Halaman

Jumat, 14 Juni 2013

Dampak Liberalisasi Sektor Minyak Bumi Bagi Pertamina sebagai Perusahaan Nasional dan Kesejahteraan Rakyat

Abstrak
Artikel ini bertujuan menganalisis apa yang menyebabkan negara Indonesia yang kaya akan sumber daya minyak tetapi bisa terjadi krisis minyak bumi. Beberapa penyebab Indonesia mengalami krisis bumi. Pertama, akibat adanya dominasi asing terhadap sector minyak bumi Indonesia, Kedua lemahnya peranan pemerintah sebagai institusi dalam membuat kebijakan tentang pengelolaan minyak bumi, selain peranan negara yang masih lemah penentuan kebijakan pengelolaan minyak hanya berorientasi pada kapitalis. Ketiga, semakin meningkatnya konsumsi minyak dalam negeri merupakan faktor penyebab terjadinya krisis minyak bumi di Indonesia. Tulisan ini menggunakan pendekatan teori dependensia, peran hukum, peran negara, kapitalisme, liberalisasi, globalisasi, ekonomi kelembagaan, strukturalis, homo economicus, pasar bebas, mekanisme pasar, dan neoliberal.
Keyword: krisis minyak Indonesia, peranan pemerintah, dominasi asing.

1.0. Pendahuluan 
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan mineral terlengkap di dunia (Free Trade Watch, 2012). Mineral yang terkandung di Indonesia salah satunya adalah minyak dan gas bumi.  Kandungan minyak dan gas bumi banyak terdapat di hampir setiap pulau di Indonesia. Kemudian, ladang minyak terbesar di Asia Tenggara berada di pulau Sumatera, tepatnya di Minas Riau (Ilham, 2012). Dengan kekayaan sumber daya alam mineral yang terkandung di dalamnya, sudah seharusnya menjadikan negara Indonesia ini kaya, seperti negara-negara Arab penghasil minyak. Akan tetapi, meskipun Indonesia dianggap memiliki sumber daya mineral yang lengkap dan kaya akan sumber minyak dan gas, negara ini masih belum bisa dikategorikan sebagai negara maju. Hal tersebut dikarenakan negara ini masih berfokus pada ekspor bahan mentah kepada negara-negara industry konsumen minyak dan gas. karena kaya akan sumber daya migas, menyebabkan sebagian besar APBN negara sangat bergantung pada sektor migas. Selain itu Indonesia juga  masih belum mampu dan percaya diri dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya (Irman Guzman, 2012/okezone.com).
Kondisi alam indonesia yang sangat kaya akan sumber daya alam, telah membuat asing tergiur untuk mengeksploitasi bumi Indonesia (Febriani, maret 2012). Dengan begitu mulai muncullah dominasi negara asing untuk menguasai blok minyak di Indonesia yang kemudian akan dijual kepada negara-negara konsumen minyak seperti Jepang, AS, Inggris dan negara-negara industri lainnya (Aswab Mahasin, 1976). Kemunculan dominasi asing dalam pengelolaan minyak sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda (Ilham, Januari 2012) yang kemudian setelah Indonesia merdeka diperkuat kembali dengan kebijakan pemerintah yang pro terhadap asing, dan beberapa tahun kemudian mulai dibentuk suatu badan pelaksana minyak dan gas bumi atau biasa dikenal dengan BP migas. Dalam sebuah jurnal (citizenjurnalism.com) SBY mengatakan bahwa keberadaan BP Migas merujuk pada UU Nomor 22 tahun 2001, di era Presiden Megawati. Merujuk pada UU tersebut, BP Migas terbentuk dengan tujuan menghindari benturan kepentingan. Awalnya kerjasama hulu migas ditangani oleh satu elemen di bawah Pertamina. Akan tetapi keberadaan BP migas yang semula untuk menghindari bentrokan kepentingan antar pegusaha, menjadi sangat bertentangan dengan konstitusi negara, berdasarkan berita dari SHNews.com, november 2012 Mahkamah Konstitusi membatalkan keberadaan BP Migas karena pengelolaan migas bertentangan dengan konstitusi. Karena kuasa pertambangan dan energi berada di tangan asing yang seharusnya dikuasai negara melalui BUMN.
Masalah sumber daya alam Indonesia dalam sector migas tidak hanya terfokus pada pengelolaannya saja, akan tetapi perlu adanya deregulasi kebijakan terkait peraturan perundang-undangan tentang migas. Karena  UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang selama ini berlaku bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat (jakartagreater.com), selain tidak memiliki hukum yang menggikat undang-undang tersebut lebih memihak kepada perusahaan asing dan banyak merugikan negara. Kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada asing dapat dilihat dari beberapa data tentang pembagian wilayah blok minyak yang sebagian besar di kuasai oleh perusahaan asal MNC, misalnya saja ladang minyak terbesar di Asia tenggara yang terletak di Riau dikuasai oleh Chevron atau Caltex, kemudian ladang minyak di blok cepu di kuasai oleh Exxonmobil (Free Trade Watch, Januari 2012) dan perusahaan penghasil minyak terbesar di negeri ini dipegang oleh perusahaan asing, yaitu Exxonmobil.

1.1. Pemetaan Masalah
Masalah sumber daya minyak di Indonesia tidak hanya sebatas penguasaan blok minyak yang dikelola oleh perusahaan asing saja, akan tetapi juga berhubungan dengan peran pemerintah dalam membuat suatu kebijakan tentang pengeloaan perminyakan di Indonesia dan golongan kepentinga. Berdasarkan permasalahan yang terdapat dalam proses pengelolaan minyak di Indonesia, maka terbentuklah suatu permasalahan berikut.
1. Mengapa pengelolaan minyak di Indonesia didominasi perusahaan asing?
2. Bagaimana peran pemerintah dalam membuat kebijakan tentang pengelolaan minyak di Indonesia?
3. Apa dampak yang ditimbulkan dari dominasi asing terhadap perkembangan perusahaan minyak nasional/pertamina dan masyarakat di Indonesia?

