Halaman

Senin, 10 Juni 2013

Analisa Agenda Social Market Ekonomi dari Negara Social Welfare: SJSN di Indonesia 2004-2014




Emai
 
Abstrak
Sistem ekonomi pasar, baik liberal maupun sosialis, memicu terjadinya globalisasi dan perdagangan bebas, yang bersifat rentan terhadap krisis dan Market Failure. Oleh karena itu, di dalam banyak contoh kasus, banyak negara yang ikut campur tangan di dalam proses pemulihan krisis-krisis yang terjadi di negaranya masing-masing. Sebab, kontrak sosial dari terbentuknya negara-negara di dunia adalah mensejahterakan rakyatnya dan negara tidak mungkin akan membiarkan ketidak-mampuan warga negaranya membuat mereka tersingkir oleh mekanisme pasar. Penelitian jurnal ini menggunakan metode kualitatif yang dirangkai dengan teori-teori, konsep-konsep dan fakta sejarah yang terjadi dari berbagai sumber. Adapun kesimpulan yang didapatkan dari analisis ini adalah bahwa peran negara masih dibutuhkan untuk mengatasi Market Failure. Maka dari itu dibentuklah sistem dan badan-badan pelaksana jaminan sosial di berbagai belahan dunia untuk menjamin warga negaranya, juga bermanfaat untuk ketahanan negaranya tersebut. Di Indonesia, dengan prinsip-prinsip keadilan sosial di dalam dasar negaranya menuntut untuk dibentuknya SJSN, menjamin kesejahteraan warga negaranya.
Keywords: Krisis, Globalisasi, Perdagangan Bebas, Sistem Jaminan Sosial dan Ordoliberlisme
 
1.      Pendahuluan
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang merupakan sistem penghimpun dana dari rakyat untuk pembiayaan jaminan kesehatan dan jaminan hari tua  yang terintegrasi di dalam satu badan sudah diwacanakan sejak awal era reformasi (Wisnu, 2012, hal. 96; Pakpahan dan Sihombing, 2012, hal. 164-165; Shihab, 2012, hal. 175). Tetapi kemudian, sistem tersebut baru dapat diundang-undangkan di Indonesia pada tahun 2004 dan diimplementasikan dalam bentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada tahun 2014 nanti. Pengimplementasian dari SJSN tersebut adalah penggabungan dari beberapa badan-badan asuransi kesehatan dan jaminan pensiun milik negara menjadi satu di dalam BPJS (Shihab, 2012, hal. 177; Putri, 2012, hal. 240). Hal ini dilakukan karena badan-badan hukum pelaksana tugas dari Jaminan Sosial yang masih terpisah-pisah tersebut tidaklah efektif dan tidak melingkupi seluruh warga, padahal konstitusi di Indonesia sudah jelas mengamanatkannya.
 
Sebelumnya, badan-badan hukum yang melaksanakan tugas BPJS ini terbagi atas beberapa badan menurut jenis pekerjaan yang diurusi dan jenis jaminannya. Diantaranya adalah PT. JAMSOSTEK yang mengurusi jaminan kesehatan dan jaminan hari tua, serta jaminan-jaminan kerja lainnya seperti asuransi kecelakaan kerja dan asuransi kematian, untuk pekerja dari sektor swasta yang terdaftar; PT. ASKES yang mengurusi jaminan kesehatan untuk seluruh Pegawai Negeri, TNI dan POLRI; PT. TASPEN yang mengurusi jaminan hari tua, asuransi kecelakaan kerja dan asuransi kematian untuk seluruh Pegawai Negeri; sementara PT. ASABRI yang mengurusi jaminan hari tua, asuransi kecelakaan kerja dan asuransi kematian untuk seluruh jajaran TNI dan POLRI (Tim SJSN, 2004, hal. 14-15; Wisnu, 2012, hal. 100; Zaelani, 2012, hal. 196; Putri, 2012, hal. 242-243).
 
 
Tidak seperti negara-negara yang pada umumnya kita ketahui menggunakan sistem jaminan sosial seperti  Jerman, Jepang, Korea Selatan, Austria, Belgia, Costa Rika, Luxemburg, Yunani, Filipina, Singapura dan beberapa negara Skandinavia juga termasuk Amerika Serikat yang baru-baru ini yang memberikan insentif untuk orang yang tidak memiliki pekerjaan dan subsidi kepada rakyat (Mundiharno, 2012, hal. 211; Wati, 2012, hal. 11; Esping-Andersen, 1990 dikutip dalam Wisnu, 2012, hal. 77; Wisnu, 2012, hal. 79). Sistem Jaminan Sosial yang akan diadakan di Indonesia tidak akan meng-cover sampai sejauh itu. Sistem ini hanya akan melayani Jaminan Kesehatan, Asuransi Kecelakaan Kerja, Asuransi Kematian dan Jaminan Pensiun atau Jaminan Hari Tua. Peran Negara paling jauh di dalam sistem ini adalah meng-cover iuran ke BPJS yang harus dibayarkan fakir dan miskin, serta bagi pekerja yang baru saja dipecat atau habis masa kontrak kerjanya selama 6 bulan (Pakpahan dan Sihombing, 2012, hal. 170). Sehingga, manfaat SJSN yang seharusnya didapatkan oleh semua entitas yang di dalam negara ini tetap dapat dirasakan sama rata, sama rasa. Sehingga kita tidak perlu khawatir dari dampak buruk negatif pemberian insentif berupa hilangnya kompetisi, kebergantungan, inovasi ataupun lesunya gairah ekonomi. Sebab, hal yang ditanggulangi dalam sistem jaminan sosial ini adalah mencegah setiap orang dari kemiskinan, ketidak-mampuan dalam menjalankan kegiatan ekonomi (Purwoko, 2011 dikutip dalam Shihab, 2012, hal. 181). Iuran yang dimaksud adalah iuran yang dibayarkan oleh semua orang yang terdaftar, dalam kasus ini semua warga Republik Indonesia atas amanat konstitusi negara, baik dari sektor formal maupun informal (Tim SJSN, 2004, 53).
 
Istimewa atau malah menjadi sesuatu yang perlu dikhawatirkan adalah tingginya sektor informal di Indonesia. Di satu sisi tingginya sektor informal akan menguntungkan, dalam arti jika sektor informal di Indonesia tinggi dan kompetensinya kuat dengan SJSN akan memperkuat sektor informal tersebut dengan kepastian jaminan-jaminan yang ada. Otomatis hal tersebut juga akan menumbuhkan iklim ekonomi yang aman dengan segala kepastian manfaat yang ada. Di sisi lain tingginya sektor informal akan menyulitkan sistem pengumpulan iuran, proses pendataan dan penggolongan pendapatan untuk kemudian ditarikkan iuran. Sehingga akuntabilitas dari pengumpulan iuran sistem jaminan sosial ini akan sulit didapatkan. Seperti mengulangi buruknya sistem perpajakan di Indonesia (Mundiharno, 2012, hal. 211; Purwoko, 2012, hal. 269-270).
 
Diperlukan analisis terkait kondisi keuangan negara dan pembiayaan program jaminan sosial secara mendalam. Tentunya agar sistem jaminan sosial nasional bisa berjalan menyeluruh dan menyentuh semua lapisan masyarakat, termasuk pekerja informal. Jadi, tidak parsial sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang BPJS, kata Djoko, yang juga anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) ini. (http://www.jamsostek.co.id/content/news.php?id=3247 akses pada 07 Desember 2012)
 
1.1  Objektivitas
Penelitian jurnal ini menggunakan metode kualitatif yang dirangkai dengan teori-teori, konsep-konsep dan fakta sejarah yang terjadi dari berbagai sumber. Sumber-sumber yang digunakan di dalam penelitian ini adalah buku-buku yang membahas tentang Neoliberalisme, buku-buku akademik tentang ekonomi politik dan juga jurnal-jurnal yang berkaitan dengan tema besar di dalam jurnal ini; Social Market Economy dan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Debatical theory di dalam penyusunan jurnal ini diitempatkan di paragraf yang panjang untuk mempermudah pemahaman pembaca; dengan pola paragraf-paragraf thesis, antithesis dan yang terakhir sintesis berupa kesimpulan penulis dengan teori yang dikutip sebagai penguatnya. Posisi penulis di dalam jurnal ini adalah mendukung agenda Social Market Economy berupa penerapan SJSN di Indonesia, tetapi juga dengan adanya kritik-kritik dari paham Free Market Economy yang diakomodir sehingga diharapkan pelaksanaan agenda tersebut minim dari kecacatan. Yang selanjutnya, debatical theory ini melibatkan kedua paham neoliberalisme-ordolibelisme dan neoliberlisme-libertarian.
 
Rumusan masalah yang akan dibahas di dalam jurnal ini terbagi menjadi 2; Dimensi Global dengan cakupan Globalisasi dan Social Market Economy dan Dimensi Indonesia dengan cakupan amanat konstitusi, peran negara dan SJSN itu sendiri. Dengan pertanyaan dasar; Mengapa perlu adanya intervensi negara? Dan bagaimana posisi Indonesia sebagai negara terhadap rakyatnya?
 
1.2 Literatur Review
Jika kita melihat lebih jauh lagi, kebijakan sistem jaminan sosial dibeberapa negara ini didasari oleh pemikiran Ordo Liberal atau Neoliberal Mahzab Freirburg dari sekelompok ahli ekonomi politik di Jerman yang mengusung sistem ekonomi pasar sosialis. Sistem ekonomi pasar sosialis adalah sistem ekonomi bebas yang dijaga oleh regulasi-regulasi pemerintah untuk menghindari konsentrasi kekuasaan ekonomi sekaligus untuk menjaga keadilan dan efesiensi (Friedlich, 1955 dikutip dalam Delianov, 2006, hal. 163). Dengan pengertian, sistem ini menggantikan paham-paham liberal yang semula mempunyai konsep ekonomi sebagai ranah aturan dan hukum yang otonom menjadi objek intervensi sosial dan peraturan politik (Lemke, 2001 dikutip dalam Aryo, 2012, hal. 34).
 
Tidak juga menggantikan paham Klasik Liberal dan juga Neo-Klasik Liberal yang pada saat The Great Depression atau Malaise 1930an gagal dan menyebabkan krisis dengan Sosialisme yang setelah runtuhnya Uni Sovyet, kita juga mengetahui gagal; paham Neo-liberal ini menjadi jalan tengah atau juga jalan ketiga dari ekstrim bebasnya kapitalisme dan perencanaan terpusat yang kolektivis (Glossner, 2009, hal. 10). Pengakomodasian nilai-nilai liberal dan juga sekaligus sosialis yang terbukti berhasil di negara Jerman bukan berarti menjadi legitimasi negara untuk melakukan intervensi terhadap ekonomi secara menyeluruh. Tujuan dari paham ini kurang lebihnya, menghindari konsentrasi kekayaan berlebih baik di sisi publik maupun  privat. Dan bukan hanya kemerataan tetapi juga jaminan dan rasa aman yang akan dapat dirasakan.
 
Kanselor Angela Merkel juga menekankan pada pentingnya Freiheit in einer Ordnung der Sozialen Marktwirtschaft atau kebebasan bersamaan dengan tatanan di dalam sistem pasar sosialis. Bahkan diperjelas lagi di dalam konstitusi Uni Eropa, Ekonomi pasar sosialis  didefinisikan sebagai sistem ekonomi bersama untuk negara-negara Uni Eropa (Lorch, 2009, hal. 69-70). Hal ini mengisyaratkan kebebasan tetap menjadi prinsip utama dari sistem ekonomi ini tetapi ditambahkan pula komponen intervensi negara untuk kebebasan tersebut juga dapat dirasakan oleh semua orang dengan rasa adil. Tidak hanya mendapatkan legitimasi di negara asalnya sendiri, sistem ekonomi pasar sosialis ini mendapatkan tempat di konstitusi Uni Eropa. Akan tetapi, mengapa hasil yang di dapatkan berbeda-beda? Etos kerja dan kedisiplinan masing-masing negara tentu berbeda. Jerman memiliki etos kerja dan birokrasi weberian atau etika protestan, yang menjadikan manusia hampir sebagai robot. Sehingga agenda-agenda yang direncanakan oleh pemerintah yang berkarakter ekonomi pasar sosialis berjalan dengan sedikit hambatan.
 
Integrasi dari lembaga keuangan dan industri adalah catatan penting dalam tata kelola perusahaan yang baik, terutam di Jerman sehingga dana sosial yang terhimpun dari dalam negeri dalam jumlah besar dapat diinvestasikan, bermanfaat mendorong pertumbuhan ekonomi (Gilpin, 2001, hal. 171). Hal tersebutlah yang memungkinkan majunya Jerman, juga Jepang. Tetapi berbeda dengan negara-negara lain, kemajuan di Jerman dinilai lebih merata akibat adanya intervensi negara di dalam bank pemerintah dan juga kebijakan-kebijakan sosial. Terkait dengan masalah majunya industri di Jerman dapat menjadi indikator majunya suatu bangsa. Masa industrialisasi adalah faktor kunci yang menentukan mekanisme dari akumulasi pengumpulan modal dan struktur sistem industri suatu bangsa secara keseluruhan (Gerschenkron, 1962 dan Veblen, 1915 dikutip dalam Gilpin, 2001, hal. 172)
 
Ketidak-hadiran dana sosial merupakan salah satu faktor gagalnya reformasi. Sebab kemajuan ekonomi masih membutuhkan kapitalisme dalam segala aspek yang kemudian ditransformasikan melalui demokrasi menjadi dana sosial. Tanpa peran negara, dalam kaitan sebagai keputusan demokrasi untuk menggunakan otoritasnya untuk mengumpulkan dana privat menjadi dana sosial akan sulit dicapai kemajuan atau malah kita temukan kegagalan (Nowotny, 2002). Dana sosial yang akan dipergunakaan sebagai jaminan-jaminan sosial yang akan menciptakan iklim ekonomi yang baik dan juga sebagai modal ataupun suntikan bagi perusahaan-perusahaan yang baru ataupun sakit. Sehingga modal tidak terlalu terkumpul pada segelintir orang di dalam sektor privat dan lebih berguna bagi kepentingan negara dan masyarakat.
 
Terdapat dua fungsi kebijakan sosial di dalam sistem pasar sosialis. Pertama, fungsi penciptaan model hubungan sosial yang pada dasarnya berasal dari mekanisme ekonomi yang berupa penawaran dan permintaan, persaingan, dan sebagainya. Kedua, kebijakan sosial menjadi alat intervensi sosial untuk mendukung fungsi pertama (Foucault, 2008 dikutip dalam Aryo, 2012, hal. 35). Sehingga dari kedua fungsi ini, kompetisi yang tecipta di dalam pasar ekonomi tidak sedingin seperti yang dibayangkan. Maksudnya, diharapkan tidak  terjadinya kekakuan antara pelaku-pelaku usaha di dalam suatu negara dan ketatnya tarik-menarik kepentingan di dalamnya.
 
Kebijakan sosial, dalam kasus di Indonesia, sudah banyak dilaksanakan pada era-era sebelumnya hingga sampai saat ini. Tetapi setiap kali penambahan program sosial yang ada hanyalah program-program populis yang tidak menyelesaikan masalah atau malah menimbulkan ketimpangan koordinasi. Jika tidak dilakukan secara sistemnatis, program-program kebijakan sosial tersebut hanya akan menuai kegagalan. Dalam penerapannya, semakin banyak kebijakan sosial tidak dapat menjadikan bahwa negara tersebut adalah welfare state, melainkan hanya penumpukan-penumpukan program sosial yang ada. Indikator dari rezim negara kesejahteraan, dalam hubungan antara negara dan ekonomi, adalah badan-badan hukum yang terjalin, bekerja sama dan terintegrasi secara bersamaan (Espring-Anderse, 1994, hal. 172 dikutip dalam Arts dan Gelissen, 2002, hal. 139).
 
Neo-liberal kemudian tidak hanya diartikan sebagai ordo-liberalisme yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh Mahzab Freiburg tetapi juga Neo-liberal yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh Mont Pelerin Society (MPS).  Tokoh-tokoh MPS ini mempertahankan argumen keseimbangan pasar dan tidak menyukai campur tangan Pasar (Deliarnov, 2006, hal. 162). Salah satu tokoh dari MPS ini adalah F.A Hayek yang mempertahankan klasikal liberalisme dan pasar bebas kapitalisme melawan pendekatan-pendekatan intervensionis dari negara yang menurutnya membahayakan bagi liberalisme dan demokrasi. Para tokoh ekonomi pasar bebas pun berargumen bahwa teori-teori sosialis dan kolektivis akan mengarah kepada keburukan-keburukan totalitarian. Oleh karena itu, Neoliberalisme juga dapat ditafsirkan sebagai Libertarian atau anti negara, atau juga Monetarism (Glossner, 2009, hal. 10).
 
Salah satu asumsi dasar dari pandangan Neoliberalis yang Libertarian ini adalah dengan membiarkan jutaan individu melakukan reaksi terhadap pasar yang terbentuk secara bebas, akan terjadi optimalisasi modal, kreativitas manusia dan tenaga kerja dengan cara yang tak mungkin ditiru oleh perencanaan terpusat, sehebat apapun perencanaan itu (Hayek, 1944 dikutip dalam Deliarnov, 2006, hal. 164). Tetapi asumsi ini belum dapat menjadi pandangan yang kuat untuk menolak mentah-mentah dari kebijakan jaminan sosial. Hal yang paling diserang dari asumsi ini adalah sistem ekonomi sosialis yang terlalu terpusat dan tertutup.
 
Dalam kenyataannya tidak sedikit negara-negara dengan berlatar belakang di dunia yang menggunakan sistem jaminan sosial. Meskipun sistem jaminan sosial ini identik dengan sistem ekonomi pasar di Jerman dan memang sudah terbukti keberhasilannya di Jerman; tidak sedikit negara-negara lain berhasil mengadopsi kebijakan sistem jaminan sosial dan memang tidak sedikit juga yang gagal. Kegagalan dalam sistem jaminan sosial ini lebih sering terjadi pada kasus jumlah proporsi penduduk. Penduduk yang tidak produktif, usia pensiun dan atau anak-anak, terkadang lebih banyak daripada jumlah penduduk produktif. Sehingga Negara menjadi terbebani untuk membayarkan jaminan-jaminan sosial yang diterapkan di negara tersebut sementara pemasukan negara dari keproduktifitasan penduduknya, tabungan, konsumsi juga pajak-pajak yang dibayarkan tidak menutupi sehingga menimbulkan krisis finasial pada negara tersebut.
 
2.      Dimensi Global: Globalisasi dan Social Market Capitalism
Kaitan agenda Social Market Capitalism berupa jaminan-jaminan sosial dengan globalisasi adalah sudah banyaknya negara-negara di dunia yang menerapkan Sistem Jaminan Sosial. Penerapan Sistem Jaminan Sosial di berbagai negara tidak lain untuk menghadapi ketidak-pastian yang akan ditimbulkan sistem ekonomi pasar dan perdagangan bebas. Sementara, sistem ekonomi pasar adalah satu-satu sistem ekonomi yang terlegitimasi setelah sistem ekonomi sosialis sudah terbukti gagal sejak runtuhnya Uni Sovyet dan beralihnya Cina ke sistem ekonomi pasar pada era 1980an. Perdagangan bebas dan sistem ekonomi pasar nyaris tidak bisa terhindarkan lagi; perencanaan akan diberikan  secara otonom terhadap unit-unit terkecil dari struktur ekonomi dunia atau mekanisme penawaran dan permintaan terhadap barang dan atau jasa dibiarkan bebas (Wisnu, 2012, hal. 10; Wolfgramm dan Läufer, 2009, hal. 127 ).
 
Di sisi lain, keberadaan sistem ekonomi pasar, perdagangan bebas dan segala ketidak-pastian yang ada di dalamnya juga ikut juga menimbulkan krisis. Meskipun negara-negara itu adalah negara yang sehat, tidak menutup kemungkinan ikut merasakan dampak dari krisis juga. Contoh kasusnya adalah runtuhnya perekonomian di negara-negara berkembang akibat krisis akan berimbas pula pada permintaan produk-produk di negara-negara maju Hal ini relevan karena negara-negara yang maju cenderung memasarkan produk-produk olahannya ke negara yang berkembang dan dibawahnya;   (Wisnu, 2011, hal. 16; Kaminsky dan Schmukler, 1999 dikutip dalam Wisnu, 2012, hal. 16). Contohnya, dari krisis moneter 1997 di Asia, krisis mortgage atau kredit macet di Amerika pada tahun 2008 berefek secara tidak langsung pada kelesuan dan krisis fiskal di Eropa pada tahun 2010. Sehingga Cina perlu turun tangan untuk membantu krisis di Amerika agar tidak ikut mendapatkan dampak krisinya. Juga Jerman dan beberapa negara Uni Eropa lainnya untuk memberikan dana talangan bagi Yunani, yang rapuh dan membahayakan terutama bagi perekonomian di Eropa (Gregosz, 2009, 253). Globalisasi merupakan pemicu dari pasar bebas; atau dapat juga dikatakan pembukaan pasar-pasar bebas di seluruh dunia adalah fenomena globalisasi itu sendiri karena perusahaan-perusahaan besar yang ada berusaha mencari pasar-pasar baru yang lebih luas. Seperti apa yang diterangkan tentang globalisasi, globalisasi itu sendiri merupakan sebuah proses interaksi dan integrasi dari bangsa-bangsa, pemerintahan-pemerintahan dan perusahaan-perusahaan di seluruh dunia. Globalisasi berefek pada penyebaran paham-paham, teknologi-teknologi dan juga berpengaruh terhadap nilai-nilai dan lembaga-lembaga yang ada (Magstadt, 2011, hal.10). Dengan demikian, Pembukaan pasar bebas adalah pembukaan terhadap semua pengaruh-pengaruh yang ada di dunia, termasuk juga krisis. Dan masalah ini tidak hanya akan dirasakan negara-negara berkembang, negara-negara maju pun akan terkena dampaknya karena laju ekspor negara-negara tersebut menurun ketika negara pengimpornya terkena krisis.
 
Walter Lippmann, (1937 dikutip dalam Glossner, 2009, hal. 9)  dalam bukunya An Inquiry into the Principles of the Good Society menyalahkan keduanya, baik pandangan ekonomi sosialis maupun ekonomi neo-klasik atas terjadinya krisis yang memang sudah lazim akibat diterapkannya kedua pandangan tersebut. Krisis yang dirasakan akan menjadi lebih krisis struktural ketika setiap negara yang menggunakan kedua paham ini saling terhubung.
 
Negara Jerman merupakan model dari keberhasilan penerapan sistem ekonomi pasar sosialis dengan melihat keberhasilannya selama 60 tahun lebih, sejak kekalahan dari pasukan sekutu di Perang Dunia ke dua. Sistem ekonomi pasar sosialis sudah diterapkan sejak saat itu dengan implementasi politik dan validasi dari publik (Glossser dan Gregosz, 2009, hal. 5; Irfani, 2012, hal. 276). Bahkan jauh sebelum tahun-tahun tersebut,  Negara Jerman sudah memiliki jaminan sosial tersebut sejak 1880an yang diperintahkan oleh Kanselir Otto von Bismarck  (Funk, 2009, hal. 89; Wolfgramm dan Läufer, 2009, hal. 131). Sehingga sudah jelas kita dapat simpulkan bahwa negara ini adalah merupakan contoh asli dari keberhasilan penerapan ekonomi pasar sosialis. Dengan menimbang, banyak juga negara-negara di dunia yang menerapkan sistem ini dengan banyak varian yang berbeda tetapi tidak sekuat dan sematang konsep ekonomi pasar sosialis di Jerman.
 
Ekonomi pasar sosialis yang dikembangkan di Jerman memiliki asal-usul sandaran tersendiri yang secara normatif yaitu:
1.      The Freiburg Sekolah ordoliberal of Economics. Para anggota pendiri dari gerakan ini termasuk ekonom Walter Eucken, dan ahli hukum Franz Bohm dan Hans Grossmann-Doerth
2.      Neoliberalisme Sosiologis masing lingkaran diperpanjang Ordo-liberalism mengumpulkan sekitar emigran Alexander Rüstow dan Wilhelm Röpke.
3.      The Cologne Sekolah Ekonomi dan utamanya pro-ponent, Alfred Müller-Armack.
4.      (Franz Oppenheimer  dan sarjana nya) Ludwig Erhard.3 Selain itu, Christliche Sozialethik (yaitu etika sosial Kristen) dan Katholische Soziallehre (yaitu ajaran sosial Katolik) dalam bab 5 juga memberikan dorongan berkelanjutan ke Ekonomi Pasar Sosial, juga Oswald von Nell-Breuning (1954/1960, 1956/1960, 1975/1990) dan Joseph Hoffner (1959/2006), serta penekanan mereka pada prinsip-prinsip subsidiaritas dan solidaritas.
5.      Peran media juga tidak kalah pentingnya sebagai penetrasi dan legitimasi sosial Ekonomi Pasar Sosial salah satunya adalah Erich Welter, pendiri dari Frankfurter Allgemeine Zeitung.

Kelima entitas di atas adalah hal normatif yang membangun sekaligus mengembangkan ekonomi pasar sosialis (Wörsdörfer, 2009, hal. 22).
 
Terdapat 2 buah slogan yang dimunculkan oleh ordo-liberalism dalam permasalahan regulasi di pemerintahan yaitu; Inter-dependenz der Ordnungen dan Denken in Ordnungen yang memiliki arti kebergantungan atas sebuah tatanan dan berpikir dalam sebuah tatanan. Penjelasan atas Inter-dependenz der Ordnungen adalah bahwa intervensi ekonomi yang ada di dalam ekonomi pasar sosialis dapat merubah suatu tatanan atau struktur sosial yang ada. Sehingga perubahan yang terjadi di dalam struktur masyarakat tersebut sesuai dengan apa yang telah direncanakan pemerintah, khususnya pada agenda kesejahteraan sosial. Kemudian Denken in Ordnungen berarti saling kebergantungan di dalam suatu tatanan itu adalah penting. Sehingga etika-etika yang dapat kita rasakan dalam sistem ekonomi pasar ini adalah kedisiplinan yang tinggi. Pada prinsipnya sistem ekonomi pasar sosialis,  negara dituntut untuk menjadi negara yang kuat; negara yang berada di atas fungsi ekonomi. Akan tetapi,  Negara harus membatasi diri pada pembentukan regulasi atau kerangka kerja; dan intervensi negara dalam ekonomi memainkan regulasi harus berada di dasar kesesuaian pasar. Artinya, pengaturan oleh negara tetap tidak boleh menggantikan fungsi pasar dan mekanisme harga di pasar itu sendiri.  Kebijakan-kebijakan intervensi tidak boleh mengganggu pasar secara langsung karena memang tujuan dari ekonomi pasar sosialis ini adalah mengamankan jalannya pasar (Wörsdörfer, 2009, hal. 23 dan Gresgoz, 2009, hal. 252).
 
Titik baliknya dari neoliberalisme atau ordo-liberalisme adalah neoliberalisme dalam pengertian monetarisme dan libertarian yang menolak semua peran negara dan bertumpu kepada lembaga-lembaga suprastruktur yang mengurusi moneter. Karena memang lembaga-lembaga suprastruktur yang ada saat ini menyarankan untuk meliberalisasi sektor ekonomi dan menderegulasi berbagai kebijakan.  Hayek  (1944, 1949, 1960 dikutip dalam Aryo, 2012, hal. 37) berpendapat bahwa pasar, tanpa intervensi negara atau peraturan, merupakan pertalian kompleks dari keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan beragam individu. Sehingga mekanisme pasar akan tetap terjaga meskipun terjadi krisis ataupun kemacetan. Perusahaan-perusahaan yang bangkrut akan tutup digantikan perusahaan-perusahaan yang baru atau yang lebih sehat dan lapangan kerja akan kembali muncul. Rakyat yang menjadi pengangguran akan tetap menganggur sampai lapangan pekerjaan tumbuh kembali, atau mencoba beralih ke sektor informal, atau mati kelaparan atau malah membuat kerusuhan sehingga krisis bertambah parah.
 
Kritik Neoliberal-Libertarian terhadap Ordoliberal; antara free market economy terhadap social market economy adalah masalah kefesiensian dan juga kenetralan. Hayek (1944, 1949 dikutip dalam Aryo, 2012, hal. 37) juga berargumen bahwa mekanisme pasar lebih efesien dan efektif daripada perencanaan, regulasi, atau intervensi negara. Senada pernyataan Hayek, Friedman (1982 dikutip dalam Aryo, 2012, hal. 37) juga berpendapat bahwa pasar lebih efektif untuk meningkatkan kesejahteraan individu juga lebih efesien secara ekonomi daripada perencanaan negara yang tersentralisasi karena pasar itu netral. Baik Hayek maupun Friedman yang mewakili pandangan Neoliberal dari kalangan MPS memandang masuknya ranah politik ke dalam ekonomi hanya menimbulkan ke-inefesiensian, yang seharusnya setiap orang dapat berusaha dan berkompetisi sebebas-bebasnya tetapi kadang terhalang oleh kepentingan aparat negara yang juga mempunyai kepentingan tersendiri. Ke-inefesiensian juga terkadang muncul ketika Negara harus membantu, memberikan atau menyutikan dana talangan atau baill out kepada perusahaan-perusahaan di dalam negeri yang tidak sehat; inilah yang akan menghabiskan banyak kebijakan fiskal oleh negara atau anggaran belanja. Masalah kenetralan juga mengakibatkan monopoli-monopoli yang tidak sehat. Seperti pada masa Merkantilis, intervensi negara lebih dinikmati oleh para pengusaha yang dekat dengan pemerintah (Deliarnov, 2005, hal. 23).
 
Kritik dari Neoliberalis-Libertarian mengenai ketidak-efesiensian intervensi negara dapat terbantahkan ketika kita bertanya, efesien untuk siapa? Karena social market economy justru juga berpendapat lebih efesien dalam meredistribusikan pajak, alokasi sumber daya untuk mendapatkan kesejahteraan sosial (Wolfgramm dan Läufer, 2009, hal. 127). Juga efesien dilihat dari aspek inklusi sosial yang terjadi, kemudahan penciptaan lapangan pekerjaan dan kesetaraan dalam kesempatan untuk memperoleh gaji yang lebih atau memperbaiki akses berupa pendidikan; inilah yang menjadikan lebih efisien ketimbang pertarungan bebeas kapitalisme (Funk, 2009, hal. 98). Sementara jika pada mekanisme pasar efesien dalam pengertian koordinasi individual dan kebebasan bertindak maka hanya aturan-aturan kompetisilah yang dapat dievaluasi dan diperbaiki; sementara hasil dari sistem itu berupa kesenjangan sosial tidak dapat ditanggulangi.(Watrin, 1980, hal. 486 dikutip dalam Wolfgramm dan Läufer, 2009, hal. 131)
 
Atas semua pertimbangan tersebut mengenai Globalisasi, Sistem Pasar Ekonomi, Ordoliberalisme atau Social Market Economy yang berangkat dari Mahzab Freiburg di Jerman dan pertentangannya dengan Monetarisme dan Libertarian dari kalangan MPS; perlu kita kaji lebih mendalam. Globalisasi dalam hal ini hanya sebagai salah satu faktor pendukung di antara pertentangan mengenai posisi negara dan politik dalam campur tangannya ke dalam ekonomi. Tetapi, globalisasi tidak dapat dipisahkan dari keduanya karena globalisasi juga ikut andil atas berkembangnya kedua paham ini beserta krisis yang dapat ditimbulkan oleh kedua model sistem ekonomi tersebut (Glossner dan Gregosz, 2009, hal. 6; Lesch, 2009, hal. 108).
 
Sistem pasar ekonomi, baik yang menghendaki adanya intervensi negara ataupun yang anti negara, kedua-duanya sama-sama bersepakat untuk tidak menutup diri dan membuka pada akses global. Sekalipun pada ordoliberalisme merupakan pandangan yang menginginkan adanya intervensi negara terhadap ekonomi, tetapi tidak berarti menghendaki menutup diri pada dunia luar dan proses globalisasi seperti Uni Sovyet pada dekade-dekade lalu, Korea Utara dan Kuba pada masa sekarang. Satu prinsip ekonomi pasar yang ada saat ini adalah membuka diri terhadap pasar global. Yang penting barang dan jasa dapat dipasarkan keluar negeri dan diimpor ke dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupu meningkatkan kinerja ekonomi negara tersebut (Wisnu, 2011, hal. 14). Sehingga yang paling bersinergi untuk saat ini adalah globalisasi dan sistem ekonomi pasar, untuk masalah setuju atau tidaknya peran negara adalah masalah lain. Tetapi dengan adanya sistem ekonomi pasar dan globalisasi menimbulkan ketidakpastian dan potensi krisis secara struktural.
 
Sistem ekonomi pasar sosialis yang terangkum dalam ordoliberalisme memiliki 2 kelebihan lain dengan adanya kebijakan jaminan sosial; dekosentrasi kekayaan dan rasa aman. Dekosentrasi kekayaan yang dimaksud adalah pemerataan kekayaan dan memperkecil ketimpangan yang ada dengan pemberian jaminan-jaminan yang ada, penciptaan  lapangan kerja yang baru, peminjaman modal dengan menggunakan dana sosial yang dikumpulkan berdasarkan iuran-iuran yang ditentukan sesuai dengan profesi dan penghasilan. Karena mekanisme pasar, yang berpandangan keadilan berdasarkan kinerja seserang tidak dapat menjamin kesemua hal itu (Wolfgramm dan Läufer, 2009, hal. 131).  Kedua, rasa aman yang dimaksud adalah dengan adanya jaminan sosial tersebut, masyarakat lebih cenderung merasa aman karena sudah mengasuransikan kesehatan dan masa tuanya terutama dengan iuran-iuran yang dibayarkannya secara rutin, termasuk juga ketika terjadi kecelakaan kerja atau kematian. Rasa aman juga akan dirasakan pengusaha karena pekerja akan cenderung lebih tenang, tidak menuntut kenaikan gaji, pensiun atau tunjangan-tunjangan secara berlebih apalagi berdemo karena sudah terjamin dalam program jaminan sosial yang menyeluruh. Pengusaha juga mendapatkan rasa aman dengan adanya jaminan sosial ketika sedang terjadi krisis atau terlilit hutang atau hanya sekedar perlu untuk mmengembangkan usahanya, pemerintah dapat memberikan pinjaman lunak. Seperti Jerman dan Jepang dimana perusahaan-perusahaan banyak dibantu dengan dana yang dimiliki pemerintah ataupun dana sosial. Begitu juga investor yang cenderung akan merasa aman ketika menanamkan modalnya di negara yang sudah stabil perekonomian dan ditambah rasa aman dari jaminan sosial.
 
Jaminan sosial bukanlah hal baru yang pernah ada, sistem ini sudah diterapkan di Jerman sejak akhir abad ke 19. Manfaatnya adalah tersedianya kepastian-kepastian dari kebutuhan rakyat akan akses kesehatan, insentif ketika terjadinya kecelakaan kerja, insentif pensiun atau pesangon, dan juga kematian. Sehingga ketika orang-orang yang dijamin tersebut tidak mampu bekerja atau tidak produktif lagi, dia dan atau keluarganya tetap akan mampu menjalankan pekerjaan dan kehidupan yang layak. Contoh kasusnya adalah, ketika seseorang sakit dan memerlukan biaya besar tentu ia akan mengambil tabungannya atau menjual rumahnya atau menggunakan modal usahanya; dan ketika sembuh orang ini tidak lagi mempunyai modal untuk bekerja. Oleh sebab itu, penerapan sistem ekonomi pasar bebas sekalipun tetap perlu adanya kebijakan-kebijakan sosial di dalamnya (Wolfgramm dan Läufer, 2009, hal. 131).
 
3.      Dimensi Indonesia: Amanat konstitusi, Peran Negara dan SJSN
Sistem ekonomi pasar sosialis dalam hal ini adalah gagasan yang mengutamakan adanya jaminan-jaminan dari negara atas rakyatnya, terutama dari resiko krisis. Dan jaminan-jaminan ini tidak lain diperlukannya peran dan intervensi negara terhadap pasar dengan batasan-batasan tertentu yang tidak mengubah mekanisme pasar ataupun harga. Intervensi dan campur tangan negara terhadap urusan ekonomi yang paling jelas adalah pembentukan badan penjaminan tersebut yang di Indonesia disebut Badan Pelaksan Jaminanan Sosial (BPJS) (Daeng, 2011, hal. 1197 dikutip dalam Pakpahan dan Sihombing, 2012, hal. 169).
 
Sebelum menyentuh dimensi nasional, di atas itu, kita masih mempunyai struktur global yang masih sangat mempengaruhi hukum di negara ini. Struktur Global itu adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mempunyai Deklarasi HAM pada 10 Desember 1948. Secara spesifik, Penyediaan Jaminan Sosial di negara-negara di Dunia didasari oleh Pasal 25 ayat 1 Deklarasi HAM PBB 1948 yang berisi bahwa “Setiap orang berhak atas taraf hidup yang layak yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, sakit, cacat, janda, lanjut usia atau kurangnya mata pencarian yang lain keadaan di luar kekuasaannya” (http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml#a25 akses pada 12 Desember 2012). Kemudian aturan ini diturunkan kembali di dalam Konvensi ILO Nomor 102 pada tahun 1952 yang berisi tentang “Jaminan sosial adalah perlindungan yang menyediakan untuk masyarakat yang anggotanya melalui serangkaian tindakan publik: untuk mengimbangi ketiadaan atau pengurangan substansial dari penghasilan dari pekerjaan dihasilkan dari berbagai kontinjensi (terutama sakit, hamil, kecelakaan kerja, pengangguran, cacat, usia tua dan kematian pencari nafkah);  untuk memberikan orang dengan perawatan kesehatan; dan untuk memberikan manfaat bagi keluarga dengan anak-anak (Tim SJSN, 2004, hal. 8). Atas dasar regulasi-regulasi dari struktur global yang lebih tinggi yang negara kita, Indonesia ikuti maka negara wajib meratifikasinya dalam bentuk UU. Pada saat proses amandemen UUD 1945, unsur-unsur HAM pun juga dimasukkan ke dalam UUD 1945 di dalam Pasal 28H ayat 3. Isi dari Pasal 28H ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen itu adalah bahwa jaminan sosial adalah hak setiap warga negara. Juga ditegaskan di dalam Pasal 34 ayat 2 yang menyatakan “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan” (MPR,  2002). Atas dasar-dasar yuridis tersebutlah, maka dibuatlah UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang kemudian baru dapat diimplementasikan badan pelaksananya, dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Nasional dan baru akan dimulai pada tahun 2014 secara bertahap.
Diagram 1:

ALUR DIAGRAM LEGALITAS DAN LANDASAN FILOSOFI SJSN


 
 
 
 
 
 
 
Hal yang paling penting dalam pengimplementasian ide-ide ekonomi pasar sosialis, negara kesejahteraan, konvensi-konvensi dan regulasi HAM adalah peran dan posisi negara itu terhadap rakyatnya. dalam kasus ini, Indonesia, sebagai negara mempunyai tujuan menjadi negara kesejahteraan yang tercantum di dalam Pembukaan UUD “...untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...” dan diperkuat oleh Falsafah negara ini, sila ke 5 dari Pancasila, “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”  Karena menurut J.J. Rosseau pembentukan negara lebih dititik-beratkan pada kontrak sosial, dan kontrak sosial itu berupa konstitusi (Surbakti, 2010, hal. 35-38). Sehingga jelas, baik menurut struktur global yang sudah ada hingga peran sejak berdirinya negara mengisyaratkan kewengan untuk adanya intervensi negara, terutama dalam upaya menjamin kesejahteraan sosial.
 
SJSN yang diimplementasikan dalam bentuk BPJS hadir untuk mewaikili Negara dalam mewujudkan hak konstitusional warga Negara atas jaminan sosial dan hak atas pengidupan yang layak. Pemaduan Badan-badan Usaha Milik Negara yang mengurusi jaminan-jaminan sosial yang sebelumnya sudah ada dikarenakan ketidak-efektifan kinerja ke-4 perusahaan tersebut dalam mencakupi dari dimensi-dimensi yang seharusnya dipenuhi (Putri, 2012, hal. 241-243). Di dalam pelaksanaanya, berdasarkan UU No. 24 tahun 2011 Pasal 5 Ayat 2, BPJS sebagai badan pelaksana akan terbagi menjadi 2; BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan (Qomarruddin, 2012, hal. 226, 230; Putri, 2012, hal. 239). Tiga dimensi WHO merumuskan  pencapaian universal coverage dalam pelaksanaan SJSN itu sendiri adalah seberapa besar persentase penduduk yang dijamin; seberapa lengkap pelayanan yang dijamin; serta seberapa besar proporsi biaya langsung yang masih ditanggung oleh  penduduk (Mundiharno, 2012, hal. 210). Negara akan menanggung ketiga dimensi itu dan memenuhinya sesuai dengan kewajibannya. Sementara untuk BPJS Ketenaga-kerjaan negara juga akan menjamin semua warga negaranya, tetapi syarat untuk mendapatkan jaminan hari tua harus membayar premi selama 15 tahun. Nantinya, warga akan mendapatkan manfaat dari iuran atau premi yang sudah dibayarkannya tersebut berupa insentif berkala. Kecuali jika terjadi kecelakaan atau kematian, maka warga tersebut atau ahli warisnya tetap akan mendapatkan insentif berkala, sama seperti kasus pensiun normal. Dan BPJS Ketenaga-kerjaan ini mencakup semua warga negara juga; baik dari sektor formal maupun informal (Putri, 2012, hal. 245; Purwoko, 2012, hal. 8). 
 
4.      Simpulan
Ketidak-pastian dari keberadaan sistem ekonomi pasar yang sudah mendominasi dan membuka sistem perekonomian dunia berasal dari perencanaan yang relatif tidak terpusat dan struktural. Maka wajar saja jika terjadinya krisis akibat terjadinya kegagalan pasar atau Market Failure. Hal ini diperparah oleh saling keterbukaan dan ketergantungannya setiap negara yang ada di dunia yang menyebabkan kelumpuhan tidak akan terjadi pada negara-negara lemah, tetapi juga di negara-negara yang kuat perekonomiannya. Keberadaan Market Failure pastinya membutuhkan intervensi negara  untuk memulihkan keadaan. Maka itu dibutuhkannya sebuah jaminan sosial yang menghimpun dana dalam jumlah besar yang tidak hanya menjamin pekerja, pengusaha dan investor di negara tersebut, tetapi juga dapat menjamin negara tersebut dari krisis. Penerapan SJSN di Indonesia, Pemerintah sebagai Badan Pelaksana, mungkin akan menyebabkan Government Failure atau kegagalan pemerintah di dalam mengelola jaminan sosial tersebut yang disebabkan masalah birokrasi. Tetapi hal ini masih dapat ditangani dengan pengetatan regulasi dan reformasi birokrasi, sebelum pelaksanaan.
 
Daftar Pustaka
Arts, Will dan John Gelissen. 2002. “Three Worlds of Welfare Capitalism or More? A State-of-the-art Report”, dalam Journal of European Social Policy: hal. 137-159
Aryo, Bagus. 2012. Tenggelam Dalam Neoliberalisme? Penetrasi Ideologi Pasar dalam penanganan Kemiskinan. Depok: Kepik
Daeng, Salamuddin. 2011. “Jaminan Sosial dan Posisi Konstitusi UUD 1945” dalam Pakpahan dan Sihombing (2012)
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Penerbit Erlangga
Esping-Andersen, Gosta. 1990. “The Three World of Welfare Capitalism”, dalam Wisnu (2012)
Espring-Anderse, 1994, hal. 172 dikutip dalam Arts dan Gelissen (2002)
Fine, Ben. 2004. “Social Capital and Capitalist Economies”, dalam South Eastern Europe Journal of Economics 1: 17-34
Foucault, M. 2008. “Michel Foucault: The Birth of Biopolitics Lectures at The College de France”, dalam Aryo (2012)
Friedlich, Carl J., 1955. “The Political Thought of Neoliberalism”, dalam Delianov (2006)
Friedman, M. 1982. “Capitalism and Freedom”,  dalam Aryo (2012)
Funk, Lothar. 2009. “The Social Market Economy at Sixty: Path Dependence and Path Changes” dalam Glossner dan Gresgosz (2010)
Gerschenkron, Alexander. 1962. “Economic Backwardness in Historical Perspective: A Book of Essays” dalam Gilpin (2001)
Gilpin, Robert. 2001. Global Polical Economy. New Jersey: Princeton University Press.
Glossner, Christian L. 2009. “the Making of the German Post-War Economy” dalam Glossner dan Gresgosz (2010)
Glossner, Christian L. dan Gregosz, David. 2010. 60 Years of Social Market Economy. Berlin: Konrad-Adenauer-Stiftung e.V.
Gregosz,  David. 2009. “The Financial and Economic Crises: AThreat to the Social Market Economy?” dalam Glossner dan Gresgosz (2010)
Hayek, F. A., 1944. “The Road to Serfdorm”, dalam Aryo (2012)
Hayek, F. A., 1944. “The Road to Serfdorm”, dalam Deliarnov (2006)
Hayek, F. A., 1949. “Individualism and Economic Order”, dalam Aryo (2012)
Hayek, F.A., 1960. “The Constitution of Liberty”, dalam Aryo (2012)
Irfani, Nurfaqih. 2012. “Organisasi Jaminan Sosial di negara Federal Republik Jerman: Suatu Perbandingan”, dalam Journal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2-Juli 2012: hal. 275-298
Kaminsky, Graciela L. dan Schmukler, S. L. 1999. “What Triggers Market Jitters? A Chronicle of the Asian Crisis”, dalam Wisnu (2012)
Lemke, T. 2001. “The Birth of Biopolitics: Michel Foucault’s Lecture at The College de France on Neoliberal Governmentality”, dalam Aryo (2012)
Lesch, Hagen. 2009. “Free Collective Bargaining: Support Column or Crumbling Pillar of the Social Market Economy” dalam Glossner dan Gresgosz (2010)
Lippmann, 1937 dikutip dalam Glossner (2009)
Lorch, Alexander. 2009. “Advancing the Notion of a Social Market Economy: Concepts for a Renewal of Ordo-liberalism from the Perspective of Integra­tive Economic Ethics” dalam Glossner dan Gresgosz (2010)
Magstadt, M. Thomas. 2011. Nation and Government Comparative in Regional Perspectif. Belmony: Wadsworth Publishing Company Inc.
MPR,  2002
Mundiharn. 2012. “Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan”, dalam Journal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2-Juli 2012: hal. 223-238
Nowotny, T., 2002. “Markets, Democracy and Social Capital”, dalam Fine (2004)
Pakpahan, Rudy Hendra dan Sihombing, Eka N. A. M. 2012. “Hadirnya Negara di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.”, dalam Journal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2-Juli 2012: hal. 163-174
Purwoko, 2011 dikutip dalam Shihab (2012)
Purwoko, Bambang. 2012. “Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) terhadap Kegiatan Operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).”, dalam Journal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2-Juli 2012: hal. 255-274
Putri, Asih Eka. 2012. “Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”, dalam Journal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2-Juli 2012: hal. 239-254
Qomarruddin. 2012. “Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Transformasinya Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”, dalam Journal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2-Juli 2012: hal. 223-238
Shihab, Ahmad Nizar. 2012. “Hadirnya Negara di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”, dalam Journal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2-Juli 2012: hal. 175-190
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.
Tim SJSN. 2004. Naskah Akademik Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta.
Veblen, Thorstein. 1915. “Imperial Germany and The Industrial Revolution”  dalam Gilpin (2001)
Watrin, 1980, hal. 486 dikutip dalam Wolfgramm dan Läufer (2009)
Wisnu, Dinna. 2012. Politik Sistem Jaminan Sosial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wolfgramm, Christine dan Läufer, Ines. 2009. “Social Security Systems in the Social Market Economy: Between the Poles of Social Policy and Market Forces?”, dalam Glossner dan Gresgosz (2010)
Wörsdörfer, Manuel. 2009. “On the Economic Ethics of Walter Eucken” dalam Glossner dan Gresgosz (2010)
Zaelani. 2012. Komitmen Pemerintah dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional”, dalam Journal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2-Juli 2012: hal. 191-206
Andrian. “BPJS Ketenagakerjaan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Parsial.” http://www.jamsostek.co.id/content/news.php?id=3247  akses pada 07 Desember 2012
United Nation. “Declaration of Human Right.” http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml#a25 akses pada 12 Desember 2012


 Oleh: Angga Ramdhana Apriliana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar