eropa. Selain itu, seruan terhadap negara-negara pengimpor minyak bumi di Eropa pun merupakan langkah di mana tidak akan lakunya minyak bumi dari Iran. Sehingga, Iran akan kehilangan pasar di Eropa dan membuat Iran mengalami kerugian akibat produksi berlebih atau dengan kata lain ada penggelembungan produksi minyak (bubbling). Dukungan terhadap sang ‘superstate’ pun ada dari negara adidaya Amerika Serikat. Amerika Serikat menerapkan sanksi terhadap negara-negara pendukungnya yang mencoba mengimpor minyak dari Iran. Sanksi itu bisa merupakan sanksi sosial di mana negara tersebut tidak mendapat bantuan lagi dari Amerika Serikat. Bantuan tersebut dapat berupa bantuan dana ataupun bantuan militer. Sehingga, tidak ada lagi pembelian yang dilakukan oleh negara-negara pendukungnya kepada Iran sehingga Iran pun akan mengalami kerugian yang sangat besar. Di sinilah pengaruh globalisasi itu sangat besar dan ‘powerful’. Keterbukaan harus dilakukan oleh Iran jika ingin dilepasnya sanksi embargo tersebut. Iran seharusnya dapat masuk ke dalam arus globalisasi dengan menjualnya ke negara barat dan dapat membagikannya ke negara-negara barat. Iran dipaksa untuk masuk ke globalisasi agar mereka menuruti kemauan Uni Eropa yaitu menghentikan proyek nuklirnya yang bersifat tidak terbuka dan dapat menjualnya kepada negara-negara barat tersebut. Selain itu, keterbukaan terhadap negara barat juga diperlukan agar arus globalisasi dapat masuk ke dalam Iran. Selain itu, negara barat pun bisa masuk ke dalam Iran dan memakainya secara bersama-sama.


3.     Kesimpulan
          Kesimpulan dari penulis ialah bagaimana faktor ekonomi sangat melekat di dalam embargo minyak dari Iran yang dilakukan oleh Uni Eropa. Banyaknya faktor seperti faktor proyek pengembangan nuklir pun menjadi penyebab akan kebutuhan negara-negara barat akan nuklir. Selain itu, arus globalisasi ini pun memaksa Iran untuk membuka pintu perdagangan nya di negaranya. Keterbukaan harusnya bisa dilakukan oleh Iran agar Iran melepaskan diri dari cengkrama embargo yang dilakukan oleh Uni Eropa. Uni Eropa sebagai ‘superstate’ bisa mengajak individu-individu (negara-negara) untuk tidak mengimpor minyak dari Iran. Pengaruh yang dilakukan sang ‘superstate’ membuktikan bahwa negara bisa dikontrol oleh aktor non negara. Namun bukan Iran namanya kalo tidak mandiri, berdikari dan negara independen. Iran pun tidak tinggal diam. Ditutupnya selat Hormus, yang merupakan jalur perdagangan dunia, merupakan langkah perlawanan yang dilakukan oleh Iran untuk melawan kebijakan embargo Uni Eropa. Iran juga tetap melakukan produksi minyaknya terus menerus dan mencari pasar baru di benua-benua atau negara-negara lainnya. Kecaman terhadap barat pun datang juga untuk mendukung Iran. Iran juga mengancam akan menutup jalur tersebut yaitu selat Hormus jika Uni Eropa dapat mencabut kebijakan embargo tersebut. Iran pun juga mengancam balik akan kerugian yang akan dialami oleh Eropa, Mengingat Eropa sedang mengalami krisis ekonomi.





[1] Angga Aliya, “10 Negara Produsen Minyak Terbesar di Dunia”, Detik, diakses dari http://finance.detik.com/read/2012/07/26/082327/1975063/1034/7/10-negara-produsen-minyak-terbesar-di-dunia#bigpic pada tanggal 21 Januari 2013 pukul 16.00
[2] Adi Wicaksono, “Uni Eropa Embargo Minyak Mentah Iran”, Republika Online, diakses dari http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/06/27/m69g12-uni-eropa-embargo-minyak-mentah-iran pada tanggal 21 Januari 2013 pukul 16.10
[3] David N. Balaam & Dillman Bradford, “Introduction to International Political Economy”, Pearson, Boston, 2011, hlm. 57
[4] David N. Balaam & Dillman Bradford, loc. cit.
[5] Robert Gilpin, “Global Political Economy : Understanding The International Economic Order”, Princeton University Press, New Jersey, 2001, hlm. 80
[6] Yesi Syelvia, “Embargo minyak, Iran segera tutup Selat Hormus”, okezone, diakses dari http://jakarta.okezone.com/read/2012/07/03/468/657888/embargo-minyak-iran-segera-tutup-selat-hormus pada tanggal 21 Januari 2013 pukul 18.00
[7] Kistyarini, “Selat Hormuz Tertutup untuk Tanker Tujuan UE” Kompas online, diakses dari http://internasional.kompas.com/read/2012/07/03/07191279/Selat.Hormuz.Tertutup.untuk.Tanker.Tujuan.UE pada tangga; 21 Januari 2013 pukul 18.20
[8] Robert Gilpin, “Global Political Economy : Understanding The International Economic Order”, Princeton University Press, New Jersey, 2001, hlm. 390.
[9] Kenichi Ohmae, ”The End of The Nation State”, Simon and Schuster Inc., New York, 1995.
[10] Deliarnov, ”Ekonomi Politik”, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006, hlm. 201-202.
[12] Kunto Wibisono, “Embargo Uni Eropa Ganggu Ekspor Minyak Iran”, diakses dari http://www.antaranews.com/berita/1340695857/embargo-ue-ganggu-ekspor-minyak-iran pada tanggal 21 Januari 2013 pukul 21.00






Daftar Pustaka

Balaam, David N.; Bradford, Dillman. 2011.  Introduction to International Political Economy. Boston: Pearson.

Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Gilpin, Robert. 2001. Global Political Economy : Understanding The International Economic Order. New Jersey: Princeton University Press.

Ohmae, Kenichi. 1995. The End of The Nation State. New York: Simon and Schuster Inc.








Jumat, 14 Juni 2013

ANALISIS PENGARUH PIHAK SWASTA TERHADAP PERKEMBANGAN EKONOMI PARIWISATA INDONESIA STUDI KASUS: BALI

Penulis: Sendy Arum Maryana

Abstract
Pariwisata merupakan sektor yang sedang berkembang di Indonesia tahun terakhir ini. Pertumbuhan ekonomi pariwisata Indonesia meningkat lebih tinggi terutama di daerah Bali. Pertumbuhan ekonomi pariwisata yang ada di Bali dipengaruhi oleh pihak swasta dan asing. Dengan berkurangnya peran pemerintah dalam meningkatkan ekonomi pariwisata Bali, tulisan ini menggunakan beberapa pendekatan teori, seperti konsep desentralisasi, teori liberal klasik dan teori neoklasik, teori investasi, Model Ricadian, pembahasan mengenai small medium size enterpise, serta teori kependudukan yang mempengaruhi dan berdampak bagi perekonomian pariwisata Bali. Peran sawasta dengan perlahan menggeser peran pemerintah dalam merealisasikan program dan kebijakan yang telah dibuat. Pariwisata Bali menjadi lebih baik dengan maraknya investasi yang dilakukan dari segi ekonomi dalam kehidupan sosial masyarakat Bali. 
Keywords: Ekonomi Pariwisata Bali, Investasi, Peran Swasta, Pasar Global.

1.0 Pendahuluan
Industri pariwisata pada akhir-akhir ini berkembang sangat pesat terutama di Indonesia. Berkembangnya industri pariwisata mempengaruhi naiknya  tingkat ekonomi di Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui, Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah yang membuat para wisatawan dan investor tertarik dalam berkontribusi terhadap pariwisata Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga dapat dilihat bahwa sektor pariwisata memberikan peluang bisnis yang besar bagi kedepannya di kehidupan manusia. Seperti apa yang dilansir oleh World Tourism Organization (WTO), dimana memprekdisikan jumlah wisatawan dunia akan meningkat sekitar 1.046 milyar orang pada tahung 2010 dan diprediksikan akan meningkat menjadi 1,602 milyar orang pada tahun 2020 (Sentosa: Kolom Pakar, 2012). Indsutri pariwisata Indonesia memberikan pemasukan sekitar 3% dalam peningkatan ekonomi negara (ILO, 2011).
Industri pariwisata yang berpengaruh dalam kegiatan ekonomi memiliki mata rantai yang panjang sehingga dapat disadari bahwa industri pariwisata memberikan berbagai kesempatan dan peluang kerja bagi masyarakat sekitar yang memberikan pengaruh terhadap meningkatnya kesejahteraan rakyat seperti dari hasil berdagang, sewa kendaraan, restauran, biro jasa Tour and Travel dan tempat penginapan atau hotel, baik pada kelas bintang lima ataupun melati. Dengan meningkatnya wisatawan yang datang baik wisatawan asing atau domestik dapat meningkatkan pertumbuhan devisa dan ekonomi negara.
Sebagai salah satu daerah tujuan wisata yang terkenal di dunia, Bali merupakan daerah yang sangat diminati oleh wisatawan mancanegara dan nusantara. Karena keindahannya yang ditawarkan, hal ini menyebabkan adanya peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali dari waktu ke waktu.
Meningkatnya perekonomian pariwisata di Bali tidak lepas dari adanya otonomi daerah. Otonomi daerah yang yang digagaskan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1999 memberikan kewenangan di setiap daerah untuk mengembangkan daerahnya sendiri. Menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1999, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Bappenas, 2011). Penguatan otonomi daerah dilakukan dengan membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi setiap pelaku (daerah) dalam rambu-rambu yang disepakati bersama sebagai jaminan terselenggarakannya social order (Basri, 2009:448).
Selain dari adanya otonomi daerah yang meningkatkan ekonomi pariwisata Bali, bila kita melihat ke belakang, pada sejarahnya Indonesia adalah anggota dari World Trade Organization (WTO). Indonesia telah meratifikasi perjanjian WTO pada tanggal 02 November 1994 melalui Undang-undang No. 7 tahung 1994 tentang pengesahan Agreement Establishisng The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), yang berarti sebagai negara anggota WTO, Indonesia mengizinkan peraturan WTO diberlakukan dan mengesahkan isinya serta setuju untuk memberikan komitmennya dalam mematuhinya (Simatupang, 2009:55). Sehingga Indonesia harus membuka lebar dan luas jalur perdagangan dalam sektor apa saja. Hal ini yang mempengaruhi kondisi ekonomi pariwisata terutama di Bali. 
Banyaknya investor, MNCs, atau perusahaan-perusahaan baik milik asing atau lokal bermain dalam sektor pariwisata Bali. Hal ini merupakan salah satu faktor mengapa perekonomian pariwisata Bali meningkat dalam beberapa tahun belakangan ini. Pembangunan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas seperti tempat penginapan, restauran, bar dan fasilitas-fasilitas lainnya dibangun, diolah dan dimiliki oleh pihak swasta. Dalam hal ini peran negara patut dipertanyakan, kemanakah peran negara selama ini dalam meningkatkan ekonomi pariwisata terutama di Bali? Sehingga dapat diartikan bahwa peranan pihak swastalah yang lebih bermain dalam meningkatkan perkonomian pariwisata di Bali.