2.0. Kerangka Teori
Teori kapitalisme menurut menurut Friedman mengatakan bahwa perusahaan atau bisinis hanya memiliki satu tanggung jawab saja yaitu menggunakan seluruh sumber daya yang dimiliki perusahaan tersebut untuk memperoleh laba yang sebanyak-banyaknya. Mereka tidak memperhatikan apakah dampak yang terjadi dari pengeksploitasian sumber daya perusahaan sendiri dalam memperoleh laba yang sebesar-besarnya dengan modal yang minim (Deliarnov, 165: 2005)
Menurut Adam Smith, pasar akan maju apabila campur tangan dari pemerintah sangat minim. Karena campur tangan pemerintah biasanya tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan yang diwakilinya, jadi cendrung tidak netral dalam membuat suatu kebijakan. Dengan begitu kegagalan pasar tebentuk akibat dari terlalu banyaknya campur tangan pemerintah dalam perekonomian (Deliarnov, 2005)
Akan tetapi peran pemerintah dalam mengatasi kegagalan pasar yang terjadi disuatu negara sangat diperlukan. Karena pemerintah merupakan suatu institusi yang kuat dan memiliki wewenang yang tinggi dalam menentukan arah kebijakan ekonomi yang terjadi disuatu negara. Bagi Keynes dengan adanya campur tangan pemerintah juga secara tidak langsung dapat melindungi perekonomian disuatu negara apabila belum siap untuk menjalani perdagangan bebas antar negara. Karena pemerintah dapat membuat kebijakan terkait pengembangan ekonomi kreatif dalam negeri yang mampu bersaing dengan pasaran internasional (Soule, 171:1994)
Akan tetapi dengan adanya peranan pemerintah dalam penentuan kebijakan ekonomi akan membuat peranan pemerintah semakin banyak dan akan membatasi kreatifitas individu. Hayek berpendapat  apabila setiap individu diberikan kebebasan untuk ikut serta dalam penentuan harga pasar akan terjadi optimalisasi alokasi modal. Dengan begitu akan tercipta keseimbangan pasar, para pakar ekonom pendukung neoliberal juga mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk homo economicus, yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda, maka untuk mengatasi persoalan manusia maka pasar harus dijadikan prinsip dasar manusia (Deliarnov, 2005). 
Manusia sebagai makhluk homo economicus berarti bahwa pada dasarnya manusia sebagai makhluk ekonomi yang selalu berusaha untuk mencari cara dalam memenuhi kebutuhan hidupnya semaksimal mungkin dengan memanfaatkan sumber daya yang ada (waluyo, 2008). Tindakan yang dilakukan pemerintah Indonesia terkait kebijakan terhadap perusahaan migas dalam negeri merupakan ciri dari homo economicus.
Globalisasi dalam perspektif neoliberal ialah menempatkan pandangannya bahwa kemajuan dunia harus didapatkan dengan memposisikan sistem pasar bebas yang tidak terbatas sebagai sumber tatanan, akibat dari pengaruh neolib tersebutlah muncul perdagangan bebas. Perdagangan bebas berkaitan dengan kegiatan ekspor impor dalam teori keseimbangan ekonomi (Rosyidi, 248 2011). Ekspor terjadi karena suatu negara mempunyai barang yang berlebih didalam negeri, sehingga untuk mencegah terjadinya fluktuasi barang maka barang tersebut di ekspor ke negara yang membutuhkan, dan kemudian kegiatan impor ialah dimana suatu negara membutuhkan barang yang tidak di produksi di dalam negeri, maka menyebabkan pemerintah harus melakukan impor barang dari negara penghasil barang yang dibutuhkan. 
Akibat dari adanya proses globalisasi yang menyebabkan munculnya kegiatan ekspor impor barang antar negara menyebabkan adanya ketergantungan suatu negara terhadap negara lain. teori ketergantungan ini diungkapkan oleh 4 tokoh yaitu Paul Baran yang lebih membicarakan tentang peranan MNC dalam pembangunan  di negara dunia ketiga atau negara berkembang. Andre Gunder Frank berbicara tentang negara satelit, yaitu bagaimana ketergantungan antara negara maju kepada negara berkembang bagaikan sebuah satelit yang selalu mengiringi planet kemanapun berputar, hal ini dianalogikan seperti negara berkembang yang saling  ketergantungan dengan negara maju. Samir Amin berbicara tentang negara inti, maksudnya disini ialah negara maju sebagai negara inti dan negara pinggiran, dimana negara inti yang dimaksud Amin ialah negara maju yang memiliki super power dikelilingi oleh negara berkembang yang dalam tahap proses pembangunan negara. Dan yang terkahir Dos Santos Cardoso yang berbicara tentang ketergantungan negara baru dengan negara yang menjajahnya, ketergantungan ini sebagai upaya pembangunan negara yang baru merdeka yang membutuhkan bantuan dari negara yang pernah menjajahnya, seperti Indonesia dengan Belanda pada zaman kolonialisasi (Aminudin, 2009).
Selain teori ketergantungan (dependensia) yang diungkapkan oleh ke empat tokoh diatas, masalah yang ada di Indonesia terkait pengelolaan migas dan ketergantungannya terhadap MNC dalam pembangunan dapat dilihat dari teori imperialism menurut Lenin yang menganggap bahwa keterbelakangan negara berkembang disebabkan adanya ekspansi kapitalisme di negara berkembang tersebut.  ekspansi kapitalisme tersebut bisa jadi muncul setelah perang dunia ke-II lewat kolonialisme atau imperialisme (Damanhuri, 2010). Imperialism merupakan akibat dari pembangunan kapitalisme, teori ini dikemukakan oleh Schumpeter dalam karangannya yang berjudul “Sosiologi Imperialisme”. Adanya paham imperialism menyebabkan negara-negara maju cendrung melakukan peperangan dan penaklukan terhadap negara berkembang untuk dapat mempertahankan eksistensi negaranya dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di negara berkembang (Ku Ahmad, 2004).
Munculnya kapitalis dinegara-negara berkembang disebabkan adanya paham liberalism, yang mengakibatkan terbentuknya sistem liberal. Menurut Marx, sistem liberal adalah sistem yang sudah busuk dari dalam, sehingga pada akhirnya akan mengalami kehancuran  dari dalam sendiri, sehingga kaum sosialis sangat menentang adanya kapitalisme (Damanhuri, 41). 
Dalam permasalahan migas di Indonesia, tidak terlepas juga dari menjamurnya pengaruh neoliberal, neoliberal sendiri merupakan penyempurnaan dari teori liberal sendiri, Perbedaan antara liberal dan neolib ialah pada pembentukan harga pasar yang tidak sempurna. Bila pada konsep liberal sangat menentang adanya campur tangan pemerintah pada mekanisme pasar, tetapi dalam konsep neolib mendukung adanya campur tanngan pemerintah dalam pembentukan harga pasar dengan penerbitan peraturan perundang-undangan agar mekanisme pasar terbentuk tanpa disertai faktor kelembagaan (Damanhuri, 24).
Marx sebagai pencetus teori radikal menganggap bahwa adanya imperialism dan neo-imperialisme juga mempengaruhi terhambatnya pembangunan di Indonesia termasuk munculnya permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan migas. Imperialism menganggap bahwa keterbelakangan yang terjadi di negara sedang berkembang disebabkan karena adanya ekspansi kapitalisme dinegara tersebut. Ekspansi yang dilakukan biasanya berbentuk imperialism atau kolonialisme (Damanhuri, 2011).
Untuk dapat mengejar ketertinggalan Indonesia terhadap negara maju, Indonesia harus ikut serta dalam mekanisme pasar dunia. Mekanisme dunia menurut edi swarsono ialah kemampuan ekonomi seseorang terhadap produk yang diperjual belikan, bila seseorang tidak memiliki kemampuan ekonomi akan tersingkir dari mekanisme pasar yang ada (Deliarnov, 2006). 
Selain harus ikut serta dalam mekanisme pasar, kelembagaan ekonomi di Indonesia juga harus diperbaiki, karena kelembagaan yang ada berfungsi sebagai pemberi aturan dan pemberian hak dengan tegas member naungan dan sanksi terhadap individu-individu atau kelompok-kelompok dalam menentukan pilihannya. Teori ekonomi kelembagaan juga telah dikembangakan oleh Veblen, Veblen memandang bahwa pengaruh keadaan dan lingkungan sangat besar terhadap perilaku ekonomi masyarakat, karena struktur politik dan sosial yang tidak mendukung dapat memblokir dan menimbulkan distorsi proses ekonomi. Selain itu perilaku masyarakat pun bisa berubah-ubah sesuai dengan keadaan dan lingkungan. Keadaan dan lingkungan inilah yang dianggap Veblen sebagai institusi, institusi disini diartikan sebagai norma-norma, nilai-nilai, tradisi, dan budaya (Deliarnov, 2006).
Bagi North institusi adalah peraturan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, dari peraturan tersebut serta norma-norma perilaku yang membentuk interaksi antar manusia secara berulang-ulang. North mengartikan bahwa institusi adalah peratuan permainan, sedangkan organisasi adalah tempat bermain bagi sekumpulan orang. Dalam sebuah dunia ekonomi dan bisnis terdapat aturan main yang mengkoordiasikan aktivitas-aktivitas ekonomi, pasar hanya dapat bekerja dengan efektif bila ditopang oleh institusi yang tepat, dengan adanya institusi akan mengurangi unsure ketidakpastian, karena dengan adanya institusi. Jadi north lebih memandang institusi sebagai peran hukum yang baik dapat menyelesaikan masalah koordinasi dan produksi, sebab masalah ini berkaitan dengan motivasi para pelaku ekonomi dan kemampuan pemain ekonomi dan bisnis dalam menjinakkan lingkungan (Deliarnov, 2006).
3.0. Awal Munculnya Dominasi Perusahaan Asing terhadap Pengelolaan Sumber Migas di Indonesia 

Adanya dominasi asing terhadap pengelolaan sumber minyak di Indonesia di awali sejak zaman colonial Belanda (sumber). Dimana pada zaman colonial sumber daya alam Indonesia dikeruk oleh belanda untuk menutupi krisis ekonomi yang terjadi di belanda akibat perang dunia ke-II. Pada saat itu perusahaan minyak dari Chevron  yang masih bernama Socal yang kemudian berganti nama menjadi Caltex mengirimkan beberapa ahlinya untuk mengadakan survey  seismic dan pengeboran di Sumatera. Pada masa inilah perusahaan Amerika menemukan ladang minyak yang sangat komersil di Riau. Dengan ditemukannya ladang minyak di Sumatera inilah yang menjadi kunci utama bagi kegiatan bisnis Caltex di Indonesia. Karena ladang minyak yang ditemukan di riau merupakan ladang minyak terbesar di Asia Tenggara, dan jenis minyak dari ladang ini merupakan salah satu yang terbaik di dunia (Ilham, 21:2012). 

Adanya ekspansi terhadap sumber daya minyak di Indonesia pada zaman colonial merupakan penyebab keterbelakangan Indonesia saat ini sebagai negara berkembang, seperti yang diungkapkan oleh Marx dalam teori radikal yang mengungkapkan keterbelakangan di negara berkembang sebagai akibat adanya imperialism atau kolonialisme. Akibat dari kolonialisme masa lalu, yang berdampak panjang hingga saat ini. 
Kemudian, setelah Indonesia merdeka pengelolaan minyak diatur oleh negara dan dikuasai sepenuhnya oleh negara berdasarkan undang-undang pasal 33 yang menyatakan bahwa “bumi, air, dan kekayaan negara yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (UUD 1945, 8:2006). Sehingga pengelolaan minyak pada masa pemerintahan Soekarno dipegang oleh putera bangsa. Pada saat itu pemerintah mendirikan tiga buah perusahaan migas yang bernama Permigan, Permina dan Pertamin. Tetapi masih memberikan izin kelola terhadap perusahaan asing, akan tetapi perusahaan asing tersebut harus tetap mengakui kedaulatan Indonesia, dan harus mengikuti aturan main pemerintah Indonesia pada saat itu, dengan begitu kedaulatan bangsa sangat kuat sehingga pihak asing tidak dapat mengekploitasi sumber daya alam Indonesia secara semena-mena seperti sekarang (Sumiarto, wartapos 2012). Dalam hal ini, pemerintah di zaman Soekarno berperan sebagaimana teori yang diungkapkan oleh Keynes tetang peranan negara yang ikut campur dalam sistem perekonomian.
Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi perusahaan asing yang ada di Indonesia, karena sadar betul sebagai negara berkembang bila ingin mengalami kemajuan ekonomi harus melepaskan diri dari tangan penjajah dan mulai mandiri dalam mengelola perekonomian nasional agar dapat meningkat. Hal tersebut berkaitan dengan teori ketergantungan yang diungkapkan oleh Frank, negara berkembang harus melepaskan diri dari negara maju bila ingin berkembang, karena ketergantungan terhadap negara maju hanya akan mengakibatkan kedaulatan sebuah negara lemah, dan sebuah bangsa juga tidak akan memiliki identitas yang kuat apabila masih ketergantungan dengan negara maju, atau negara yang pernah menjajahnya. Maka dengan alasan itu Soekarno memilih untuk menasionalisasi perusahaan asing agar tidak bergantung terus dengan negara maju. 
Akan tetapi nasionalisasi perusahaan asing di zaman presiden Soekarno banyak mengalami kendala, karena kurangnya manajemen yang baik. Pada saat itu kendali manajemen perusahaan Belanda yang diasionalisasi di pegang oleh militer. Dengan begitu peran milliter semakin meluas, sehingga menyebabkan kendali masyarakat terhadap ekonomi kurang, hal tersebut menyebabkan terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh militer yang memegang kekuasaan untuk memimpin perusahaan negara, sehingga meyebabkan kepercyaan masyarakat terhadap militer semakin memudar (Hariyono, 2007). Tindakan militer yang seperti itu disebabkan karena sifat dasar manusia sebagai makhluk homo economicus yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dari kelangkaan yang terjadi.
Meskipun nasionalisasi perusahaan yang dilakukan di era presiden Soekarno dianggap baik oleh sebagian pakar ekonom kerakyatan Indonesia, akan tetapi masih banyak kekurangan dalam sistem ekonomi ini, karena manajemen dalam sistem ekonomi dikendalikan oleh orang yang tidak memiliki ahli dalam bidang ekonomi, sehingga menyebabkan menjamurnya praktek korupsi dikalangan militer (Hariyono, 2007). Sehingga sistem ekonomi ini tidak lagi digunakan di era pemerintahan presiden Soeharto.
Bila pada pemerintahan Soekarno perekonomian Indonesia terutama dalam sector migas lebih bersifat nasionalis, berbeda dengan pemerintahan Soeharto. Pada masa transisi dari pemerintahan Soekarno ke Soeharto, Soeharto memperkuat posisiya untuk memperoleh dukungan luar negeri. Dengan memfokuskan pada pembangunan dengan harapan adanya peningkatan dan perbaikan ekonomi di Indonesia, selain itu juga untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya (Hariyono, 2006). Soeharto melakukan pembangunan di Indonesia dengan melakukan kerjasama luar negeri dengan alasan mencapai stabilitas politik dalam negeri. Akibat kerjasama luar negeri yang dilakukan Soeharto, Indonesia kembali masuk menjadi anggota IMF dan harus memenuhi persyaratan yang diberikan oleh IMF bila ingin berhutang dengan IMF, persyaratannya ialah pertama, Indonesia harus melunasi hutangnya terdahulu dengan IMF pada masa lalu sebesar S$ 55 juta. Kedua, Indonesia juga harus mengganti kerugian Belanda akibat nasionalisasi sector ekonomi pada masa Soekarno sebesar $ 157 juta kedua persyaratan tersebut disepakati pemerintah Indonesia dengan cara mencicil selama 30 tahun. Ketiga, Indonesia terbuka bagi investasi asing, kebijakan politik pintu terbuka tersebut ditandai dnegan terbitnya UU. No I tahun 1967 tentang penanaman modal asing yang memberikan banyak  insentif (Hariyono,312: 2006).
Akibat dari proses pembangunan dan utang luar negeri yang semakin membengkak di rezim Soeharto. Kemudian, pemerintah Indonesia mulai melakukan mengekspor sumber minyak mentah secara besar-besaran ke negara-negara industry seperti Amerika, Jepang, dan negara industry besar lainnya untuk membayar hutang kepada IMF (sumber). Dengan kekayaan alam Indonesia terutama dalam sumber daya energy menyebabkan pihak asing banyak yang tergiur untuk melakukan investasi di Indonesia dalam sector minyak bumi dan gas. bahkan banyak perusahaan asing yang berdiri di Indonesia dan mengelola beberapa kilang minyak Indonesia, bahkan perusahaan asing tersebut menjadi perusahaan terbesar di Indonesia bahkan di dunia, perusahaan tersebut diantaranya ada Exxonmobil dan Chevron (Daeng, Maret: 2012).
Akibat dari globalisasi yang mengharuskan Indonesia membuka diri terhadap dunia luar dan investasi asing, menyebabkan semakin menjamurnya perusahaan migas asing di Indonesia, yang kemudian pemerintah Indonesia meliberalisasi perusahaan minyak nasional dengan mengganti nama dan bentuk perusahaan menjadi pertamina dalam bentuk perseroan (Morales, 164:2007). Dengan liberalisasi yang dilakukan pemerintah tersebut menyebabkan pertamina dan perusahaan minyak yang lain mempunyai kedudukan yang sama dalam hal pengelolaan minyak. Bila pada awalnya pertamina mempunyai andil yang besar dalam pengelolaan minyak, kini status pertamina disamakan dengan perusahaan asing lainnya, sehingga harus ikut dalam tender bila ingin mengelola minyak Indonesia. Akibatnya pertamina sebagai perusahaan nasional seringkali kalah tender dengan perusahaan asing, sehingga hampir sebagian besar kini pengelolaan minyak bumi dipegang oleh perusahaan asing atau MNC dan menyebabkan pemerintah kehilangan sejumlah besar pendapatan negara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat (Morales, 163:2007). Bila melihat masalah yang terjadi pada pertamina, pertamina tidak mampu bersaing dan ikut serta dalam mekanisme pasar global, karena didalam negeri sendiri pun Indonesia tersingkir. 
Meskipun dengan meliberalisasi sector migas, Indonesia mendapat keuntungan dari banyaknya investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, akan tetapi Akibat dari adanya liberalisasi dalam sector migas, dampaknya bagi Indonesia kini semakin kekurangan cadangan minyak dalam negeri (Buwono, 2007). Sehingga menyebabkan pemerintah Indonesia yang pada awalnya sebagai negara pengekspor minyak, kini menjadi negara pengimpor minyak (Soempeno, 2009). Sehingga menyebabkan Indonesia sangat bergantung pada negara-negara maju yang memproduksi minyak seperti Amerika. Seperti yang telah diiungkapkan oleh Paul Baran dalam teori dependensia, bahwa negara maju melalui MNC mengambil alih perekonomian yang ada di negara berkembang, dan akan terus mengeruk sumber daya alam yang ada di negara berkembang untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya bagi perusahaannya (Budiman, 2006). 
Perusahaan asing yang ada di Indonesia layaknya pemilik modal atau kapitalis yang mengeksploitasi sumber daya yang ada untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sedikit tanpa memperhatikan keadaan lingkungan sekitar. Karena perusahaan asing yang ada di Indonesia kebanyakan tidak memperhatikan lingkungan dalam proses produksinya, hanya berorientasi pada profit saja.

3.1. Peran Pemerintah Dalam Membuat Kebijakan Tentang Pengelolaan Minyak di Indonesia


Menjamurnya perusahaan asing /MNC di Indonesia tidak terlepas dari peranan pemerintah sebagai institusi tertinggi dalam memberikan aturan proses pengelolaan minyak terhadap para investor asing. Dalam hal ini kedaulatan pemerintah Indonesia masih sangat lemah karena setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah masih belum sesuai dengan UUD 1945 yang megutamakan kepentingan rakyat diatas segalanya (Zulkifli, 2009), selama ini dalam pengambilan keputusan pemerintah masih belum tegas, dan masih dipengaruhi oleh self interest dari badan pemerintah sendiri, sehingga seringkali mengabaikan kesejahteraan bagi rakyat (hukum.kompasiana.com, 2011).
Padahal dalam pandangan Keynes, peran pemerintah sebagai actor negara sangat diperlukan dalam melindungi ekonomi dan usaha dalam negeri terhadap perusahaan asing di negara berkembang yang belum mampu bersaing secara bebas dalam pasar global (Masjaya, 2005). Peranan pemerintah dalam membuat suatu kebijakan juga seharusnya lebih melindungi perekonomian atau perusahaan nasional dalam negeri, karena peran dari negara ialah melindungi negara dari intervensi negara asing baik dalam sector ekonomi, pertahanan maupun politik. Akan tetapi, teori Keynes tentang peranan pemerintah tidak dapat direalisasikan di Indonesia. Melihat dari mental para pemerintah Indonesia yang masih kuat dengan tindakan korupsi dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kemakmuran rakyat sangat jauh dari realisasi teori Keynes. Dan lebih tepat dengan teori Adam Smith, yang mengatakan bahwa pemerintah itu busuk, karena pada dasarnya pemerintah layaknya masyarakat lain yang memiliki moral hazard, sehingga dalam menentukan kebijakan ekonomi, pemerintah Indonesia cendrung dipengaruhi oleh kepentingan pribadi yang hanya menguntungkan pribadinya sendiri tanpa melihat kerugian yang diperoleh sebagian besar masyarakat dari kebijakan yang dibuat, selain itu pemerintah yang cendrung melakukan korupsi disebabkan karena lemahnya fungsi structural dalam pemerintahan (Rozikin, 2005).
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia selama ini dianggap masih berorientasi pada kapitalis. Kemudian, peran hukum tentang lembaga yang mengatur pengelolaan minyak Indonesia juga masih belum berorientasi pada rakyat, BP migas yang didirikan oleh pemerintah untuk menangani pembagian wilayah pengelolaan minyak selama ini dianggap hanya pro kepada investor asing (siaran pers, 2012). Kebijakan tersebut juga diperkuat dalam UU. No 22 tahun 2001, yang dimana dalam undang-undang tersebut sangat memihak kepada para investor daripada perusahaan nasional. Bila melihat keadaan Indonesia yang masih belum mampu bersaing dengan dunia global dalam hal perekonomian, seharusnya pemerintah sebagai institusi berfungsi untuk melindungi perekonomian Indonesia agar tetap kuat dan tidak bergantung dengan negara maju terus menerus (Aminuddin, 2009).
Peranan hukum yang lemah dari Indonesia, juga merupakan salah satu faktor negara ini masih belum mampu secara mandiri mengelola ladang minyak yang luas disepanjang nusantara ini. Institusi pemerintahan seringkali mengabaikan pelanggaran yang dilakukan oleh investor, padahal seringkali proses eksploitasi sumber daya alam Indonesia secara terus menerus akan merugikan negara, karena dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti yang terjadi di papua, lemahnya pengawasan pemerintah menyebabkan kerusakan lingkungan dialami oleh penduduk sekitar pertambangan tersebut (Ilham, 2012). Peranan hukum yang lemah dalam institusi pengelola migas Indonesia juga disebabkan karena keserakahan pejabat pemerintah yang mempunyai wewenang dalam penentuan kebijakan terkait pengelolaan migas Indonesia (malanaung, 2012). Meskipun tidak semua pejabat memiliki sifat tamak, akan tetapi sebagian besar pejabat yang bersifat tamak tersebut cukup menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi negara ini, dengan keuntungan yang tidak seberapa yang diperoleh negara ini terhadap kerugian yang diterima. 
Dalam masalah pengelolaan minyak bumi di Indonesia, pemerintah hampir tidak memiliki peranan. Pasalnya, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bukan merupakan kebijakan yang win-win solution bagi permasalahan yang terjadi. Pemerintah disini sangat terlihat memihak kepada investor, lewat kebijakan yang dibuatnya. Padahal perusahaan minyak nasional merupakan sumber pendapatan negara paling besar dari beberapa sector lainnya (Free Trade Watch, januari 2012). 
Pertamina sebagai perusahaan minyak nasional seharusnya lebih diutamakan dalam pengelolaan minyak bumi, karena walau bagaimanapun produksi yang dilakukan pertamina sebesar-besarnya adalah untuk kemakmuran rakyat dan hal ini pun telah jelas tertuang dalam undang-undang tersebut mengatakan bahwa sumber daya dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (undang-undang dasar 1945 pasal 33). akan tetapi kebijakan pemerintah sejak penanda tanganan Letter of Intents (LoI) di era Soeharto mengabaikan Undang-undang yang telah dibuat oleh founding fathers Indonesia. 
Akibat penandatanganan dari kesepakatan LoI, kini Indonesia sangat terbuka terhadap investor asing, dan hampir diseluruh sector perekonomian Indonesia (minyak bumi) dikuasai oleh MNC yang merupakan produk dari world bank dan IMF (Heryanto, 2003). Dengan begitu Indonesia sebagai negara dunia ketiga sangat bergantung dengan negara maju dalam hal pengembangan ekonomi, maupun pembangunan infrastruktur negara. Sehingga menyebabkan kedaulatan pemerintah Indonesia sangat lemah, yang mengakibatkan perusahaan MNC seringkali mengabaikan peraturan hukum dalam hal pengelolaan sector minyak bumi (Ilham, Januari 2012).
Kebobrokan pemerintah dalam penentuan kebijakan pengelolaan minyak bumi Indonesia juga tidak hanya terjadi pada rezim Soeharto, akan tetapi praktek suap menyuap juga masih terjadi di zaman pemerintahan SBY. Praktek suap menyuap antara pemerintah dengan pihak asing yang terjadi baru-baru ini ialah dalam penentuan lahan antara pertamina dan exxonmobil di  blok cepu, pemerintah saat itu mengkampanyekan bahwa pertamina tidak sanggup mengoperasikan blok cepu dan tidak mempunnya dana untuk mengelolanya (Ilham, 20:2012). Keadaan yang seperti inilah yang menyebabkan rusaknya tatanan ekonomi akibat pengrusakan dari dalam yang disebabkan oleh tindakan pemerintah sendiri, untuk memenuhi kepuasan hidupnya dalam mengatasi kelangkaan.
Atas tindakan yang dilakukan pemerintah untuk kepentingan kapitalis ini, yang sangat dirugikan ialah rakyat kecil dan negara. Rakyat Indonesia merasa dirugikan oleh si kapitalis ini karena rakyat sendiri tidak dapat menikmati kekayaan sumber daya alam negaranya sendiri, hal itu merupakan akibat dari eksploitasi sumber daya alam negeri ini, yang keuntungannya masuk ke kantong pribadi si pemillik modal 
(Hertanti, 2012), dengan begitu adanya liberalisasi sector minyak bumi dirasakan sangat tidak efisien, ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat telah membuat rakyat semakin kecewa, pasalnya dengan kebijakan tersebut membuat rakyat Indonesia sendiri semakin miskin karena negara ini terus mengalami krisis BBM, sehingga dengan terjadinya krisis perlahan demi perlahan legitimasi pemerintah semakin luntur. Dengan legitimasi pemerintah yang perlahan semakin luntur akan menyebabkan pemerintah sulit menetapkan kebijakan lagi, karena rakyat sudah muak dan tidak percaya lagi dengan pemerintahan yang ada. Sehingga apapun yang dilakukan pemerintah, baik dianggap untuk kepentingan rakyat ataupun tidak, rakyat yang merasa sangat dirugikan atas kebijakan pemeritah pada masa lalu tidak akan merespon baik keputusan yang akan dibuat pemerintah (Free Trade Watch, 78:2012).

3.2. Dampak yang Ditimbulkan Akibat Dominasi Asing Terhadap Perusahaan Minyak Nasional dan Masyarakat Indonesia.

Dalam setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selalu menimbulkan dampak baik yang positif maupun negative bagi negara maupun rakyat Indonesia. Begitupun dengan kebijakan pemerintah yang meliberalisasi perusahaan minyak nasional ada dampak positif dan negatifnya.  
Dengan membuka negara terhadap dunia luar menyebabkan Indonesia semakin dikenal di mata dunia, dan eksistensi negara ini juga cukup tinggi dimata global. Selain itu, ladang minyak yang membentang disepanjang nusantara ini juga menyebabkan para investor asing berbondong-bondong menanamkan modalnya ke Indonesia, dengan harapan memperoleh keuntungan (Hariyono, 2006). Dalam kerja sama antara pemerintah Indonesia dan investor asing melalu kesepakatan LoI, disatu sisi menghasilkan keuntungan yang besar bagi negara ini. Pasalnya, dengan kerja sama internasional inilah negara ini mengalami peningkatan pembangunan yang sangat signifikan. Hasil dari pembangunan di zaman prde baru salah satunya adalah berhasil menahan laju inflasi meskipun dalam single digit, kemudian pembanguna yang pesat tidak hanya menghasilkan laju perekonomian yang pesat akan tetapi meningkatkan pula kualitas kesehatan dan meratakan pendidikan, selain itu h=kesejahteraan rakyat juga terjamin karena bahan pokok pada saat itu sangat murah dan dalam jangkauan rakyat (wordpress.com).
Melalui kerjasama dengan investor asing Indonesia dan pinjaman hutang luar negeri inilah Indonesia dapat terus membangun infrastruktur dalam negeri, sehingga terjadi peningkatan kualitas perekonomian negara ini, karena infrastruktur pendukung ekonomi rakyat semakin memadai sehingga masyarakat dapat dengan mudah mendistribusikan barang-barang hasil produksinya secara efisien. Dengan kemajuan infrastruktur juga meningkatkan produksi beras Indonesia, sehingga pada zamannya Indonesia mampu melakukan swasembada beras terhadap dunia luar (Singgih, 2011), kemudian dalam sector perminyakan, Indonesia juga merupakan negara pengekspor miyak terbesar di dunia, sehingga masuk ke dalam OPEC (Mahasin, 1976).
Eksistensi Indonesia semakin diperhitungkan didunia internasional  setelah menjalin kerjasama luar negeri dengan negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Prancis dan lainnya, sehingga menjadikan Indonesia sebagai macan Asia tenggara pada saat itu. Perkembangan Indonesia tidak hanya dalam bidang ekonomi sector pertanian dan perminyakan (Singgih, 2011), melainkan dalam bidang olahraga eksistensi Indonesia juga sangat diperhitungkan, hingga dalam bidang teknologi penerbangan Indonesia juga mengalami kemajuan, pasalnya pada saat itu Bj. Habibie sebagai putra bangsa berhasil menempuh sekolah teknik di Jerman dan menemukan teori dalam dunia penerbangan dan sampai saat ini teori itu masih digunakan dalam dunia penerbangan di Jerman(Makka, 81: 2008). BJ Habibi dapat bersekolah di Jerman merupakan bagian dari keuntungan kerja sama indonesia terhadap luar negeri.
Beberapa hal diatas merupakan dampak positif yang didapat akibat kerja sama luar negeri Indonesia. Meskipun pada rezim saat itu Indonesia mendapatkan banyak manfaat dan kemajuan yang signifikan, saat ini baru dirasakan dampak negative akibat adanya kerjasama tersebut. Kontrak kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan minyak asing semakin kesini cendrung merugikan Indonesia. Karena sejak adanya kontrak kerja sama tersebut, ladang minyak di Indonesia sebagian besar dikuasai oleh perusahaan asing, perusahaan nasional seperti pertamina sering kalah tender dalam pengelolaan sumber minyak. Sehingga pasokan minyak dalam negeri sendiri semakin menipis, karena sebagian besar sumber minyak Indonesia dikelola oleh perusahaan asing yang hasil produksinya di distribusikan untuk kepentingan negara asalnya dan kepentingan perusahaannya saja (Ilham, 2012). 
Pertamina sebagai perusahaan nasional semakin tidak memiliki kekuatan dalam bersaing dengan perusahaan minyak asing, hal tersebut disebabkan karena pertamina masih belum bisa mandiri dalam hal pengadaan alat-alat pengeboran minyak lepas pantai, sehingga bila ingin melakukan pengeboran minyak dilepas pantai harus melakukan sewa alat-alat pengeboran kepada  perusahaan miyak lain yang ada di Indonesia. Dengan begitu biaa yang dikeluarkan untuk melakukan produksi lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh dari produksi (Santoso, okezone 2012). 
Dengan demikian, ketergantungan Indonesia dengan perusahaan asing dalam pengelolaan minyak akan terus berlangsung. Hal ini sangat tidak baik bagi kemajuan bangsa, karena dengan ketergantungan Indonesia terhadap perusahaan luar akan Indonesia tidak akan bisa keluar dari krisis (Hadiz, 2009). Apabila pemerintah tidak segera melakukan peninjauan ulang terhadap kebijakan pengelolaan sumber daya minyak di Indonesia dan tidak segera melakukan perbaikan terhadap peran pertamina dalam mengelola ladang minyak Indonesia, tidak menutup kemungkinan negara akan terus dirugikan oleh BUMN ini, karena perusahaan nasional ini tidak dapat memberikan kontribusi yang besar bagi Indonesia, akan tetapi lebih banyak menghabiskan APBN negara (Free Trade Watch Nasional, 2012).
Akibat dari semua itu kelangkaan sumber daya minyak di Indonesia semakin kompleks. Ditambah lagi dengan terjadinya krisis minyak dunia yang menyebabkan naiknya harga minyak dunia, akibat terjadinya krisis minyak dunia dirasakan langsung oleh Indonesia sendiri. Keadaan Indonesia yang sudah terpuruk akibat kelangkaan minyak dalam negeri, sehingga menyebabkan negara harus melakukan impor minyak dari luar, tambah diperparah dengan terjadinya lagi krisis minyak dunia yang berdampak pada meningkatnya harga minyak mentah dunia (Free Trade Watch Nasional, 2012). 
Meningkatnya harga minyak dunia, yang berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia, semakin mencekik masyarakat Indonesia yang kemampuan ekonominya masih di bawah rata-rata. Karena naiknya harga minyak mentah dunia secara otomatis harga minyak didalam negeri pun ikut meningkat, sehingga memaksa pemerintah utuk membatasi subsidi BBM dalam negeri (tim jumpa pers, 2008), karena apabila tidak melakukan itu negara akan mengalami krisis APBN akibat tingginya pengeluaran yang tidak sebanding dengan pemasukan. 
Dengan pembatasan subsidi BBM yang dilakukan pemerintah Indonesia menyebabkan perekonomian di Indonesia semakin tidak stabil, karena sebagian besar perekonomian di Indonesia selama ini ditunjang dengan bahan bakar minyak (Nikensari dan Trianoso, 2003). Bila bahan bakar minyak meningkat dan subsidi dikurangi, akibatnya banyak perusahaan local yang membatasi produksi atau bahkan menaikkan harga produksi, secara otomatis masyarakat yang kemampuan ekonominya sedikit semakin terbebani (Ndaru, 2012). Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan banyak terjadi demonstrasi dimana-mana. Hampir diseluruh wilayah di Indonesia terjadi demo akibat naiknya harga BBM dan berkurangnya subsidi BBM dari pemerintah (Radianto, 2008).

4.0. Simpulan 
Indonesia sebagai negara penghasil minyak terbesar di dunia di era 1970-an, kini berubah secara drastic menjadi negara pengimpor minyak dalam jumlah yang obesar akibat dari meningkatnya konsumsi minyak dalam negeri. Pemerintah sebagai institusi negara masih belum mampu membuat kebijakan yang pro terhadap rakyat dan perusahaan nasional, karena kebijakan pemerintah yang selama ini dibuat lebih berorientasi menguntungkan perusahaan asing. Seperti yang terjadi dalam sector minyak bumi dan kebijakan pemerintah lewat undang-undnag no.22 tahun 2001. Dan dengan adanya kebijakan pemerintah dengan meliberalisasi perusahaan minyak nasional masyarakat semakin terlihat bahwa pemerintah lebih memihak perusahaan asing daripada rakyat.
Akibat dari semua itu, cadangan minyak Indonesia semakin menipis, sehingga mengharuskan pemerintah untuk mengimpor minyak guna menutupi konsumsi minyak dalam negeri.

Daftar Pustaka
Buku:
Budiman, Arief dkk (2006). Kebebasan Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005. Jakarta: 
Pustaka Alvabet.

Buwono, Hamengku (2007). Merajut Kembali ke Indonesia Kita. Yogyakarta: Gramedia Pustaka Umum.

Deliarnov (2006). Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga.

Didin S,Damanhuri (2010). Ekonomi Politik dan Pembangunan. Bogor: IPB Press.

Makka, Makmur (2007). The True Life of Habibie. Jakarta: Pustaka Iman.

Ku Ahmad, Samsul Bahri (2004). Teori Pembangunan Ekonomi. Kuala Lumpur: Yeohprinco SDN BHD.

Soempeno, Femi Adi (2009). Indonesia Memilih. Cetakan I. Yogyakarta: Galang Press.

Suyatna, Hempri (2007). Evo Morales, Presiden Bolivia Menentang Arogansi Amerika. Cetakan I. Jakarta: PT. Mizan Publika.

Waluyo, dkk (2008). Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta: PT. Gramedia.

Jurnal: 
Aminudin, Faisal M (2009). Globalisasi dan Neoliberalisasi Pengaruh dan Dampaknya bagi Demokratisasi Indonesia.

Batubara, Marwan (2012). Eksploitasi Mineral dan Batu bara di Indonesia dan Dampaknya terhadap 
Perekonomian Nasional. Free Trade Watch, edisi I Januari.

Daeng, Salamudin (2012). Perang Minyak Global: Merebut Imperium. Free Trade watch, edisi I Maret.

Febriani, Rika (2012). Utang Bank Dunia yang Salah Kaprah. Free Trade Watch, edisi I Maret.

Free Trade Watch (2012). Ekonomi Internasional Tambang dan Posisi Indonesia. Edisi Januari.

Free Trade watch (2012). Industry Minyak Nasional: Hilangnya Sebuah Kedaulatan. Edisi, Maret

Hadiz, Vedi R (2009). Krisis Ekonomi Dunia dan Indonesia. Prisma, no. 1. Vol 8

Hariyono (2006). Kebijakan Ekonomi di Awal Orde Baru Membuka Pintu Lebar-lebar bagi Modal Asing. Vol. 3. No. 3.

Hariyono (2007). Nasionalisasi dan Kontraksi Ekonomi Indonesia di Akhir Tahun 1950-an. Vol. 8. No. 1.

Hertanti, Rachmi (2012). Kudeta Bank Dunia dalam Industri Ekstraktif. Free Trade Watch, edisi Januari.

Hertanti, Rachmi (2012). Rezim Internasional dan Intervensi ADB dalam Kebijakan Energi Indonesia. Free Trade watch, edisi Maret.

Heryanto, J (2003). Peranan MNC dalam Industrialisasi di Indonesia pada Era Orde Baru. 

Ilham, Nirman (2012). Kebijakan Pemerintah Muluskan Dominasi Asing. Free Trade watch, edisi Januari.

Indah, Sri dkk (2003). Dampak Penurunan Subsidi BBM Terhadap Perekonomian Indonesia. Vol. IV. No. I.

Malanaung, Lukman (2012). Colaps Pertambangan Indonesia dan Alternatif Kebijakan. Free Trade Watch, edisi januari.

Mangunsong, Carlos (2008). Tinjauan Perkembangan Ekonomi:  Arus Global Semakin Mempengaruhi Ekonomi Indonesia. Vol. 37. No. 2.

Masjaya (2005). Peranan Negara dalam Globalisasi dan Demokratisasi Indonesia

Ndaru, Herjuno (2012). Pencabutan Subsidi BBM dan Perundingan G-20. Free Trade Watch, edisi Maret.

Radianto, Elia (2008). Dampak Kenaikan BBM terhadap Kinerja Sektoral, Regional dan Pasar Politik. Vol. I. No. 2.

Rozikin, Zainur (2005). Korupsi dalam Tinjauan Teori structural Fungsional (kasus: fenomena korupsi di Indonesia pasca reformasi).

Zulkifli, Mahmud (2009). Peran Negara dalam Pengembangan BUMN melalui Penerapan Prinsip Good Corporate Covernance.

Oleh: Dama Ika Novita


1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus