1.
Pendahuluan
1.1
Latar
Belakang
Iran adalah salah satu penghasil
minyak bumi terbesar di dunia. Iran sendiri adalah penghasil minyak bumi nomer
lima di dunia setelah mengalahkan Uni Emirat Arab, negara sesamanya di Timur
Tengah. Lalu di atasnya ada China, Rusia, Amerika Serikat, dan negara sesamanya
di Timur Tengah, yaitu Arab Saudi. Produksi minyak buminya per hari yaitu
sejumlah 4,13 juta barel per hari. Lalu,
Iran juga berkontribusi sebesar 4,6% untuk dunia. Lalu, Iran mempunyai cadangan
minyak buminya di dalam negerinya yaitu sebesar
137 miliar barel.[1]
Namun, negara yang juga menghasilkan nuklir tersebut ternyata mempunyai masalah
dengan Eropa terkait dengan produksi minyak buminya akibat dari gagalnya suatu
perundingan.
Pada Juni 2012 lalu, Uni Eropa (UE)
secara resmi mengembargo impor minyak
bumi dari Iran yang terhitung secara efektif dimulai tanggal 1 Juli
2012. Kebijakan ini sudah disepakati oleh negara-negara Eropa pada pertemuannya
di Luxemburg.[2]
Dari kebijakan Uni Eropa tersebut, maka negara-negara Eropa tidak akan
mengimpor segala minyak bumi ataupun mentah dari Iran. Walau ada satu negara
yang menentang kebijakan ini, yaitu Yunani dikarenakan negara tersebut sedang
mengalami krisis dan ketergantungan dengan impor minyak dari Iran, kebijakan
Uni Eropa tersebut tetap akan diimplementasikan. Kebijakan ini juga didukung
oleh Amerika Serikat (AS) berupa paket sanksi financial yang telah dikeluarkan
oleh Amerika Serikat lebih dahulu yang walau dikarenakan gagalnya perundingan
tentang nuklir dengan Iran di Moskow.
Kebijakan embargo yang dilakukan oleh
UE ini adalah merupakan langkah atas gagalnya perundingan mengenai pengembangan
proyek nuklir yang dilakukan oleh Iran. Iran yang tidak mau menutup proyek
pengembangan nuklirnya, membuat kesal negara-negara Eropa sehingga Uni Eropa
pun mengambil langkah tersebut sebagai sanksi terhadap Iran. Ditutupnya
pengembangan minyak Iran oleh Uni Eropa dan AS menimbulkan dampak besar bagi
negara-negara pengimpor dan juga dari segi negara pengembangnya. Banyak pula
negara-negara yang menjadi partner UE dan AS yang ikut menghentikan impor
minyak dari Iran. Negara seperti Yunani
yang sedang mengalami krisis, cenderung bergantung pada Iran dari segi impor
minyaknya. Sehingga, ketika UE mengembargo, maka Yunani akan mengalami
kekurangan pasokan minyak bumi.
1.2 Perumusan Masalah
Dari kasus embargo minyak yang
dilakukan Uni Eropa terhadap Iran, penulis mempunyai beberapa pertanyaan yang
merupakan perumusan masalah dari kasus tersebut.
1.
Bagaimana langkah Iran
dalam menghadapi sanksi embargo minyak yang telah dilakukan oleh Uni Eropa?
2.
Bagaimana langkah Uni
Eropa dalam upaya penekanan terhadap Iran dari segi pengembangan?
1.3 Kerangka Teori dan
Relevansi
Penulis akan menggunakan beberapa
pendekatan atau teori dalam menganalisa kasus embargo minyak dari Iran oleh Uni
Eropa ini. Pertama, penulis mengambil teori neo-merkantilism. Neo-merkantilism
menekankan pada perlindungan pada masyarakatnya yang dimana negara menggunakan
alat atau instrumen yang lebih variatif dalam melindungi dan beranggapan bahwa
dunia lebih kompleks dan ditandai adanya ketergantungan antara satu negara
dengan negara yang lainnya lalu juga ditandai dengan adanya globalisasi. Kaitannya
dengan kasus adalah penulis akan menganalisa bagaimana Iran melindungi produksi
dalam negerinya dan menggunakan beberapa cara dengan cara menutup salah satu
jalur perdagangan agar dapat melawan kebijakan embargo yang dikeluarkan oleh
Uni Eropa. Teori ini dipaparkan oleh Balaam dan Dilman.
Kedua, penulis menggunakan pendekatan
realism. Pendekatan realism mengajarkan bahwa di mana kekuasaan dipandang
sebagai hal yang nyata dan menggunakan berbagai alat atau instrumen, seperti
militer ataupun ekonomi dalam melindungi negaranya. Kaitannya dengan kasus
yaitu penulis akan menganalisa bagaimana Uni Eropa maupun Iran saling
melindungi dengan menggunakan instrumen ekonomi di dalamnya. Uni Eropa yang di
dalamnya negara-negara Eropa menggunakan kebijakan embargo dalam melindungi
negara-negara di dalamnya, sedangkan Iran menggunakan beberapa strategi dalam
melindungi negaranya.
Ketiga, penulis menggunakan teori
New-Medievalism atau teori Abad Pertengahan yang baru. New-Medievalism ini
berpandangan bahwa negara itu tidak ada dan diganti oleh sub sub atau bagian
bagian governance kecil di dalam negara dan juga organisasi dari dunia
internasional pun ikut andil. Dengan kata lain, New-Medievalism ini percaya
bahwa konsep negara-bangsa itu jatuh dan negara itu terpecah akibat dari
konflik etnis dan regional dan di waktu yang sama, terdapat-terdapat
aktor-aktor yang ‘non-state’ dan juga yang ‘superstate’ yang ikut campur dalam
menyelesaikan permasalahan suatu negara. Aktor-aktor tersebut berupa perusahaan
multinational, organisasi internasional, dan yang utama organisasi non-negara
atau kata lainnya Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM. Kaitannya dengan kasus
ialah penulis akan menganalisa bagaimana peran Uni Eropa sebagai ‘superstate’
yang berusaha mengontrol pengembangan nuklir Iran sebagai ‘state’ (negara)
sehingga bisa mengembargo impor minyak
dari Iran. Dari teori tersebut dapat dipandang bagaimana peran negara yaitu
Iran dapat jatuh karena ada campur tangan aktor di luar negara yang ikut
mengambil andil dalam kebijakan yang dibuat oleh Iran. Teori ini dipaparkan
oleh Gilpin.
Keempat, teori menggunakan teori Globalisasi. Globalisasi diartikan sebagai
penghapusan sekat-sekat untuk memperlancar arus-arus masuknya barang, uang dan
juga Sumber Daya Manusia (SDM). Selain itu juga diartikan sebagai
pengintegrasian internasional (negara-negara) dalam jaringan-jaringan informasi
serta institusi ekonomi, sosial, dan juga politik yang belum pernah terjadi
sebelumnya pada sejarah dunia. Ada tiga sudut pandang dalam globalisasi yaitu
skeptic, ‘hyperglobalist’, dan
transformatif. Penulis dalam makalah ini mengambil pandangan
transformatif, yang akan dijelaskan pada analisa studi kasus. Kaitannya dengan
kasus ialah penulis akan menganalisakan bagaimana Iran dipaksakan masuk ke
dalam arus globalisasi yang dimana Iran tidak mau begitu saja masuk ke dalam
arus tersebut dikarenakan proyek nuklirnya. Akibatnya, ketika Iran tidak mau
begitu saja masuk ke dalam arus globalisasi tersebut, maka Uni Eropa pun turun
tangan. Teori ini dipaparkan oleh Deliarnov.
Kelima, penulis ambil teori National
Autonomy. Di dalam studi politik internasional, pasti terdapat adanya
pertentangan antara kenaikan ketergantungan negara-negara terhadap ekonomi
internasional atau ekonomi dunia dan juga terdapat adanya keinginan individu
(negara) untuk dapat menjaga indenpendensi perekonomian mereka dan otonomi
politiknya. Di waktu yang sama mereka juga menginginkan adanya keuntungan dari
perdagangan bebas. Kaitannya dengan kasus ialah bagaimana Iran mencoba
independen dari gangguan negara-negara lain terutama Uni Eropa agar mereka
dapat menjaga SDA yang mereka kelola. Tapi di samping itu, Iran juga ingin masuk
ke perdagangan dunia dan bisa mengambil keuntungan.
2. Analisa Studi Kasus
2.1 Langkah Iran dalam
Menghadapi Embargo Uni Eropa
Sebelumnya, penulis ingin membahas beberapa teori yang berkaitan.
Pertama, teori neo-merkantilism. Neo-merkantilism lebih mengarahkan pada
perlindungan pada masyarakat pada suatu negara yang dimana negara menggunakan
alat atau instrumen yang lebih variatif dalam memproteksi dan neo-merkantilisme
beranggapan bahwa dunia lebih rumit dan itu ditandai adanya ketergantungan
secara ekonomi antara satu negara dengan negara yang lainnya lalu juga itu
ditandai dengan adanya globalisasi.[3]
Menurut perspektif penulis, negara pada zaman sekarang lebih menggunakan
instrument ekonomi dibanding militer, sama seperti zaman dahulu. Negara lebih
memajukan industri dalam hal memajukan negara lalu mengekspansifkannya ke
negara-negara lain. Lalu, realism adalah suatu pandangan di mana menekankan
usaha dari negara dalam mencapai keamanan dan biasanya instrumen yang digunakan
adalah militer.[4]
Dalam hal ini, penulis lebih mengaitkannya dengan ekonomi. Negara lebih
menggunakan instrumen yang berupa ekonomi dalam mencapai keamanan nasional.
Keamanan nasional ini menurut pandangan penulis lebih ditekankan pada
kesejahteraan ekonomi masyarakat pada suatu negara. Di sini, alat atau
instrumen yang lainnya yaitu militer diminimalisirkan perannya karena lebih
banyak instrumen ekonomi yang bermain.
Lalu teori National Autonomy dalam studi
hubungan international selalu bertentangan. National Autonomy ialah otonomi
yang ada pada negara dimana negara ada keinginan untuk bermandiri atau
independen untuk dapat menjaga perekonomian mereka dan otonomi politiknya.
Dalam studi hubungan internasional, ini bertentangan dengan konsep
ketergantungan antara satu negara dengan negara lainnya dalam perekonomian
internasional. Di samping itu, negara juga ingin dapat masuk ke dalam arus
perdagangan internasional dengan memajukan industri mereka dan memaksimalkan
keuntungan dari persaingan dalam perdagangan internasional tersebut.[5]
Dalam hal ini, menurut perspektif penulis, setiap negara berhak adanya otonomi
dalam menjaga stabilitas negaranya, namun mereka juga berhak untuk masuk ke
perdagangan internasional. Seperti yang telah disebutkan bahwa dalam hubungan internasional,
negara memang tergantung dengan negara lainnya dalam konteks perekonomian
internasional. Ini memang diperlukan mengingat adanya satu acuan atau patokan
dalam perdagangan internasional. Seperti contoh, patokan seperti harga minyak
dunia, pertukaran uang, penggunaan satu mata uang dalam perdagangan internasional. Hal-hal yang
seperti inilah yang menjadi bukti bahwa perlunya masuk ke dalam perekonomian
internasional. Namun di samping itu, otonomi suatu negara juga diperlukan demi
menjaga stabilitas negara tersebut dan juga bisa berpengaruh dalam perekonomian
internasional.
Apa yang telah diimplementasikan oleh
Uni Eropa mengenai embargo minyak dari Iran, ternyata tidak menyurutkan niat
Iran untuk terus berproduksi dan tetap mencari jalan lain dalam persaingan
ekonomi. Sesuai dengan teori di atas, bahwa proteksi dilakukan apa saja oleh
negara. Ini dapat dilihat dari tindakan Iran melalui Parlemen Iran untuk Komisi
Kebijakan Luar Negeri dan Badan Keamanan Nasional Iran berusaha membuat Undang
Undang mengenai penutupan salah satu selat yaitu selat Hormus.[6]
Selat Hormus adalah salah satu jalur perdagangan minyak mentah yang banyak
dilewati oleh kapal-kapal yang berasal dari negara-negara yang khususnya
bergabung untuk mengembargo minyak mentah dari Iran. Pemblokiran ini bertujuan untuk
membalas kebijakan embargo yang dilancarkan oleh Uni Eropa. Pemblokiran ini
hanya ditujukan bagi negara Eropa yang mendukung embargo minyak mentah bagi
Iran.[7]
Pemblokiran selat Hormuz ini akan
menyebabkan lumpuhnya pengiriman minyak mentah dari negara-negara Eropa atau
negara-negara yang mendukung kebijakan pengembargoan minyak bumi yang biasanya
mereka selalu melakukan perjalanan melalui jalur tersebut yaitu melewati selat
Hormus. Bagi pandangan realist, tentunya akan kelihatan bagaimana Iran mencoba
untuk terus mengembangkan industri minyak mereka dan membalas kebijakan atau
seruan embargo minyak dari Iran. Di sini terlihat juga adanya Iran sebagai
negara mempunyai kuasa atas selat Hormuz. Dengan membuat Undang-Undang mengenai
selat Hormuz dan memasukannya dalam sidang parlemen lalu disahkannya UU
tersebut, maka resmilah sudah pemblokan jalur perdagangan yang biasa dilalui
oleh negara-negara Eropa tersebut, terutama kapal-kapal Tanker yang menuju ke Uni
Eropa. Pandangan realist juga melihat bahwa adanya persaingan mengenai antar
negara dengan ‘superstate’. Iran di sini dipandang berani karena mempunyai
‘power’ lebih atas industri yang sudah mereka kembangkan. Instrumen yang
dipakai oleh Iran di sini adalah instrumen ekonomi. Karena, dalam hal ini, Iran
menutup jalur perdagangan yang biasa digunakan oleh kapal-kapal dari Eropa dan
negara lainnya, sehingga ketika jalur perdagangan tersebut ditutup, maka yang
terjadi adalah terhambatnya proses distribusi yang dilakukan kapal-kapal tanker
yang digunakan oleh negara-negara pengimpor.
Hal ini sesuai dengan teori ‘national
autonomy’ yang dimiliki oleh negara yang telah disebutkan di atas. Disebutkan
bahwa negara mempunyai otoritas independen dalam menjaga atau mempertahankan
stabilitas negaranya, mau itu dari segi politik maupun dari segi ekonomi. Iran
di sini menggunakan ‘national autonomy’-nya dalam upaya membalas kebijakan
embargo yang dilakukan oleh Uni Eropa. ‘National autonomy’ yang dilakukan oleh
Iran ialah menggunakan wilayah kekuasaannya atau territorial negaranya untuk
dijadikan sebagai senjata dalam membendung jalur perekonomian yang biasa
dilewati negara-negara Eropa. Wilayah kekuasaannya tersebut adalah selat Hormus
yang telah disebutkan di atas. Selat Hormus dari segi ekonomi, adalah jalur
perdagangan dunia yang biasa dilewati kapal-kapal negara lain yang mengimpor
minyak dari Iran. Namun, ketika kebijakan embargo yang telah ditetapkan oleh
Eropa keluar, maka ada penutupan salah satu jalur sehingga memperhambat
distribusi. Dalam konteks perekonomian internasional, Iran cukup berkontribusi
dengan membiarkan teritorialnya, yaitu selat Hormus, sebagai jalur perdagangan
dunia. Namun, ketika Uni Eropa berkata lain, yakni menyerukan embargo dari
Iran, maka Iran di sini menggunakan otoritas ekonominya dan politiknya untuk
menggunakan wilayahnya dan menjadikannya senjata untuk membalikan seruan Uni
Eropa tersebut. Akibatnya, distribusi minyak ke Eropa pun terhambat dan
harga-harga minyak bumi akan melonjak. Ini membuktikan bahwa negara pun berhak
menggunakan otoritas wilayahnya dan tidak tinggal diam dalam menghadapi
kebijakan dari ‘superstate’. Walaupun secara perekonomian terhambat, tetapi
Iran mempunyai cara lain dalam menghadapi kebijakan lawannya sebagai negara
yang mandiri. Walau tetap sanksi sudah diarahkan terhadap negara Timur Tengah
tersebut, namun itu tidak berpengaruh terhadap industri minyak mentah dan bumi
dalam negerinya sebagai negara yang independen.
2.2 Langkah Uni Eropa dalam
Penekanan terhadap Iran
Sebelum masuk ke permasalahan,
penulis akan membahas teori yang berkaitan. Kalo dulu ada zaman Medievalism,
alias zaman di mana tidak ada negara tetapi aktor-aktor non-negara dan
individu-individu bergerak sendiri di dalam suatu wilayah, sekarang zaman
Medievalisme itu seperti muncul lagi dengan adanya New-Medievalism. Secara paham,
New-Medievalism berpandangan bahwa negara itu tidak ada, jatuh, hancur dan
pecah karena beberapa konflik yang didalamnya yang disebabkan oleh etnis dan
permasalahan regional. Namun, di waktu yang sama, terdapat juga aktor-aktor
yang non-negara dan aktor-aktor ‘superstate’ yang ikut masuk atau ikut campur
dalam menyelesaikan permasalahan yang ada pada negara tersebut. Aktor-aktor di
luar negara tersebut bisa berupa perusahaan multinasional (Multinational
Corporation atau MNC), organisasi internasional yang tergabung dari
negara-negara, ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM (Non Governmental
Organization atau NGO).[8]
Menurut pandangan penulis, negara tidak bisa banyak berperan dalam
menyelesaikan permasalahan yang ada di dalam masyarakatnya. Selalu ada peran
dari NGO dalam menyelesaikan permasalahannya. Seperti permasalahan HAM, banyak
LSM yang berazaskan menjunjung tinggi HAM. Ketika pemerintah tidak lagi bisa
menangani permasalahan HAM tersebut, maka masyarakat mendatangi LSM yang
berazaskan menjunjung tinggi HAM tersebut lalu mengadukannya kepada LSM
tersebut, lalu dimasukkan aduan tersebut sebagai kasus dan memperjuangkan
masyarakat itu. Seperti masalah lingkungan, pemerintah suatu negara sekarang
ini tidak dapat berbuat banyak mengenai masalah lingkungan yang dikarenakan
adanya investasi di dalamnya atau diperlukan untuk keperluan negara. Di sini
ada banyak LSM yang berlatar belakang peduli lingkungan yang bertindak dan
mendatangi pemerintah untuk mendapat penyelesaian atau jalan keluar dari
permasalahan lingkungan tersebut. LSM ini tidak hanya berasal dari dalam
negeri, namun juga LSM ini juga banyak yang dari luar negeri.
Globalisasi adalah hal yang sedang
terjadi di era modern ini. Globalisasi diartikan sebagai penghilangan
sekat-sekat untuk memperlancar arus-arus masuknya barang, uang dan juga Sumber
Daya Manusia (SDM), dll. Selain itu juga diartikan sebagai pengintegrasian atau
penyatuan internasional individu-individu atau yang dimaksudkan adalah
negara-negara dalam jaringan-jaringan informasi serta institusi ekonomi,
sosial, dan juga politik yang belum pernah terjadi sebelumnya pada sejarah
dunia. Sebagai contoh konkrit dari globalisasi adalah teknologi (High
Technology) di mana semua jaringan dari berbagai negara dapat terintegrasi dan
dapat tersatukan. Ada tiga sudut pandang dalam globalisasi yaitu pertama
skeptic, kedua ‘hyperglobalist’, dan ketiga transformatif. Pertama, pandangan
skeptic berpandangan bahwa globalisasi bukanlah ide baru melainkan sudah ada
dari zaman dahulu atau zaman kuno. Yang dimaksud oleh pandangan skeptic ini
adalah “Jalan Sutera”. Jalan Sutera diyakini oleh pandangan skeptic sebagai
jalur di mana Roma dan China sudah saling berhubungan dari abad ke-14. Bagi
kelompok ‘hyperglobalist’ globalisasi adalah ide yang baru sama sekali.
Globalisasi menurut kelompok ‘hyperglobalist’ baru terjadi sejak abad ke-20
sampai sekarang. Globalisasi ini diyakini telah mengubah dunia secara
signifikan dan radikal dan juga telah menghancurkan kebudayaan-kebudayaan lokal
dari negara-negara.[9]
Lalu bagi pandangan transformatif, yang berpandangan tengah-tengah, berpandangan
bahwa globalisasi itu memang terjadi di masa lalu, namun apa yang terjadi pada
zaman sekarang memang berbeda dari masa-masa sebelumnya. Perdagangan bebas yang
terjadi masa lalu dan masa kini, perbedaannya adalah terletak pada kecepatan
(velocity), intensitas (intensity) dan ekstensitasnya (extensity).[10] Menurut
pandangan penulis, arus globalisasi ini memaksa berbagai negara yang mempunyai
kedaulatan, kemandirian dan berdikari untuk mengikuti arusnya. Seperti mirip
dengan konsep neoliberalisme, bahwa globalisasi meminimalisir peran negara dan
membiarkan perdagangan bebas lepas dari kontrol negara. Peran negara lebih
kecil dan memaksa negara- negara tersebut ikut di dalamnya. Arus globalisasi
ditandai dengan masuknya MNC atau ’multinational corporation’ ke negara. Ini
menandakan bahwa negara harus membuka dan menghilangkan batas-batas negara agar
yang dari luar bisa masuk ke dalam. Seperti contoh, perusahaan seperti Exxon
Mobile, Chevron, dll memaksa Indonesia membuka lahan minyaknya agar mereka
dapat mengeksploitasi minyak di Indonesia dan dapat melakukan aktivitas ekonomi
di dalamnya. Selain itu contoh lain seperti masuknya produk makanan dari luar
seperti McDonald’s, KFC, Burger King dll-nya merupakan juga tanda bahwa
globalisasi masuk dan tidak bisa ditolak oleh setiap individu di dalamnya.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa globalisasi telah memaksa setiap
individu untuk masuk ke dalam arusnya. Seperti layaknya ombak, bahwa negara
dipaksa untuk bermain dengan ombak tersebut, bukan untuk melawannya.
Uni Eropa sebagai ‘superstate’ berusaha
mengontrol beberapa aktivitas pengembangan industri Iran. Industri yang
dimaksud di sini adalah industri pengembangan proyek nuklir. Iran selain salah
satu negara penghasil minyak terbesar di dunia, juga merupakan penghasil dan
pengembang nuklir terbesar di dunia dan ditakuti oleh barat, khususnya. Uni
Eropa dengan didukung oleh Amerika Serikat, menolak pengembangan proyek nuklir
yang dilakukan oleh Iran. Proyek pengembangan nuklir oleh Iran dikhawatirkan
akan menimbulkan perang nuklir yang terjadi antara negara dengan negara. Hal
ini telah disebutkan pada berita di atas tentang alasan Uni Eropa dan Amerika
Serikat melakukan embargo minyak dari Iran.[11]
Hal ini mengakibatkan terganggunya Iran dalam mengekspor minyak ke berbagai
negara karena diganggu oleh pihak Uni Eropa. Hal ini telah dilakukan demi
menekan Iran dalam pengembangan proyek nuklirnya untuk ditutup.[12]
Hal ini membuktikan bahwa Uni Eropa adalah ‘superstate’ yang dari luar negara
yang dapat mengganggu aktivitas independen suatu negara. Iran di sini adalah
negara yang diganggu aktivitas mandiri negaranya. Embargo yang dilakukan oleh
Uni Eropa merupakan langkah ‘superstate’ atau aktor di luar negara yang dapat
ikut campur dalam masalah yang dihadapi oleh suatu negara. Iran yang menjadi
negara mandiri pun terikut campur masalahnya oleh aktor non-negara yang dimana
tidak mempunyai urusan atau kepentingan di dalamnya. Uni Eropa di sini juga
mempunyai dasar yang baik dalam ikut campur tersebut. Uni Eropa lebih
mementingkan keamanan dan kedamaian dunia karena nuklir Iran dikhawatirkan akan
menimbulkan perang yang lebih bahaya dari perang-perang sebelumnya. Iran di
sini merasa terganggu akibat aktivitas aktor di luar negara yang bisa
mengganggu kedaulatan suatu negara. Di sinilah penulis mengaitkan bahwa
New-Medievalism masuk ke dalam permasalahan embargo minyak dari Iran yang
dilakukan oleh Uni Eropa.
Globalisasi juga tidak dapat
dipungkiri. Munculnya arus globalisasi memungkinkan suatu negara untuk masuk ke
dalam arus tersebut. Uni Eropa sebagai ‘superstate’ juga memaksa Iran untuk
memasuki arus mereka sebagai arus globalisasi. Nuklir Iran dipaksa untuk
‘dibagi-bagi’ kepada negara barat agar mereka juga ikut mendapatkan bagian nya.
Barat yang posisinya lebih kuat dari Iran sebagai negara sendiri dan mandiri,
berusaha memaksa Iran untuk masuk ke dalam arus globalisasi agar Iran bisa
lebih terbuka dan dapat membiarkan negara-negara barat lainnya bisa memakai
teknologi proyek nuklir tersebut. Selama ini juga, Iran tetap pada berpendirian
kalau Iran tetap ingin mengembangkan protek nuklirnya untuk keperluan
negaranya. Keperluan ini seperti kebutuhan listrik negara, dll. Hal ini
ditentang karena Iran terkesan tertutup dalam penggunaan nuklirnya tersebut dan
menimbulkan polemic antara Uni Eropa sebagai ‘superstate’ dengan Iran.
Dengan pendekatan transformatif, Iran
memang telah mengembangkan proyek nuklirnya dari zaman dahulu, namun sekarang
sepertinya proyek yang dikembangkan oleh Iran sepertinya menghadapi tantangan
serius. Masuknya Uni Eropa dalam permasalahan proyek nuklir Iran, membuat Iran
harus ‘aware’ dalam pemanfaatnnya. Selain itu, Iran juga dipaksa menjual
nuklirnya kepada dunia agar dunia pun ikut memakainya. Namun Iran yang memiliki
ideologi nasionalis, menggunakan nuklir itu sebagai kebutuhan nasionalnya
seperti kebutuhan pembangkit listrik, pembangkit tenaga, dll-nya. Uni Eropa
sebagai barat pun menganggap bahwa Iran tidak ada keterbukaannya dalam proyek
pengembangan nuklir tersebut. Uni Eropa menggunakan alasan ketidak-transparanan
Iran untuk dapat menyeret Iran untuk masuk ke dalam arus globalisasi atau arus
perdagangan dunia. Sehingga, berbagai cara pun dilakukan oleh barat khususnya
untuk menyeret Iran untuk memasukkan nuklir sebagai barang dagang di
perdagangan internasional. Embargo yang dilakukan oleh Uni Eropa, itu adalah
salah satu contohnya. Dengan penekanan angka ekspor minyak yang dilakukan oleh
Iran, secara teori, seharusnya dapat membuat loyo produksi minyak dan Iran pun
mengibarkan bendera putih sebagai tanda nyerah terhadap Uni Eropa. Selain itu,
seruan terhadap negara-negara pengimpor minyak bumi di Eropa pun merupakan
langkah di mana tidak akan lakunya minyak bumi dari Iran. Sehingga, Iran akan
kehilangan pasar di Eropa dan membuat Iran mengalami kerugian akibat produksi
berlebih atau dengan kata lain ada penggelembungan produksi minyak (bubbling).
Dukungan terhadap sang ‘superstate’ pun ada dari negara adidaya Amerika
Serikat. Amerika Serikat menerapkan sanksi terhadap negara-negara pendukungnya
yang mencoba mengimpor minyak dari Iran. Sanksi itu bisa merupakan sanksi
sosial di mana negara tersebut tidak mendapat bantuan lagi dari Amerika
Serikat. Bantuan tersebut dapat berupa bantuan dana ataupun bantuan militer.
Sehingga, tidak ada lagi pembelian yang dilakukan oleh negara-negara
pendukungnya kepada Iran sehingga Iran pun akan mengalami kerugian yang sangat
besar. Di sinilah pengaruh globalisasi itu sangat besar dan ‘powerful’.
Keterbukaan harus dilakukan oleh Iran jika ingin dilepasnya sanksi embargo
tersebut. Iran seharusnya dapat masuk ke dalam arus globalisasi dengan
menjualnya ke negara barat dan dapat membagikannya ke negara-negara barat. Iran
dipaksa untuk masuk ke globalisasi agar mereka menuruti kemauan Uni Eropa yaitu
menghentikan proyek nuklirnya yang bersifat tidak terbuka dan dapat menjualnya
kepada negara-negara barat tersebut. Selain itu, keterbukaan terhadap negara
barat juga diperlukan agar arus globalisasi dapat masuk ke dalam Iran. Selain
itu, negara barat pun bisa masuk ke dalam Iran dan memakainya secara
bersama-sama.
3. Kesimpulan
Kesimpulan dari penulis ialah
bagaimana faktor ekonomi sangat melekat di dalam embargo minyak dari Iran yang
dilakukan oleh Uni Eropa. Banyaknya faktor seperti faktor proyek pengembangan
nuklir pun menjadi penyebab akan kebutuhan negara-negara barat akan nuklir.
Selain itu, arus globalisasi ini pun memaksa Iran untuk membuka pintu
perdagangan nya di negaranya. Keterbukaan harusnya bisa dilakukan oleh Iran
agar Iran melepaskan diri dari cengkrama embargo yang dilakukan oleh Uni Eropa.
Uni Eropa sebagai ‘superstate’ bisa mengajak individu-individu (negara-negara)
untuk tidak mengimpor minyak dari Iran. Pengaruh yang dilakukan sang
‘superstate’ membuktikan bahwa negara bisa dikontrol oleh aktor non negara. Namun
bukan Iran namanya kalo tidak mandiri, berdikari dan negara independen. Iran
pun tidak tinggal diam. Ditutupnya selat Hormus, yang merupakan jalur
perdagangan dunia, merupakan langkah perlawanan yang dilakukan oleh Iran untuk
melawan kebijakan embargo Uni Eropa. Iran juga tetap melakukan produksi
minyaknya terus menerus dan mencari pasar baru di benua-benua atau
negara-negara lainnya. Kecaman terhadap barat pun datang juga untuk mendukung
Iran. Iran juga mengancam akan menutup jalur tersebut yaitu selat Hormus jika
Uni Eropa dapat mencabut kebijakan embargo tersebut. Iran pun juga mengancam
balik akan kerugian yang akan dialami oleh Eropa, Mengingat Eropa sedang
mengalami krisis ekonomi.
[1] Angga Aliya, “10 Negara Produsen Minyak Terbesar di Dunia”, Detik,
diakses dari http://finance.detik.com/read/2012/07/26/082327/1975063/1034/7/10-negara-produsen-minyak-terbesar-di-dunia#bigpic
pada tanggal 21 Januari 2013 pukul 16.00
[2] Adi Wicaksono, “Uni Eropa Embargo Minyak Mentah Iran”, Republika
Online, diakses dari http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/06/27/m69g12-uni-eropa-embargo-minyak-mentah-iran
pada tanggal 21 Januari 2013 pukul 16.10
[3] David N. Balaam & Dillman Bradford, “Introduction to International Political Economy”, Pearson, Boston,
2011, hlm. 57
[4] David N. Balaam & Dillman Bradford, loc. cit.
[5] Robert Gilpin, “Global Political Economy : Understanding The
International Economic Order”, Princeton University Press, New Jersey, 2001,
hlm. 80
[6] Yesi Syelvia, “Embargo minyak, Iran segera tutup Selat Hormus”,
okezone, diakses dari http://jakarta.okezone.com/read/2012/07/03/468/657888/embargo-minyak-iran-segera-tutup-selat-hormus
pada tanggal 21 Januari 2013 pukul 18.00
[7] Kistyarini, “Selat Hormuz Tertutup untuk Tanker Tujuan UE” Kompas
online, diakses dari http://internasional.kompas.com/read/2012/07/03/07191279/Selat.Hormuz.Tertutup.untuk.Tanker.Tujuan.UE
pada tangga; 21 Januari 2013 pukul 18.20
[8] Robert Gilpin, “Global Political Economy : Understanding The
International Economic Order”, Princeton University Press, New Jersey, 2001,
hlm. 390.
[9] Kenichi Ohmae, ”The End of
The Nation State”, Simon and Schuster Inc., New York, 1995.
[10] Deliarnov, ”Ekonomi Politik”,
Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006, hlm. 201-202.
[11] Ibid. http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/06/27/m69g12-uni-eropa-embargo-minyak-mentah-iran
pada 21 Januari 2013 pukul 18.30
[12] Kunto Wibisono, “Embargo Uni Eropa Ganggu Ekspor Minyak Iran”,
diakses dari http://www.antaranews.com/berita/1340695857/embargo-ue-ganggu-ekspor-minyak-iran
pada tanggal 21 Januari 2013 pukul 21.00
Daftar Pustaka
Balaam, David N.; Bradford, Dillman. 2011. Introduction to International Political Economy. Boston: Pearson.
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Gilpin, Robert. 2001. Global Political Economy : Understanding The International Economic Order. New Jersey: Princeton University Press.
Ohmae, Kenichi. 1995. The End of The Nation State. New York: Simon and Schuster Inc.