1.1 Pemetaan Masalah
Dari penjelasan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, secara umum tujuan penelitian ini adalah bertujuan untuk melihat kondisi ekonomi pariwisata di Bali yang dimainkan oleh pihak swasta serta melihat dampak yang terjadi. Sesuai dengan topik yang diambil “Pengaruh Pijak Swasta Terhadap Perkembangan Ekonomi Pariwisata Indonesia Studi Kasus: Bali” beberapa hal yang perlu diungkap dalam penelitian ini adalah sebagai berikut, 1) Apa sajakah faktor yang menyebabkan ekonomi pariwisata Bali meningkat; 2) Seberapa besar pengaruh pihak swasta dalam perekonomian pariwisata Bali; 3) Apa sajakah dampak dari ekonomi pariwisata terhadap masyarakat Bali; 4) Bagaimana persaingan antara industri lokal di Bali dengan pihak swasta; 5) Pengembangan SDM Bali dalam meningkatkan ekonomi pariwisata Bali; 6) Bagaimana peran pemerintah dalam menanggapi hal ini.
Dari permasalahan di atas dapat dilihat memiliki tujuan untuk mengungkapnya permasalahan yang ada. Tujuan penelitian sebagai berikut, 1) Mengetahui faktor yang menyebabkan ekonomi pariwisata Bali meningkat, 2) Mengetahui pengaruh yang diberikan oleh pihak swasta dalam ekonomi pariwisata Bali, 3) Mengetahui dampak yang terjadi pada masyarakat Bali mengenai perekonomian pariwisata di wilayahnya, 4) Mengetahui persaingan antara industri lokal Bali dengan keberadaan pihak swasta; 5) Mengethaui perkembangan SDM Bali dalam meningkatkan ekonomi pariwisatanya; 6) Mengetahui sejauh mana peran pemerintah dalam menanggapi hal ini.
Semua pertanyaan di atas tersebut akan dibahas dalam bab pembahasan.

1.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yaitu studi literatur, seperti buku, jurnal, e-journal serta bahan-bahan berita dan statistik yang diakses melalui media internet atau online.

2.0 Kerangka Teori
Industri pariwisata sekarang merupakan salah satu industri yang terbesar dalam meningkatkan ekonomi di suatu negara. Adanya peningkatan ekonomi di Indonesia salah satunya ditunjang oleh meningkatnya sektor pariwisata Indonesia. Pemerintah memberikan kelonggaran kepada pihak non-pemerintah atau pihak swasta dalam mengambil peran dalam berkontribusi pada perekonomian pariwisata Indonesia terutama di Bali. Dalam pengertiannya, pariwisata didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain yang sifatnya sementara untuk memperoleh kesenangan, keselarasan dan rasa puas yang didapat oleh seseorang (Spillane, 1987:21). Sehingga, secara psikologi setiap manusia dapat dikatakan membutuhkan hiburan yang diperoleh dari kegiatan pariwisata tersebut yang memberikan dampak besar terhadap ekonomi pariwisata. Selain definisi pariwisata oleh Spillane, definisi pariwisata menurut Undang-Undang kepariwisataan No. 10 tahun 2009, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung beberapa fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Depdagri, 2009). 
Menurut Wahab dalam Santri (2009,9) dampak utama kegiatan pariwisata dari segi
ekonomi terhadap level nasional (makro) dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu akibat langsung terhadap neraca pembayaran, adanya kesempatan kerja, dan mendistribusikan pendapatan lagi. Sedangkan akibat tidak langsungnya adalah adanya pengahsilan ganda, adanya pendapatan pajak yang diperoleh dari pemerintah, dan juga dalam hal memasarkan produk-produk yang telah diproduksi. 
Peningkatan ekonomi pariwisata disebabkan karena bertambahnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah. Ekonomi pariwisisata didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan dalam bidang pariwisata yang sesuai dengan permintaan (demand) oleh wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata (Yoeti, 2009:13). Dari pengertian tersebut, maka meningkatnya sektor industri pariwisata di Bali disebabkan karena permintaan pariwisata yang semakin lama semakin meningkat, sehingga banyak perusahaan atau pihak swasta atau pengusaha yang melihat kesempatan ini untuk memberikan fasilitas yang baik kepada para wisatawan sesuai dengan permintaan wisatawan.
Sesuai dengan UU kepariwisataan No. 10 tahun 2009, bahwa dalam UU tersebut dapat diartikan pengusaha atau perusahaan-perusahaan swasta dapat memberikan pelayanan wisata kepada wisatawan. Adanya peraturan dan kebijakan tersebut, maka tidak heran bahwa sekarang banyak sekali perusahaan swasta dan pengusaha memberikan pelayanan wisata pada wisatawana terutama di Bali. Sesuai dengan prinsip klasik liberalisme yang dicetuskan oleh Adam Smith atau yang dikenal dengan ‘Bapak Ekonomi’ dalam bukunya yang berjudul The Wealth of Nations, bahwa pemerintah sebaiknya tidak ikut campur dalam terjadinya mekanisme pasar dan membiarkan pasar berjalan dengan sendirinya tanpa ada campur tangan pemerintah, terutama dalam perdagangan internasional atau perdagangan bebas. Sehingga menurut Smith, pemerintah hanya memiliki peran untuk melindungi masyarakat dari ancaman negara lain, melindungi masyarakat dari ketidakadilan dan mengadakan dan memberikan fasilitas publik bagi warganya (Deliarnov. 2006:31). Selain itu menurut Staniland, pemerintah mempunyai hak dan kewajiban untuk mentapkan peraturan umum mengenai perdagangan bebas (Deliarnov, 2006:32.) 
Dikurangikannya peran pemerintah juga didukung oleh pendapat Milton Friedman, yang menyatakan pasar terkadang gagal tetapi pemerintah sering kali gagal dan pemerintah dalam membuat kebijakan tidak sesuai dengan jalannya mekanisme pasar serta individu merupakan pedoman terbaik untuk menggerakan perekonomian (Deliarnov, 2006: 165). Konsep kapitalisme yang sering digambarkan dengan liberalisme merupakan konsep utama dalam mengakumulasi modal pada sekelompok orang yang dibolehkan ataupun tidak dibolehkan oleh suatu negara, sehingga dengan adanya kapital, seseorang tersebut dapat melakukan berbagai kegiatan ekonomi untuk mendapatkan profit (Indrawati, 2009:77).
Selain dari konsep kapitalisme, adanya desentralisasi di Indonesia yang memberikan dampak liberal kepada Indonesia. Desentralisasi di Indonesia diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan daerah bertanggung jawab atas perintah yang diberikan oleh pemerintah pusat. Pemerintah baik pusat dan daerah masih berkontribusi dalam mengatur warga negaranya, sedangkan pemerintah yang baik adalah dimana pemerintah yang makin sedikit dalam memerintah (Fauzi, 2010:76). Hal ini yang memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk berkreasi dan berinovasi dalam bermain di pasar bebas ataupun perdagangan internasional.
Dari penjelasan liberal klasik yang dicetuskan oleh Adam Smith dapat dilihat bahwa ekonomi pariwisata Indonesia terutama di Bali tidak ada campur tangan pemerintah dalam mengolah industri pariwisata Bali. Tetapi jika dilihat dan disimak lebih dalam, pertumbuhan ekonomi pariwisata Bali juga dipengaruhi oleh beberapa kebijakan, program dan peraturan pemerintah. Hanya saja dalam hal ini, pemerintah tidak berperan aktif dan secara langsung dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi pariwisata di Bali. Seperti hal nya yang dinyatakan oleh Joseph E. Stiglitz, ada beberapa negara yang pertumbuhan ekonominya maju dikarenakan peran pemerintah yang aktif, tetapi di sisi lain banyak negara yang perekonomiannya makmur dengan diminimalkannya peran pemerintah (Stiglitz, 1988:62).
Hal ini sesuai dengan ajaran neoklasik yang memberikan izin atau memperbolehkan adanya campur tangan pemerintah dalam pembangunan ekonomi hanya saja dibataskan peranannya (Deliarnov, 2006:54). Adanya campur tangan pemerintah dalam paham neoklasik sebagai pemberi fasilitas untuk memperbaiki keadaan ekonomi negara yang sedang mengalami penurunan. Seperti yang dikatakan oleh Caporaso & Levine 
“When the market fails, it is the function of the political process to carry out the mission of the market by other means.” (Deliarnov, 2006:56).
Dengan masuknya dan adanya peran pemerintah dalam perekonomian terutama pada sektor pariwisata, maka munculah pihak yang aktif menjadi pelaku, yakni adanya konsumen atau bisa kita sebut wisatawan, pelaku bisnis atau perusahaan swasta, dan pemerintah (Rosyidi, 2011:232).
Banyaknya pengusaha-pengusaha dalam bidang pariwisata ini yang memberikan peningkatan ekonomi pariwisata Indonesia terutama di Bali. Seperti yang dijelaskan dalam bukunya, Spillane mengatakan bahwa pariwisata merupakan barang yang berbentuk invisble export atau ekspor yang tak terlihat atas barang dan jasa pelayanan yang diberikan (Spillane, 1987:56). Sehingga peningkatan dan perkembangan industri pariwisata di Bali tidak terlalu terlihat siapakah sebenarnya yang berperan aktif dalam meningkatkan ekonomi pariwisata di Bali. Menurut Elliot (1997) dalam Mustika, alasan utama pemerintah tertarik untuk mengembangkan pariwisata adalah karena peningkatan pariwisata internasional dapat mendorong ekonomi nasional dan menjaga posisi valuta asing, memberikan efek lainnya terhadap sektor ekonomi yang lain (Mustika, 2010:16).

Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia sangat gigih dalam membangun perekonomiannya. Dalam negara berkembang ada beberapa pertimbangan yang saling terkait dalam membangun perekonomiannya yaitu yang pertama, adanya penekanan sebagai negara baru untuk maju dalam menempatkan pembangunan bangsa sebagai variabel utama dengan maksud meningkatkan peluang dan standard hidup masyarakat di wilayahnya dan yang kedua adalah adanya penekanan yang dilakukan oleh negara dalam membangun ekonomi sosial dengan cara meningkatkan public sector untuk menyejaterahkan rakyat dan yang terakhir adalah keraguan perusahaan asing untuk berinvestasi dapat diyakinkan dengan berbagai macam kerjasama yang dilakukan oleh pihak negara dan swasta (Penrose, 1987:223). Karena Indonesia merupakan negara yang masih berkembang dan secara tekhnologi masih kurang mampu dalam bersaing, ada beberapa cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengembangkan unit-unit ekonomi di negaranya yaitu 1) Menciptakan kesejahteraan dengan meningkatkan perekonomian secara cepat dan komperhensif melalui masuknya sejumlah perusahaan internasional atau asing atau MNCs, 2) Menciptakan masyarakat yang berkompetisi dan bersikeras dalam membangun perekonomian di daerahnya dan 3) Menghilangkan dan menghapus kemiskinan, karena kemiskinan yang dialami oleh masyarakat membuatnya takut dan menjadikannya sebuah tantangan untuk menjadi lebih maju (Penrose, 1987:227).  Sehingga Indonesia dalam hal ini membangun perekonomiannya bukan hanya dari sektor-sektor utama yang dimiliki negara, tetapi juga sektor pariwisata yang merupakan salah satu sektor sangat diminati oleh pihak swasta maupun pihak asing dan Investasi dapat dilakukan bukan saja pada fisik, tetapi juga pada bidang non fisik (Atmanti, 2005:1). 
Sekor pariwisata jika dilihat merupakan dari makro ekonomi yang memberikan peranan pasar dan individu dalam membentuk keseimbangan. Sumber daya investasi makro dapat dilihat pada bagan berikut




Gambar 1.0: Sumber Daya Investasi (Noor, 2009)
Terlihat dari bagan di atas, sumber daya investasi mempengaruhi segala aspek sumber daya, baik sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), dan sumber daya buatan. Adanya investasi yang dilakukan oleh para investor memberikan pengaruh besar bagi pertumbuhan ekonomi pariwisata di Bali.
Maraknya investasi yang dilakukan atau dalam hal ini dapat disebut multinational organization atau global indirect investment telah berkembang pada abad ke-20, yang memberikan dampak bukan hanya pada pertumbuhan ekonomi politik negara, melainkan memberikan dampak juga terhadap multinational corperation dalam memperluas perusahaanya (Isaak, 1991:166). Meluasnya ekspansi MNCs dalam berinvestasi dan membangun perusahaan disebabkan karena adanya berkembangnya persaingan tidak sempurna atau imperfect competition. Imperfect competition yang diperlihatkan tidak sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh Adam Smith. Adam Smith mendambakan persaingan sempurna. Jika dilihat perfect comptetition yang didambakan Adam Smith hanya sebuht utopia yang tidak teralisasi. Dalam pemikirannya, akan ada banyaknya kompetitor-kompetitor kecil yang memberikan pemasukan segala barang dan jasa sesuai permintaan dan tidak tergantung dengan adanya dorongan oleh investasi asing langsung (Isaak, 1991:166).
Investasi-investasi yang dilakukan oleh pihak lokal atau pihak asing memberikan relasi terhadap MNCs dan pemerintah. Hal ini dapat dilihat seberapa kuat masing-masing peranannya dalam memperthankan posisinya untuk tetap saling bertahan. Menurut Theodore H. Moran, ada 3 pengidentifikasian variabel atau cara dalam melakukan penawaran atau negosiasi untuk menentukan keseimbangan antara pemerintah dan pihak MNCs, yaitu 1) Tingkat kompetisi dalam industri, 2) Perubahan tekhnologi (seberapa cepat tekhnologi dalam suatu industri dapat berubah), 3) Pentingnya pemasaran dan produk diferensiasi (Isaak, 1991:168). Dari ketiga variabel yang telah dipaparkan, pemerintah atau host country sebagai negara penyelenggara dapat berekspetasi memiliki tingkat keseimbangan kekuatan yang tinggi jika tekhnologi yang digunakan stabil dan terbaru serta pemasaran yang dilakukan sangat baik dan sesuai dengan ekspetasi. Tetapi dalam hal ini, pengeksploitasi atau pemanfaatan yang dilakukan oleh MNCs, memberikan dampak adanya pengalokasian industri kecil yang dilakukan oleh penduduk lokal. Sehingga pengusaha kecil lokal, industrinya kurang berkembang dan mendukung para MNCs untuk memperkerjakan para penduduk lokal sekitar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Isaak, 1991:169).
Masuknya investasi asing langsung dalam meningkatkan perekonomian pariwisata Bali bukan hanya memberikan dampak terhadap masyarakat lokal saja, melainkan memberikan dampak ke seluruh Indonesia. Investasi asing yang masuk berdasarkan karena adanya sistem politik yang stabil, tingkat ketertarikan yang tinggi terhadap industri pariwisata, adanya keterbukaan dan inovasi baru yang dapat diterima, kemampuan para pekerja, dan juga banyaknya sumber-sumber yang dapat digunakan serta tekhnologi yang meyakinkan (Isaak, 1991:169). Hal ini yang mempengaruhi dan memberikan dampak terhadap ekonomi pariwisata Bali. 
Selaih dari hal di atas yang telah disebutkan, masuknya investasi asing dikarenakan oleh lokasi. Lokasi sangat diutamakan dalam menanamkan modal di suatu tempat. Ada 3 standarisasi ciri-ciri lokasi yang pantas dalam melakukan investasi yaitu 1) Tingkat kebebasan yang dimiliki oleh produsen dalam memberikan perubahan pemasukan dan pendapatan mereka, 2) Tingkat harga yang elastis dan permintaan yang cukup tinggi dan 3) Adanya kebutuhan komunikasi yang cepat dan efektif dari produsen ke pelanggan dan pemasok dengan mudah (Vernon, 1987:178). Ciri-ciri lokasi atau tempat yang telah disebutkan di atas sangat sesuai dengan keadaan dan situasi di Bali. Bali dalam halnya adalah wilayah Indonesia yang memiliki kebebasan dalam berekspresi dan juga tidak luput dari budaya Hindu yang kental, sehingga hal ini sangat menarik investor asing untuk melakukan investasi di Bali.
Perdagangan bebas yang telah dilakukan oleh Indonesia, terutama dalam industri pariwisata memberikan berbagai macam keuntungan yang diperoleh terutama pada daerah lokasi Pariwisata yang diutamakan. Seperti yang telah dikatakan oleh Paul Krugman (1993:29)
“Keunggulan dalam pesaingan dari suatu industri tidak hanya tergantung pada produktivitas relatif terhadap industri luar negeri, tetapi juga pada tingkat upah domestik relatif terhadap tingkat upah di luar negeri.”
Sesuai dengan pernyataan Krugman, bahwa peningkatan ekonomi pariwisata Bali dapat dilihat adanya balance atau keseimbangan antara investor asing dan tenaga kerja atau masyarakat lokal di Bali serta kerjasama yang baik antara kedua belah pihak. Adanya perkembangan dalam sektor industri pariwisata yang dilakukan oleh para investor memberikan pendapatan bagi masyarakat Bali untuk bekerja dan mengurangi tingkat pengangguran yang ada. Menurut Suryati dalam Mustika (2010:16) investasi yang dilakukan oleh pihak lokal maupun asing, memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menyerap tenaga kerja, dimana terdapat hubungan yang positif antara investasi  yang dilakukan oleh pihak lokal atau asing terhadap penyerapan tenaga kerja.
Seperti hal nya menurut Paul Krugman (1993:52) perdagangan mengarahkan pada spesialisasi internasional yang mana di setiap negara mengalihkan angkatan kerja mereka dari industri-industri yang pekerja-pekerjanya relatif lebih efisien. Dalam hal ini sesuai dengan Model Ricardian, yang menyatakan bahwa hanya ada satu faktor (tenaga kerja) yang tidak akan merugikan individu-individu (pekerja) dalam memiliki pendapatan dan setiap individu dibuat lebih baik dari hasil perdagangan, karena perdagangan tidak mempengaruhi distribusi pendapatan (Krugman, 1993:52). Jika dilihat dari model Ricardian, investasi yang dilakukan di Bali tidak akan memberikan pengaruh negatif karena banyak tenaga kerja yang diambil dan diolah untuk bekerja di setiap perusahaan dan dalam hal ini pendapatan masyarakat Bali juga memberikan dampak peningkatan ekonomi pariwisata Bali. 
Menurut Mankiw dalam Mustika (2010:16) Investasi yang mampu mendorong pertumbuhan tidak hanya berasal dari tabungan domestik tetapi investasi dari luar negeri juga dapat mempengaruhi GDP dan GNP dengan cara yang berbeda. Serta investasi yang memiliki berbagai macam efek berdampak pada peningkatan kesejahteraan terutama pada penduduk lokal yang diukur melalui tingkat pendapatan yang diperoleh (Mustika, 2010:16). Dalam hal ini peran pemerintah enggan untuk membiarkan perubahan-perubahan besar dalam distribusi pendapatan yang diperoleh tanpa memedulikan siapa yang beruntung dan siapa yang merugi. Hal ini sesuai dengan kesejahteraan sosial konservatif (conservative social welfare) yang meninjau perubahan-perubahan jangka pendek dalam kebijakan perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah (Krugman, 1993:273). Sehingga jika direlasikan dengan kehidupan masyarakat Bali sekarang yang bertopang pada industri pariwisata, pemerintah daerah Bali bukan hanya ingin meningkatkan sektor industri pariwisata Bali saja, melainkan juga ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dengan memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya. 
Perkembangan ekonomi pariwisata Indonesia juga tidak luput dari adanya small and medium of scale tourism business units (Hussein et al, 2010:191). Maksud dari pengertian small and medium of scale toursim business units ini adalah dapat diartikan sebagai Usaha Mikro Kecil dan menengah atau yang sering disingkat UMKM di Indonesia. UKM adalah sebagai industri yang kecil namun paling utama dalam suatu negara (Von Axelson, 2005:7) dan juga menurut Duan dan Kinman dalam Von Axelson (2005:7) UKM adalah usaha atau bisnis kecil yang sangat mempengaruhi pembangunan ekonomi nasional. UKM memiliki peran yang penting untuk mengembangkan perekonomian negara, menurut Johansson dalam Von Axelson (2005:8), ada 3 cara yang dilakukan untuk mengembangkan UKM yaitu 1) Perusahaan kecila atau UKM bertindak sebagai pemasok untuk perusahaan-perusahaan multinasional di daerah tersebut, 2) Adanya perusahaan-perusahaan kecil atau UKM yang baru merupakan gabungan atau kerjasama yang dilakukan oleh pihak domestik dan asing serta 3) Penjualan yang dilakukan oleh perusahaan kecil atau UKM sebagai pengganti potensial impor yang mana nantinya akan memberikan kontribusi dalam meningkatkan kekuatan ekonomi lokal. Selain itu adanya UKM juga memberikan keuntungan yang lainnya, seperti tidak memerlukannya birokrasi yang luas atau hanya birokrasi kecil sudah cukup, membuat keputusan dengan cepat tanpa menunda-nunda dan bertele-tele, sangat termotivasi dan komit terhadap manajemen yang dibuat serta memiliki kemampuan yang cepat dalam belajar dan berinovasi dalam bersaing (Von Axelson, 2005:8). Kemunculan industri kecil menengah tidak jarang merupakan  multiplier effects dari industri-industri besar (Marijan, 2005:217).
Pendekatan untuk melakukan kebijakan dalam sektor indusrti kecil dan menengah ada dua pendekatan, yaitu pendekatan intervensionis yang bersifat horizontal dan vertikal. Pendekatan intervensionis yang bersifat horizontal tidak memperlakukan pembedaan atas sektor tertentu, tetapi sektor tersebut tetap memiliki pengaruh secara tidak langsung terhadap struktur sektor usaha, sedangkan pendekatan intervensionis yang bersifat vertikal fokus pada pemebrdayaan sektor usaha tertentu dimana sasaran intervensi diarahkan pada hasil dan proses produksi dari usaha kecil (Suhartono, 2008:5). 
Perkembangan UMKM dalam industri pariwisata sangat melejit pesat dalam kurun waktu tahun terakhir ini. UMKM merupakan program yang dicetuskan oleh Kementrian koperasi negara memberikan dampak yang besar untuk perekonomian Indonesia terutama dalam bidang pariwisata dan ekonomi kreatif (Hussein at al, 2010: 195). Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberdayakan UKM mencoba memberikan peningkatan dan efisiensi produktif dengan memberikan keahlian dalam pemasaran, keahlian dalam berwirasuaha, serta dalam menggunakan tekhnologi (SELA, 2012: 10). Banyaknya pengusaha-pengusaha kecil dalam industri pariwisata hanya sebagian kecil dari adanya kesuksesan ekonomi pariwisata di Bali. Karena beberapa permasalahan besar yang terjadi pada UMKM adalah masyarakat Indonesia yang tidak memiliki tingkat produktivitas yang tinggi dan nilai lebih dalam suatu produksi (Hussein at al, 2010:195). Banyaknya perusahaan besar yang menangani dan mengolah pariwisata di Bali yang memberikan dampak besar terhadap ekonomi pariwisata di Bali.
Perusahaan-perusahaan besar dalam bidang pariwisata memiliki peran yang sangat dominan dalam meningkatkan pariwisata di Bali. Hal ini memberikan dampak dan akibat bahwa perusahaan-perusahaan kecil dan terutama yang dimiliki oleh pihak lokal, kurang dan bahkan tidak mampu untuk bersaing dalam kegiatan wisata di Bali. Sehingga sumber daya manusia Indonesia harus ditingkatkan lebih jauh dan lebih mendalam. Hal ini sesuai dengan teori kependudukan Malthus. Dalam teorinya, Malthus lebih melihat pada the law of diminishing returns yang membicarakan tentang tenaga kerja dalam suatu penduduk. Ia beranggapan bahwa penduduk merupakan tenaga kerja yang dijadikan sebagai input proses dalam suatu produksi (Roysidi, 2011:86). Dalam hal nya, jika dilihat pada sejarah ekonomi klasik yang bermula pada Adam Smith dan berakhir di era Alfred Marshall, menggambarkan dan menganalisis bahwa dinamika proses produksi yang produktif didasarkan pada tahapan division of labour atau pembagian kerja, kerjasama antara pekerja dengan setiap perusahaan, kerjasama antara perusahaan komplementer dan persaingan dan kompetis yang sempurna yang dilakukan oleh perusahaan yang memproduksi barang dan jasa yang sama (SELA, 2012:12).
Dari penjelasan teori kependudukan Malthus, maka dapat dilihat bahwa kependudukan atau jumlah penduduk mempengaruhi proses dalam produksi barang-barang dan jasa pelayanan dalam sektor pariwisata di Bali. Meningkatnya perusahaan asing dan swasta di Bali didorong dan disokong oleh keberadaan banyaknya jumlah penduduk lokal Bali yang memberikan masukan positif terhadap perusahaan-perushaan tersebut. Selain itu minimnya peran pemerintah, baik peran pemerintah pusat dan daerah memberikan kebebasan yang luas kepada pihak swasta dan asing untuk menjalankan kegiatan wisata dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi pariwisata. Pemerintah pusat dan daerah hanya sebagai fasilitator dan pengawas dalam melihat perkembangan ekonomi pariwisata. Hal ini sesuai dengan paham neoklasik yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga dapat diartikan meningkatnya perekonomian pariwisata di Bali berdasarkan paham neoklasik. 

3.0 Meningkatnya Ekonomi Pariwisata Bali
Bali adalah salah sati provinsi di Indonesia yang berlokasi di sebelah selatan dan berdekatan dengan Australia. Luas wilayaha Pulau Bali adalah 5.634 km2 dengan jumlah penduduk 3.891.428.  Pariwisata merupakan sektor utama dalam meningkatkan ekonomi di Bali. Peningkatan pertumbuhan ekonomi Bali setiap tahunnya meningkat 8,7%. Pada tahun 1993, PDRB Bali sebesar 7,18% dan pada tahun 2004 PDRB Bali meningkat menjadi 9,6% (Ekspedisi Geografi Indonesia Bali, 2007:71). Jika dilihat dalam kebijakan pemerintah pusat, Bali dijadikan sebagain icon atau pusat pengembangan pariwisata Indonesia dan juga dijadikan sebagai pintu gerbang pariwisata Indonesia (Sprastayasa, 2008:33).
Keunikan yang disediakan di Pulau Bali yang memberikan peningkatan ekonomi pariwisatanya. Bukan hanya dalam sektor pariwisata saja, tetapi juga dalam sektor industri kecil seperti kerajinan tangan, furniture, dan kerajinan-kerajinan ekonomi kreatif lainnya. Selain pada sektor pariwisata dan industri kecil, budaya Bali merupakan salah satu mengapa eknonomi pariwisata Bali tumbuh dengan pesat. Bali menawarkan budaya yang khas dan kental dengan ajaran agama Hindu-nya, yang memberikan ketertarikan terhadap wisatawan, terutama wisatawan mancanegara. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diutarakan oleh Leo Howe,
“Balinese now have a “touristic” culture when “that by which the tourists identify them becomes that by which they identify themselves”” (Pedersen, 2007).
Karena daya tarik yang dimiliki oleh Bali, Pemeritah Daerah Bali sadar akan potensi daerahnya dan mengembangkan konsep pariwisata budaya untuk mengembangkan perekonomian rakyatnya (Sprastayasa, 2008:33). Perubahan yang siginifikan terlihat dalam perkembangan pariwisata Bali yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Perkembangan dan meningkatnya wisatawan mancanegera ke Bali periode 2007-2011 dapat dilihat pada tabel berikut


Tabel 1.0
Banyaknya Wisatawan Mancanegara yang Datang Langsung ke Bali per Bulan Tahun 2007 - 2011


B u l a n
T a h u n
2007
2008
2009
2010
2011
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1
Januari
109 875
147 799
174 541
179 273
209 093
2.
Pebruari
118 483
161 776
147 704
191 926
207 195
3.
M a r e t
119 458
160 708
168 205
192 579
207 907
4.
A p r i l
125 393
154 911
188 776
184 907
224 704
5.
M e i
129 039
167 463
190 803
203 388
209 058
6.
J u n i
145 500
178 404
200 566
228 045
245 652
7.
J u l i
164 972
190 854
235 198
254 907
283 524
8.
Agustus
167 031
195 549
232 255
243 154
258 377
9.
September
152 804
189 346
218 443
240 947
258 440
10.
Oktober
146 385
189 234
221 282
229 904
247 565
11.
Nopember
142 124
173 077
184 803
199 861
221 603
12.
Desember
147 467
175 963
222 546
227 251
253 591
 
J u m l ah :
1 668 531
2 085 084
2 385 122
2 576 142
2 826 709
Pertumbuhan (%)
32.16
24.97
14.39
8.01
9.73

Sumber: Bali Dalam Angka 2012 (BPS Bali, 2012)

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa peningkatan jumah wisatawan mancanegara ke Bali semakin meningkat. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah Bali menerapkan Sustainable Tourism Development atau Pembangunan Pariwisata yang Berkelanjutan (Abas, 2003: 12).  
Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dimaksudkan untuk tidak hanya berfokus pada pembangunan ekonomi saja, tetapi berfokuskan pada masa depan Bali kedepannya (Bali Post, 2012). Adanya kebijakan pariwisata berkelanjutan merupakan kunci utama dalam meningkatkan perindustrian pariwisata Bali. Dalam kebijakan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan, kebijakan ini sesuai dengan yang dikeluarkan oleh ILO (International Labour Organization),
“provincial master plans for tourism development that assess tourism’s social, economic, cultural and environmental impacts in detail and guide its growth also have been developed for selected provinces” (ILO, 2012).
Pembangunan pariwisata Bali menjadi salah satu kegiatan utama yang dilakukan oleh masyarakat Bali dan Pemerintah Daerah Bali. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kondisi perekonomian masyarakat di Bali. Seperti yang dikatakan oleh Stroma Cole, 
“Tourism developement is assumed to be beneficial, and expansion is unquestioned.” (Morrel, 2008).
Pembangunan Pariwisata Bali memberikan keuntungan dan manfaat bagi setiap masyarakat lokalnya dari segi sosial dan ekonomi. 
Keunikan dan daya tarik yang ditawarkan oleh Bali menjadi salah satu faktor penyebab ekonomi pariwisata di Bali meningkat secara pesat. Maraknya pembangunan fasilitas-fasilitas pariwisata seperti tempat akomodasi atau hotel, restauran yang bernuansa Bali atau lokal serta fasilitas-fasilitas lainnya seperti olahraga air yang ditawarkan dan melihat keindahan alam di laut Bali, memberikan dan mengundang para investor-investor dan pengusaha tertarik untuk berinvestasi di Bali.

3.1 Pengaruh Pihak Swasta dalam Meningkatkan Ekonomi Pariwisata Bali
Meningkatnya perkonomian Bali terutama dalam sektor pariwisata, tidak terlepas dari peran atau pihak-pihak swasta yang melakukan investasi di Bali. Banyaknya investor yang melakukan investasi di Bali merupakan suatu kepercayaan dan kenyamanan bagi investor terhadap Bali, karena melihat dari potensi dan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan (Bali Mice Guide, 2006). 
Berkembangnya dan meningkatnya investor di Bali memberikan pemasukan terhadap perekonomian Bali. Seperti pada tahun 2006, di Bali telah dibuka 38 units villa di Ubud yang dikelola oleh Ubud Hanging Gardens dan juga Bulgari Hotel & Resorts yang memperoleh keuntungan sebesar $US 28 juta (Bali Mice Guide, 2006:36). Hal ini dapat dilihat bahwa pengaruh adanya pihak sawasta memberikan keuntungan bagi perekonomian di Bali, terutama dalam sektor pariwisata.
Meningkatnya ekonomi pariwisata di Bali tidak luput dari pertumbuhan ekonomi Bali dalam sekian tahun. Adanya program PELITA (Pembangunan Lima Tahun) pada masa Presiden Soeharto, memberikan dampak positif terhadap perekonomian Bali. Pada masa PELITA I, perekonomian Bali meningkat 7,32%, PELITA II sebesar 8,55%, PELITA III mencapai 8,40% dan seterusnya mengalami perkembangan yang cukup pesat (Antara, 2000:254).  Sehingga pertumbuhan perekenomian Bali melesat dengan begitu cepat karena adanya alokasi investasi yang dilakukan oleh pemerintah dan adanya investasi dari pihak swasta. 
Meningkatnya pariwisata Bali saat itu, memberikan dampak yang sangat besar terhadap kegiatan wisata di Bali. Banyaknya wisatawan yang datang, baik wisatawan mancanegara atau wisatawan nusantara mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan akomadasi atau hotel yang ada di Bali. Pada tahun 1973, akomodasi dan kamar yang disediakan di Bali hanya berjumlah 450 kamar yang bertaraf dan sesuai dengan standar internasional (Bendesa; Sukarsa, 1980:36). Dengan adanya permasalahan saat itu, maraknya investasi di Bali terutama untuk penginapan dan resort meningkat dengan cepat. Investasi yang dilakukan oleh investor, sekitar 80% merupakan investasi langsung dalam pembangunan hotel dan resort (Bendesa; Sukarsa, 1980:37). 
Banyaknya inivestasi di Bali juga dipengaruhi oleh pengeluaran para wisatawan yang melakukan kegiatan wisata. Semakin banyaknya pengeluaran dan permintaan wisatawan, maka semakin banyak fasilitas-fasilitas yang dibangun sesuai dengan permintaan wisatawan. Dalam hal nya, pengeluaraan yang dilakukan oleh pemerintah dalam membangun infrastruktur, lalu pengeluaran wisatawan untuk mendapatka rasa kepuasan, serta pengeluaran investor dan investasi menjadi tolak ukur atau parameter meningkatnya perekonomian di Bali terutama dalam sektor pariwisata (Antara, 2000:254). Dapat dilihat perkembangan investasi pada sektor pariwisata secara nasional dalam bagan berikut

Gambar 1.1 Neraca Satelit Pariwisata Nasional 2009, (Budpar, 2012)


Gambar 1.2 Neraca Satelit Pariwisata Nasional 2010, (Budpar, 2012)
Dari bagan di atas, dapat dilihat jumlah investasi dalam sektor pariwisata meningkat dan juga mempengaruhi peningkatan dampak pada ekonomi pariwisata. Maraknya investasi di Bali pada kurun tahun terakhir ini sebesar IDR. 16,23 triliun atau sekitar US$1.7 juta pada tahun 2011 dan diharapkan pada akhir bulan Desember ini, peningkatan jumlah investasi di Bali mencapai IDR. 18,29 triliun (The Jakarta Post, 2012). Seperti yang diutarakan oleh Dwi Pranoto, selaku kepala Bank Indonesia untuk daerah Bali dan Nusa Tenggara pada The Jakarta Post, ia menyatakan prediksinya sebagai berikut
“If we can maintain this flourishing economic activity, we predict Bali will have economic growth of around 6.79 percent to 7.1 percent in 2013,” (2012).
Sedangkan menurut Wakil Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia wilayah III, I Gede Made Sadguna menyatakan ada dua faktor penyumbang dalam meningkatkan pariwisata di Bali, yakni adanya investasi dan konsumis masyarakat (Antara Bali, 2012). 
Investasi terus digencarkan oleh Pemerintah Daerah Bali dalam meningkatkan ekonomi pariwisatanya. Sektor pariwisata yang telah dikelola dengan baik oleh Pemerintah dan masyarakat Bali serta keindahan budaya dan alamnya yang membuat Bali banyak diminati oleh investor. Selain itu, meningkatnya jumlah wisatawan di setiap tahun memberikan nilai positif yaitu keuntungan yang besar bagi pihak swasta dalam menanamkan modalnya dan membangung beberapa fasilitas di Bali. Sehingga meningkatnya perekonomian Bali terutama pada sektor pariwisata sangat dipengaruhi oleh investasi-investasi yang dilakukan di Bali.

3.2 Dampak Peran Swasta Terhadap Ekonomi Pariwisata Masyarakat Bali
Peran swsata yang lebih dominan dan bermain dalam sektor industri pariwisata Bali, memberikan hal yang positif dan negatif. Dalam pengertiannya, masyarkata Bali adalah sekelompok keluarga yang terikat oleh kesadaran kebudayaan dan yang diperkuat oleh persamaan bahasa (Koentjaraningrat, 1979:279). Sehingga persatuan yang dijunjung masyarakat Bali sangat kompak sesuai dengan ajaran dan kebudayaan di daerahnya.
Banyaknya pengaruh pihak swasta yang bermain dalam sektor industri pariwisata Bali, tidak mengurangi nilai-nilai budaya yang ada di Bali bahkan dengan adanya perkembangan ekonomi pariwisata di Bali, masyarakat Bali menjadi lebih sejahtera. Menurut Dr. I Nyoman Erawan, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, pariwisata Bali yang makin berkembang memberikan dampak positif terhadap ekonomi daerah tujuan wisata. 45,3% pencapaian masyarakat terhadap pengeluaran wisatawan dan 6,3% berasal dari investasi yang dilakukan sehingga industri pariwisata Bali menyumbang 51,6% bagi pendapatan masyarakat Bali (Ekspedisi Geografi Indonesia: Bali, 2007:79). Seperti yang dikatakan oleh Basri (2009:342)
“Kapitalisme atau Liberaslisme memang telah membuktikan keampuhannya dalam memakmurkan masyarakat (sekurang-kurangnya sebagian dalam proporsi yang signifikan).”
Hal ini memperlihatkan bahwa berkembangnya investasi yang sesuai dengan paham liberalisme memberikan kesejahteraan bagi masyarakat terutama dalam permasalahan ini.
Meningkatnya jumlah permintaan terhadap pariwisata di Bali menimbulkan banyaknya jumlah permintaan terhadap suatu sumber daya manusia (SDM) Bali dalam memberikan jasa pelayanan dala sektor pariwisata. Hal ini dapat berupa lowongan pekerjaan yang ada di hotel-hotel yang membutuhkan sumber daya manusia yang baik dan juga permintaan terhadap industri kreatif meningkat. Sumber daya manusia atau tenaga kerja pariwisata, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga tanggung jawab lembaga-lembaga lain, seperti lembaga pendidikan pariwisata (Abas, 2002:18). 
Meningkatnya jumlah wisatawan mancanegara dan nusantara dikarenakan fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh piha swasta sangat memuaskan wisatawan. Hal ini juga berpengaruh terhadap industri kecil yang dijalankan oleh masyarakat lokal Bali, seperti membuat kerajinan tangan sebagai cinderamata serta barang-barang yang unik yang menggambarkan identitas Bali. Seperti yang dikatakan oleh Schumpeter dalam Papanek (2006:79)
“Entrepreneurs have been recognize as one of the engines of growth. they are the business innovators who are crucial in moving a country into new products and markets, applying new technologies and management approaches” 
Dalam hal ini, pengusaha-pengusaha kecil di Bali meningkat atas permintaan yang dilakukan oleh wisatawan. Hal ini memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan jumlah pendapatan yang diperoleh masyarakat Bali yang sebagian besar adalah pengrajin kesenian. Selain dari meningkatnya permintaan atas kerajinan tangan atau handicraft, pada tahun 1973 dimana pariwisata Bali sedang meningkat, jumlah pengangguran mengurang dan dari 26.000 orang yang bekerja meningkat menjadi 100.000 orang yang bekerja pada saat itu (Bendesa;Sukarsa, 1980:31). Sekarang pada tahun 2012, jumlah angka pengangguran di Bali mencapai 52.000 orang atau sekitar 2,32% dari seluruh masyarakat Bali (Metro Bali, 2012).
Penulis juga melakukan wawancara kepada salah satu teman yang berasal dari Bali, bahwa meningkatnya industri pariwisata Bali dikarenakan banyaknya pihak swasta yang bermain memberikan dampak baik bagi masyarakat lokal, karena pihak swasta begitu baik dalam memberikan izin dan keluasan untuk berdagang di daerahnya tersebut. Sehingga penduduk Bali dapat meningkatkan pendapatannya tanpa harus khawatir dan resah terhadap tempat berdagangnya.
Selain dari dampak-dampak positif yang telah dipaparkan di atas, adanya pihak swasta yang dominan dalam sektor industri pariwisata memberikan dampak negatif juga terhadap masyarakat Bali. Dampak negatif yang diperoleh dari hal tersebut dapat berupa penggusuran tanah atau lahan penduduk lokal untuk dibangunnya sebuah hotel atau tempat lainnya yang mendukung sektor pariwisata, meningkatnya industri prostitusi yang menyebabkan eksploitasi anak seta komersialisme tradisi agama (Sprastayasa, 2008:36). 
Dampak positif dan negatif yang dirasakan oleh masyarakat Bali, tidak terlalu memberikan hal yang buruk terhadap kehidupan sosial mereka. Bahkan karena banyaknya dan meningkatnya investasi dan pihak swasta yang bermain pada sektor industri pariwisatanya, mereka dapat meningkatkan pendapatan ekonomi mereka masing-masing. Budaya yang ditawarkan oleh masyarakat Bali masih tetap ada dan kental di dalam diri masing-masing. Sehingga adanya peran swasta dalam meningkatkan ekonomi pariwisata Bali dapat memberikan motivasi kepada masyarakat Bali untuk tetap berkarya, terutama dalam sektor indunstri kreatif.

3.3 Persaingan Antara Industri Lokal di Bali dengan Pihak Swasta
Industri lokal di Bali merupakan industri yang menopang pertumbuhan ekonomi pada setiap masayarakat Bali. Indusrti lokal kecil Bali berupa industri kreatif yang dapat berupa sandal, anyaman, souvenir unik, pajangan, kerajinan tangan serta baju-baju yang memiliki tulisan-tulisan unik atau biasa yang disebut dengan brand Joger. Selain dari industri kreatif yang ada di Bali, industri kecil lainnya yang menopang pertumbuhan ekonomi adalah makanan khas atau makanan lokal Bali, seperti kacang, kerupuk, dan makanan-makanan besar lainnya. Serta produk-produk kecantikan yang ditawarkan pada tempat Massage and Spa (industri wellness) yang mengutamakan produk lokal Bali, seperti penggunaan lulur Bali.
Dalam hal ini industri lokal Bali hanya mampu bersaing secara lokal saja karena apa yang dilakukan dan diproduksi oleh masyarakat Bali hanya berupa produk-produk kecil bukan besar. Seperti yang dikatakan oleh Presiden Direktur Center For Banking Crisis (CBC), Deni Daruri mengatakan 
“Industri kreatif di Bali masih kurang maju dan tidak ada apa-apanya dan masih mengandalkan konsep dalam bidang budaya dan kerajinan. Belum mampu menghasilkan karya yang spektakuler berbasis tekhnologi maju.” (Alpen Steel, 2012).
Pernyataan ang dilontarkan oleh Deni tersebut dapat dilihat bahwa industri kreatif di Bali masih belum mampu bersaing dengan wilayah-wilayah lain dan terutama bersaing dengan negara-negara lain. Jika industri kreatif Bali dapat menghasilkan karya yang mengaggumkan, tidak salah lagi, potensi perkembangan pariwisata Bali akan terus melesat dengan adanya produk lokal yang mampu bersaing dengan pihak lain. 
Seperti yang dikatakan oleh Schumpeter dalam Papanek bahwa banyaknya wirausahawan baik dalam sektor yang kecil maupun rendah sangatlah berperan dalam pembangunan ekonomi, terutama mereka menjadi salah satu innovator dari sebuah inovasi yang krusial yang memberikan pergerakan dalam produk-produk baru dalam pasar dan juga tekhnologi-tekhnologi yang diciptakan (Papanek, 2006:79). 
Untuk bersaing dengan produk-produk dan jasa-jasa yang diproduksi oleh pihak swasta dan asing, industri kecil dan kreatif Bali haruslah lebih baik dan maju lagi. Minimnya tekhnologi dan kemampuan serta pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Bali masih dapat dibilang jauh ketinggalan dengan produk dari asing. Hal ini dikarenakan banyaknya pengusaha-pengusaha kecil baru yang tidak mengetahui akses tekhnologi yang baik dan juga masih kurangnya pengalaman dalam mengatur dan menjalankan industri (Papanek, 2006:80). 
Industri kecil yang dijalankan di Bali biasanya industri yang berbasis keluarga. Keberhasilan yang didapat oleh pebisnis kecil di Bali berdasarkan mekanisme pasar, karena kerja keras mereka, adanya keberanian untuk mengambil resiko, serta hasil pendapatan yang disimpan meskipun masih kurangnya dukungan dari pemerintah (Papanek, 2006:85). Hal ini yang mengakibatkan industri kecil di Bali kurang dapat dan bahkan dapat dikategorika tidak mampu dalam bersaing dengan para pihak swasta. 
Seperti hal nya di Ubud, yang mana merupakan tempat kesenian yang sangat terkenal di Bali bahkan di seluruh dunia masih belum dapat bersaing dengan pihak swasta lainnya. Karena industri kecil Bali masih hanya berpaku pada budaya, meskipun  seni budaya Bali tradisional mampu berkolaborasi dengan budaya masyarakat luar tanpa kehilangan identitas diri (Kompas, 2012). 
Oleh sebab itu banyaknya industri kecil dan industri keratif di Bali tidak dapat mempengaruhi persaingan anatar industri yang dikelola oleh pihak lokal dengan pihak swasta dan asing. Diakarenakan pengalaman yang masih minim dan kurang dalam berusaha. Serta kualitas yang diatwarkan dalam jasa, masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan apa yang disediakan dan diatawarkan oleh pihak asing. Sehingga sampai saat ini, industri kecil dan kreatif di Bali hanya mengedepankan dan mengutamakan seni, budaya dan daya tarik wilayahnya yang mana sebagai nilai tambahan bagi industrinya. 

3.4 Pengembangan SDM Bali dalam meningkatkan ekonomi pariwisata Bali
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi pariwisata di Bali memberikan efek dan masukan yang positif bagi setiap masyarakat lokalnya. Dengan adanya hal ini, peningkatan Sumber Daya Manusia atau SDM di Bali sangat dijunjung tinggi. Pariwisata yang menjadi basis dari kegiatan ekonomi masyarakat Bali, memberikan peluang bagi masyarakat lokalnya untuk menciptakan dan mengembangkan kemampuan mereka dalam bidang pariwisata. Hal ini dapat membantu perekonomian pariwisata Bali dalam bersaing dengan pihak-pihak swasta dan asing yang sebagian besar mengelola tempat-tempat pariwisata di Bali. Kegiatan pariwisata atau state of the art perkembangan pariwisata, merupakan sistem yang lahir dan interaksi terus menerus antara permintaan, penawaran, dan lingkungan (Kusworo;Damanik, 2002:109). Permintaan yang sangat tinggi dalam pasar wisata global merupakan produk-produk langka dan unik yang bermutu tinggi, sehingga kualitas SDM inilah yang diyakini secara langsung akan menentukan produk dan pelayanan wisata yang baik serta peningkatan kualitas SDM menjadi salah satu kunci utama untuk bersaing dan memenangkan persaingan global yang semakin kompetitif (Kusworo;Damanik, 2002:110).
Untuk meningkatkan SDM pariwisata di Bali, banyak dibangun beberapa institusi-institusi di Bali yang berbasiskan sektor industri pariwisata. Seperti contoh adalah Sekolah Tinggi Pariwisata Bali atau yang sering dikenal dengan STP Nusa Dua Bali. STP Nusa Dua Bali dibangun pada tahun 1978 yang dimana saat itu perkembangan pariwisata Indonesia dan terutama Bali sedang berjaya di masa era rezim Soeharto. STP Nusa Dua Bali dibangun dengan kerjasama UNDP dan saat itu sebagai institusi utama dalam mengembangkan SDM pariwisata (stpbali). STP Nusa Dua Bali merupakan institusi pendidikan dalam sektor pariwisata yang terbesar di Bali dan bahkan di Indonesia. 
Selain adanya STP Bali, Universitas Negeri yang berada di Bali juga ikut membangun pariwisata di Bali. Universitas Udayana yang memiliki fakultas pariwisata bertujuan untuk meningkatkan kualitas SDM pariwisata Bali. Berbagai macam peminatan pariwisata yang ditawarkan oleh Universitas Udayana, seperti 1) Program Studi Diploma IV Pariwisata, ¬2) Program Studi Destinasi Pariwisata jenjang Strata 1 (S1), dan 3) Program Studi Industri Perjalanan Wisata jenjang Strata 1 (S1) (FPAR UNUD). Dari program-program yang ditawarkan oleh Universitas Udayana, dapat memberikan harapan dan kemajuan terhadap SDM pariwisata Bali dan masyarakat Bali yang berminat untuk mengembangkan dan bersaing dalam bidang pariwisata lokalnya. 
Maraknya pembangunan institusi pendidikan mengenai pariwisata, memberikan efek yang besar bagi sektor pendidikan pariwisata di Bali. Selain dari STP Nusa Dua Bali dan Universitas Udayana dengan Fakultas Pariwisatanya, Bali juga membangun Politeknik Negeri Bali atau yang disingkat PNB. PNB merupakan peleburan dari Politeknik Universitas Udayana. Karena makin pesat berkembangnya industri pariwisata di Bali, Politeknik Univesritas Udayana akhirnya berdiri sendiri dan mandiri dengan mengganti nama menjadi Politeknik Negeri Bali. Pembangunan PNB atau lebih tepat dikatakan lepasnya Politeknik Universitas Udayana menjadi lebih mandiri terjadi pada tahun 1997 (PNB). Banyaknya institusi-institusi pendidikan sektor pariwisata di Bali memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi pariwisata Bali sangatlah pesat dan pemerintah daerah ingin memajukannya lebih baik lagi dengan mengembangkan SDM pariwisata Bali yang dapat diolah dan dibentuk.
Peningkatan SDM pariwisata yang dilakukan oleh pemerintah daerah Bali dengan membangun institusi pendidikan pariwisata sangatlah diminati oleh generasi muda sekarang. Bukan hanya generasi muda yang berlokasi dan bertempat tinggal di Bali saja, melainkan generasi muda dari seluruh Indonesia. Dengan begitu diharapkan hasil ‘cetakan’ atau lulusan dari beberapa institusi tersebut dapat memberikan pemasukan dan pendapatan yang menguntungkan dalam sektor pariwisata Bali. Bila industri pariwisata tidak lagi menjamin lapangan kerja yang memadai, maka kelangsungan institusi pendidikan pariwisata yang outputnya adalah SDM pariwisata akan susah dalam mencari lapangan pekerjaan. Karena lapangan pekerjaan akan tersedia bila industri pariwisata maju dan berkembang (Abas, 2003:14). Pengembangan SDM atau tenaga kerja pariwisata bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, melainkan tanggung jawab dari instistusi pendidikan yang diharapkan instittusi pendidikan kedepannya mampu menghasilkan sumber daya yang profesional dan memiliki kualifikasi dan kualitas global (Abas, 2003:18). Sehingga industri pariwisata Bali ditekankan agar lebih maju dan berkembang untuk menciptakan dan mengurangi pengangguran yang ada di Bali.
3.5 Peran Pemerintah dalam Meningkatnya Ekonomi Pariwisata Bali
Meningkatnya dan berkembangnya ekonomi pariwisata Bali tidak luput dari peran pemerintah. Peran pemerintah dalam berkontribusi untuk meningkatkan perekonomian pariwisata Bali dapat dikatakan cukup berhasil. Kebijakan dan visi-misi yang dibuat oleh Pemerintah Daerah membawakan hasil yang memuaskan. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah berupa mendorong pengembangan usaha kepariwisataan, pengelolaan produk pariwisata, meningkatkan kualitas pariwisata dan sarana juga prasarana. Pada kawasan pariwisata Bali diatur dalam Perda Propinsi Bali No. 3 tahung 2005 yang mengatur Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali, yang menetapkan 15 kawasan pariwisata dan 6 objek daerah tujuan wisata (ODTW) (Ekspedisi Geografi Indonesia: Bali, 2007:100-101).
Berkembangnya dan meningkatnya investasi pariwisata tidak luput dari kebijakan-kebijakan yang dinuat oleh pemerintah. Dalam acara Indonesia Investment Tourism Day (IITD) Oktober lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu menyatakan adanya investasi diarahkan pada kawasan pariwisata untuk meningkatkan kualitas wisatawan dan sesuai dengan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional (RIPPARNAS) yang terdiri dari 88 wilayah strategis wilayah nasional, dan 16 wilayah yang diutamakan dalam peningkatan pariwisata selama 3-5 tahun termasuk Bali (Budpar, 2012).
Tujuan kebijakan pariwisata yang dibuat oleh pemerintah menurut pendapat Picard dalam Subawa (2008:352) a) meningkatkan devisa negara, mencipakan lapangan kerja, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi; b) mengelola dan mempromosikan keindahan budaya dan alam Indonesia (Bali); c) memberi motivasi untuk meningkatkan kesadaran nasional dan internasional. Dalam hal ini, peran pemerintah sangat pasif untuk meningkatkan ekonomi pariwsiata Bali. Kebijakan-kebijakan dan peraturan derah (Perda) yang dibuat oleh pemerintah hanya sekedar sebagai peraturan dan pengawasan terhadap jalannya kegiatan pariwisata di Bali. 
Tidak sedikit dari fasilitas-fasilitas yang dikelola oleh pemerintah tidak sesuai dengan keinginan dan motivasi wisatawan mancanegara dan nusantara. Pelayanan yang diberikan oleh pihak pemerintah dapat dikatakan kurang memuaskan. Sehingga kebijakan yang dibuat oleh pemerintah banyak prakteknya dilakukan oleh pihak swasta. Seperti apa yang dikatakan oleh Stiglitz (1988:194)
“A major ground of comparisson between public and private enteprise is that of the inefficiency. Those enterprise that are run by the government may differ systematically from those that are privately run.”
Adanya ketidakefisiensian sektor yang dikelola oleh pemerintah menyebabkan banyaknya investor yang bermain dalam meningkatkan ekonomi pariwisata Bali. ketidakefisiensian yang ditimbulkan oleh pemerintah dapat terlihat dari sistem birokrasi yang ada pada suatau pemerintahan daerah. Bila jalannya birokrasi tidak sesuai dengan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah, maka kesempatan ini akan diambil oleh pihak swasta. Efektifitas birokrasi pariwisata dapat dilihat dari sejauh mana para birokrat dapat menjalankan tugas yang diberikan oleh lembaga dan perannya tidak boleh dominan (Kusworo;Damanik, 2002:108), seperti kualitas para birokrat yang baik terlihat dari kualitas pengawasan, kualitas kebijakan publik (sesuai atau tidaknya dengan kepentingan bersama), kualitas implementasi dan pelaksanaan dan kegiatan kontrol yang dilakukan (Basri, 2009:203).
Selain dari kebijakan-kebijakan yang dibuat dan dilakukan oleh pemerintah, pemerintah juga membuat beberapa program dalam meningkatkan potensi dan promosi untuk meningkatkan ekonomi pariwisata Bali. Salah satu program yang dilakukan adalah Bali and Beyond. Program ini dicetuskan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik dalam meningkatkan pariwisata Bali dan juga destinasi-destinasi pariwisata lainnya selain di Bali (Antara Bali, 2011). Saat maraknya berita terorisme di Bali pada tahun 2004 dan 2006, ekonomi pariwisata Bali menjadi menurun drastis dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena keamanan yang tidak ketat dan renggang dapat memberikan bahaya terhadap wisatawan. Dari pembelajaran adanya kejadian terorisme di Bali saat itu, pemerintah Indonesia mencanangkan program Visit Indonesia year 2008, yang mana tujuan dari program ini adalah mempromosikan kembali pariwisata Indonesia yang telah pudar terutama di Bali. Program ini berlangsung cukup sukses dengan menargetkan 7 juta wisatawan mancanegara per tahunnya untuk datang berwisata ke Indonesia (Suara Karya, 2007). Program yang diselenggarakan oleh pemerintah adalah bentuk kontribusi pemerintah terhadap pariwisata Indonesia terutama di Bali. Program pemerintah ini memberikan dampak yang baik bagi pertumbuhan ekonomi pariwisata Bali. Dari program Visit Indonesia year 2008, dapat dilihat bahwa masih ada peran pemerintah dalam meningkatkan ekonomi negaranya terutama dalam hal ini pada sektor pariwisata.
Program ini terus berkembang sampai Visit Indonesia year 2012 yang berganti nama menjadi Wonderful Indonesia sekarang. Untuk menyeimbangkan antara pariwisata dan ekonomi, pemerintah juga mencanangkan program industri ekonomi kreatif, yang mana potensi-potensi yang dimiliki orang Indonesia untuk berkompetisi lebih baik lagi dalam jangkauan yang luas. 
Dari kebijakan-kebijakan dan program yang dicanangkan oleh pemerintah, baik dari pemerintah pusat atau daerah, dapat terlihat jelas bahwa pemerintah hanya memberikan fasilitas untuk mencapainya kegiatan ekonomi pariwisata di Bali. fasilitas-fasilitas tersebut dapat berupa perizinan dalam membuat atau mengelola tempat akomodasi, destinasi wisata, dan wahana-wahana pelengkap yang terdapat pada objek wisata. Kegiatan pariwisata dilakukan dan dikerjakan oleh peran yang bermain, dalam hal ini dapat dikatakan pihak swasta dan wisatawan, juga kehadiran masyarakat Bali yang memberikan dukungan terhadap meningkatanya ekonomi pariwisata Bali.

4.0 Simpulan
Berkembangya ekonomi pariwisata di Indonesia berdasarkan banyaknya jumlah investasi yang dilakukan oleh para investor, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing (PMA) terutama di Bali. Berkembangnya ekonomi pariwisata di Bali pada tahun terakhir ini disebabkan oleh peranan pihak swasta yang memberikan kontribusi yang cukup maksimal dalam meningkatkan ekonomi pariwisata dan karena dipengaruhi oleh adanya perjanjian yang dilakuka oleh negara dengan WTO
. Dengan adanya peran swasta yang bermain dan dengan secara dominan menguasai kegiatan wisata yang ada di Bali, menjadikan perekonomian pariwisata Bali meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, adanya peran swasta dalam hal ini memberikan tingkat perekonomian masyarakat Bali menjadi lebih meningkat, karena angka pengangguran yang berkurang pada tiap tahunnya.
Seperti halnya dalam ajaran neoklasik yang menjelaskan bahwa peran pemerintah diizinkan bila kondisi pasar tidak stabil. Dalam hal ini, peran pemerintah memberikan dan membuat kebijakan-kebijakan serta program-program yang dicanangkan sebagai fasilitator untuk meningkatkan perkonomian pariwisata dan untuk menstabilkan keadaan pasar pariwisata yang sedang terjadi. Sehingga peran pemerintah ada jika hanya dibutuhkan dan perannya sangat pasif dalam merealisasikan kebijakan dan program yang telah dibuat.


Daftar Pustaka

Buku:       
Basri, Faisal dan Haris Munandar. (2009). Lanskap Ekonomi Indonesia. Jakarta: Kencana.

Deliarnov. (2006). Ekonomi Politik. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Frieden, Jeffry A., David A. Lake. (1987). International Political Econom: Perspective on     Global Power and Wealth. New York: St. Martin’s Press.

Isaak, Robert A. (1991). International Political Economy Managing World Economic Change. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Koentjaraningrat. (1974). Beberapa Pokok Antropologi Social. Jakarta: Dian Rakyat.

Krugman, Paul R., Maurice Obstfeld. (1993). Ekonomi Internasional Teori dan 
Kebijakan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Noor, Henry Faizal. (2009). Investasi: Pengelolaan Keuangan Bisnis dan Pengembangan              Ekonomi Masyarakat. Jakarta: Indeks.

Rosyidi, Suherman. (2011). Pengantar Teori Ekonomi Pendekatan Kepada Teori
Ekonomi            Mikro & Makro. Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA.

Simatupang, Violetta. (2009). Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia. 
Bandung: PT.         Alumni.

Spillane, James J. (1987). Ekonomi Pariwisata Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta:         KANISIUS.

Stiglitz, Joseph E. (1988). Economics of The Public Sector. New York: Norton, 2000.

Yoeti, Oka A. (2009). Ekonomi Pariwisata. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10.TAHUN 2009.TENTANG       KEPARIWISATAAN. 2009. Jakarta: Depdagri.

Von Axelson, Jens. (2005). Transfer of pruduction knowledge to small and medium-size enterprises: a suggested model. Stockholm: KTH. 

Artikel dan Jurnal:
Abas, A. Junaeidi. (2003). “Strategi Pengolaan Pendidikan Tinggi Pariwisata di Era           Globalisasi       dan Pasar Bebas (AFTA)”. DikLatPar Pendidikan dan Pelatihan         Kepariwisataan,          Vol. 8, No. 1, pp. 11-22.

Anonim. (2012). “Value Chains, SMEs and Public Policies. International Experiences and Lessons for Latin America and The Caribbean”. SELA, pp. 1-51.

Antara, Made. (2000). “Dampak Pengeluaran Pemerintah dan Wisatawan serta Investasi   Swasta Terhadap Kinerja Perekonomia Bali: Pendekapan Social Accounting Matrix”.             Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Vol. XLVII, No.3, pp. 253-268.

Atmanti, Hatarini Dwi. (2005). “Investasi Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan”. Dinamika Pembangunan, Vol.2, No.1, pp. 30-39.

Bendesa, I. K. G., I.M. Sukarsa. (1980). “An Economic Survey in Bali”. Bulletin Of          Indonesian       Economic Studies, Vol. XVI, No. 2, pp. 31-53.

Fauzi, Gamawan. (2010). “Dialog: Paradigma Kewenangan Dearah yang Efektif dan        Efisiens”. Prisma, Vol. 29, No. 3, pp. 74-83.

Indrawati, Sri Mulyani. (2009). “Dialog: Carilah Keseimbangan antara Peran Negara dan Pasar”. Prisma, Vol. 28, No. 1, pp. 76-86.

Kusworo, H. A., Janianton Damanik. (2002). “Pengembangan SDM Pariwisata Daerah:    Agenda Kebijakan untuk Pembuat Kebijakan”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,     Vol. 6, No.1, pp. 105-120.

Marijan, Kacung. (2005). “Mengembangkan Industri Menengah Melalui Pendekatan Klutser”. INSAN, Vol. 7, No.3, pp 216-225.

Morrel, Elizabeth. (2008). “Tourism, Culture, and Developement: Hopes, Dreams, and      realities in East Indonesia”. SEAP: INDONESIA, Vol. 86, pp. 175-180.

Mustika, Made Dwi S. (2010). “Investasi Swasta Sektor Pariwisata dan  Penyerapan Tenaga   Kerja di Provinsi Bali (Sebuah Analisis Tipologi Daerah)”. Jurnal Ekonomi dan Sosial INPUT, Vol. 2, No. 1, pp. 15-19.

Papanek, Gustav F. (2006). “The Pribumi Entrepreneurs of Bali and Central Java (or How not      to Help Indigenous Enterprise)”. Bulletin Of Indonesian Economic Studies, Vol. 42,         No. 1, pp. 79-93.

Pendersen, Lene. (2007). “The Changing World of Bali: Religion. Society, and Tourism”.             SEAP: INDONESIA, Vol. 84, pp. 194-196.

Pendersen, Lene. (2008). “Bali;  An Open Fortress 1995-2005: Regional Autonomy, Electoral        Democracy and Enternched Identites”. SEAP: INDONESIA, Vol. 86, pp. 181-182.

Santoso, Purwo., I. K Adhi Saskarayasa. (2002). “Makna Proses Kebijakan: Menyingkap Kontroversi Pembangunan Bali Nirwana Resort”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,   Vol. 6, No. 1, pp. 41-66.

Santri, Arisa. (2009). “Analisis Sektor Pariwisata Untuk Meningkatkan Kesempatan Kerja dan Pendapatan Masyarakat Porvinsi Bali” Institute Pertanian Bogor, pp. 1-75.

Spratayasa, I. G. N. Agung. (2008). “Mass Tourism atau Quality Tourism: Sebuah Pemikiran        untuk Pengembangan Pariwisata Bali Masa Depan”. SeNiBu Sejarah, Seni dan     Budaya, Vol. 13, No. 1, pp. 32-44.

Subawa, Nyoman Sri. (2008). “Tantangan Local Genius dalam Kapitalisme Pariwisata Bali”.        Sarathi, Vol. 15, No. 3, pp. 350-356.

Suhartono. (2008). “Kondisi Usaha Kecil dan Menengah di Provinsi Bali: Antara Kebijakan Kemitraan dan Persaingan”. Kajian, Vol. 13, No. 3, pp. 1-21.

Widagdo, Untoro., Yeni Asriwulan, Ananda S. Hussein. (2010). “The Application of E- Tourism in Small and Medium-Scale Tourism in Indonesia: A Strategic Management        View”. Journal of Indonesian Economy & Business, Vol. 25, No. 2, pp.190-200.

Majalah:
Waksman, Terranova. (2007). “Ajeg Bali”. Ekspedisi Geografi Indonesia: Bali, 2007. Pp 69-         70.

Megantara, Erri N. (2007). “Industri Pariwisata vs Lingkungan di Pulau Bali”. Ekspedisi   Geografi Indonesia: Bali, 2007. Pp. 78-82.

Dana, Wayan. (2007). “Prospek & Kebijakan Pariwisata Bali”. Ekspedisi Geografi             Indonesia:       Bali, 2007. Pp. 100-102.

Anonim. (2006). “Bali Invest in the Future”. Bali MICE, 2006. Pp. 36-39.

Website:
Antara News, Bali. (2012). “Investasi dan Konsumsi Sokong Ekonomi Bali 2013”. Available        at http://bali.antaranews.com accessed December 13, 2012.

Alpen Steel. (2012). “Industri Kreatif di Bali Masih Tertinggal” Available at http://www.alpensteel.com accessed December 28, 2012.

Bali Post. (2012). “Pariwisata Berkelanjutan”. Avaliable at http://www.balipost.co.id         accessed December 10, 2012.

Budpar. (2012). “Bagan Neraca Satelit Pariwisata Tahun 2006-2010”. Available at            http://www.budpar.go.id accessed December 10, 2012.

ILO, Co-Jakarta. (2011). “Indonesia tingkatkan statistik pariwisata untuk ciptakan lapangan         kerja yang lebih baik di industri pariwisata”. Available at:       http://www.ilo.org/jakarta/info/public accessed December 06, 2012.

ILO. (2012). “Suistainable Tourism in Indonesia”. Avalilable at       http://www.ilo.org/sector/activities/projects accessed December 10, 2012.

Kompas. (2012). “Ubud Pusat Industri Kreatif”. Available at http://sains.kompas.com accessed December 28, 2012.

Metro Bali. (2012). “Pengangguran di Bali Capai 52.000 Orang”. Availableat         http://metrobali.com accessed December 13, 2012.

Politeknik Negeri Bali. “Sejarah PNB”. Available at http://www.pnb.ac.id accessed December 28, 2012. 

Sadar Wisata. (2007). “2008, Target Wisman 7 juta dan Wisnus 118 juta”. Available at:     http://www.suarakarya-online.com accessed December 08, 2012.

Santosa, Setyanto P. (2002). “Pengembangan Pariwisata Indonesia”. Published Article,     Availabe at: http://www.kolom.pacific.net.id acessed December 06, 2012.

STP Bali. “Welcome to Bali Tourism Institute”. Available at http://www.stpbali.ac.id/   accessed December 28, 2012.

The Jakarta Post. (2012). “Bali hopes for rosier new year after stunning economic growth in          2012”. Avilable at http://www.thejakartapost.com accesed December 13, 2012.

Universitas Udayana. “Fakultas Pariwisata”. Available at http://www.fpar.unud.ac.id acceseed December 28, 2012.

UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. (2008). Available at             http://www.bappenas.go.id accesed December 06, 2012.

Oleh: Sendy Arum Mariyana